Rabu 17 Mar 2021 22:27 WIB

Fintech P2P Lending Berkembang Pesat, Tapi Picu Banyak Kontroversi

Perkembangan fintech peer-to-peer (P2P) lending diwarnai banyak kontroversi.

Rep: wartaekonomi.co.id/ Red: wartaekonomi.co.id
Fintech P2P Lending Berkembang Pesat, Tapi Picu Banyak Kontroversi (Foto: Ist)
Fintech P2P Lending Berkembang Pesat, Tapi Picu Banyak Kontroversi (Foto: Ist)

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ajisatria Suleiman menyebut, perkembangan financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending diwarnai banyak kontroversi, misalnya terkait praktik pemberian pinjaman yang menawarkan pinjaman tunai tanpa jaminan atau payday loan, serta praktik peminjaman predator.

Praktik peminjaman predator mencakup suku bunga yang berlebihan, praktik penagihan utang yang agresif, dan penyalahgunaan data pribadi konsumen. Beberapa kasus pinjaman predator telah banyak dipublikasikan dan bahkan menyebabkan keresahan sosial.

Baca Juga

"Kebanyakan dari mereka belum memiliki sistem perlindungan data pribadi yang memadai sehingga data pribadi konsumen rawan disalahgunakan," jelas dia dalam webinar CIPS kemarin (16/3/2021).

Baca Juga: Tingkatkan Perlindungan Konsumen, CIPS Berikan Sejumlah Rekomendasi

Menurut Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), selama delapan terakhir pengaduan yang paling banyak dilaporkan ke YLKI ialah jasa finansial. Khusus dua tahun terakhir sejak 2019-2020, pengaduan yang mendominasi justru masalah pinjaman online alias pinjol.

Seperti tahun 2020 pengaduannya sejumlah 3.692 dari total pengaduan yang diterima YLKI. Dari seluruh komoditas, 15%-nya ialah masalah fintech P2P lending.

Dari pengaduan yang ada, 70% konsumen mengadu kepada fintech ilegal. 30%-nya pengaduan dari fintech ilegal. "Pengaduan fintech ilegal ini pada batas tertentu tidak jauh berbeda dari (pengaduan) konsumen fintech P2P lending karena mereka juga menyadap data pribadi yang sebenarnya dari OJK dengan batas tertentu tidak dibolehkan," jelas Tulus dalam kesempatan yang sama.

Perwakilan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tomi Joko Irianto, Analis Senior Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian, dan Pengembangan Fintech, menyatakan bahwa OJK berupaya memberikan perlindungan kepada konsumen melalui peraturan industri P2P lending, pengawasan industri P2P lending, kegiatan edukasi masyarakat, dan penyelesaian pengaduan konsumen.

“Fungsi utama OJK adalah pengaturan. Dalam pengaturan industri peer-to-peer lending, kami sudah ada POJK 77 tahun 2017. Di situ juga diatur bagaimana pratik bisnis peer-to-peer lending ini diselenggarakan, apa yang boleh, apa yang tidak boleh, diatur di situ, ada aturan mainnya,” tuturnya.

Adapun pengawasan dalam P2P lending dilaksanakan melalui pemantauan kondisi fintech tersebut secara berkala atau audit ke lapangan untuk memastikan platform atau penyelenggara fintech P2P lending telah menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan.

Dia sampaikan, “OJK secara terpisah melakukan edukasi kepada masyarakat, termasuk kami mewajibkan platfom untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait fintech. 

Terkait penyelesaian pengaduan konsumen, OJK berfungsi sebagai jembatan antara konsumen dan platform fintech. “Penyelensaian pengaduan harus dijembatani atau difasilitasi," tandasnya. Pengaduan konsumen bisa dilakukan melalui kontak OJK 157 atau email [email protected].

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan Warta Ekonomi. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab Warta Ekonomi.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement