Sabtu 21 Nov 2020 03:04 WIB

Menjadi Pahlawan dengan Cendol Dawet

Bertahan adalah satu-satunya cara melalui resesi.

Gelombang PHK (ilustrasi)
Foto: republika
Gelombang PHK (ilustrasi)

Oleh : Friska Yolandha*

REPUBLIKA.CO.ID, Cuaca di Jabodetabek sedang panas-panasnya. Seharusnya, Bulan November adalah waktunya menikmati curah hujan yang tinggi. Alih-alih hujan air, beberapa hari terakhir Jabodetabek dihujani cahaya matahari yang sangat garang ditambah sesekali angin kencang. Katanya efek la nina.

Ah, panas-panas begini enaknya menyeruput es cendol dawet disiram gula aren dan santan. Ditambah es batu, rasanya segar. Tanpa babibu, saya pun meluncur mencari gerobak cendol dawet.

Penjualnya sudah tua. Keriput di wajah dan tangannya menunjukkan banyaknya pengalaman hidup yang sudah dilaluinya. Dengan sigap, tangan itu menyendok cendol dawet ke dalam plastik bening, lalu santan, lalu gula aren. Maaf Pak Anies, saya lupa bawa tumbler.

Sambil membungkus, beliau bercerita kalau sekarang sangat sulit mencari pembeli. Dia harus berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk mendapatkan pembeli. Kadang sampai matahari kembali ke peraduan, cendol dawetnya masih bersisa.

Kesulitannya tak sampai di situ. Banyak kompleks perumahan melarang pedagang masuk sehingga ia kehilangan banyak sekali potensi pembeli. Alasannya karena PSBB, jadi kompleks perumahan melarang orang nonpemilik rumah masuk.

Di sekitar tempat tinggal saya, memang masih ada perumahan yang melarang pedagang masuk. Sehingga, pedagang kesulitan mendapatkan pembeli. Padahal, dengan pedagang berkeliling, pembeli tidak perlu kesulitan mencari makanan keluar, yang justru meningkatkan risiko penularan Covid-19.

Saya sering membaca kisah-kisah sedih tentang pedagang di media sosial tapi tak pernah mengalaminya langsung. Ini pengalaman pertama bertemu pedagang yang benar-benar kesulitan mendapatkan satu dua pembeli.

Satu tahun sudah Covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, China. Di Indonesia, sudah delapan bulan. Kondisi hari ini jauh berbeda dengan awal tahun yang penuh harapan. Dampak Covid-19 sudah sangat terasa, bahkan mungkin membuat kita menjadi terbiasa.

Indonesia resmi masuk ke zona resesi ketika pemerintah merilis ekonomi kuartal III minus 3,49 persen. Pada kuartal sebelumnya, ekonomi turun lebih parah, minus 5,32 persen karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Apa artinya ini bagi rakyat? Pertama, daya beli menurun. Ini terjadi lantaran banyak yang menahan beli atau memang tidak lagi mampu membeli. Seperti yang dirasakan bapak penjual cendol. Kalau di waktu normal ia bisa menjual habis cendolnya, kini sering cendolnya masih bersisa karena orang jarang menyetopnya.

Lalu, pengangguran bertambah. Pemerintah mencatat total pengangguran 9,77 juta orang atau 7,07 persen pada kuartal III 2020. Jumlah ini mendapat tambahan 2,36 juta orang angkatan kerja baru dan 310 ribu orang yang tadinya bekerja kemudian menganggur.

Berbagai jenis bantuan sudah pemerintah kucurkan demi mengurangi dampak resesi. Mulai dari bantuan langsung kepada masyarakat, restrukturisasi kredit, sampai keringanan pajak bagi perusahaan. Bahkan, pemerintah memperlebar defisit anggaran agar perekonomian bisa sedikit lebih leluasa.

Dengan bisnis tertentu diizinkan beroperasi terbatas, pemerintah berharap bisnis dapat kembali berputar. Di sisi lain, kita masih menunggu vaksin mana yang lebih dulu mampu membangun sistem imun terhadap SARS-CoV-2.

Bertahan adalah satu-satunya cara melalui resesi. Kalau kata Kelly Clarkson, what doesn't kill you makes you stronger.

Selain itu, kita juga bisa menjadi pahlawan pandemi dengan tidak berkerumun, dengan memakai masker, dengan menjaga jarak dengan orang lain, dan rajin mencuci tangan. Kita juga bisa menjadi pahlawan dengan membeli jajanan di pelaku usaha ultramikro seperti penjual es cendol. Kasih uang lebih kalau ada, anggap saja sedekah. Siapa tahu uang yang kita berikan itu adalah satu-satunya penyambung hidupnya hari itu. Yuk bisa yuk.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement