Senin 26 Oct 2020 07:20 WIB

Harga Barang Impor di Inggris Berpotensi Melonjak 30 Persen

Lonjakan harga barang berpotensi terjadi jika Brexit berlangsung tanpa kesepakatan.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Uni Eropa dan bendera Inggris yang ditinggalkan demonstran pro-Brexit di Parliament Square di London, 29 Maret 2019. Biaya impor untuk barang-barang keseharian bisa naik hingga 30 persen apabila Brexit tidak mencapai kesepakatan.
Foto: AP Photo/Matt Dunham
Bendera Uni Eropa dan bendera Inggris yang ditinggalkan demonstran pro-Brexit di Parliament Square di London, 29 Maret 2019. Biaya impor untuk barang-barang keseharian bisa naik hingga 30 persen apabila Brexit tidak mencapai kesepakatan.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Biaya impor untuk barang-barang keseharian bisa naik hingga 30 persen apabila Brexit tidak mencapai kesepakatan. Dampaknya, masyarakat harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Peringatan ini disampaikan kelompok bisnis utama di Inggris.

Seperti dilansir di AP, Ahad (25/1), biaya transportasi untuk memindahkan barang juga bisa naik karena tarif. Pembatasan jumlah izin akses truk yang tersedia untuk memasuki daerah Uni Eropa (UE) pun dapat membahayakan bisnis di seluruh negeri, kata Logistics UK.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Logistics UK David Wells mendesak pemerintah untuk terus berupaya mencapai kesepakatan. Sebab, skenario tanpa kesepakatan dapat membuat inflasi naik, sebagai akibat dari kenaikan harga produk impor.

Dalam sebuah surat kepada Sunday Times, Wells menyebutkan, setiap hari, barang rumah tangga yang mereka impor akan menjadi lebih mahal dibandingkan tarif Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Beberapa di antaranya sampai 30 persen atau lebih.

"Ini membuat biaya belanja rumah tangga menjadi jauh lebih mahal, terutama di awal tahun 2021, ketika kita banyak mengandalkan impor untuk sebagian besar makanan segar," ucap Wells.

Wells menambahkan, biaya aktual untuk memindahkan barang juga akan meningkat apabila kendaraan baru, suku cadang dan ban juga dikenakan tarif.

Wells menekankan, kondisi yang terjadi akan parah dan lebih dari 'turbulensi' seperti yang dideskripsikan pemerintah. Sebelumnya, Menteri Kabinet Senior Michael Gove mengakui, usai masa transisi pada Desember 2020, Brexit tanpa kesepakatan perdagangan akan menyebabkan beberapa turbulensi.

"Bisnis logistik, yang beroperasi dengan margin dua persen, tidak akan mampu menanggung biaya ini," ujar Wells.

Kekhawatiran Wells juga tidak terlepas izin operator truk Inggris untuk mengakses pasar Uni eropa (UE). Tanpa ada kesepakatan Brexit, mereka sulit mendapatkan izin akses, sehingga kuota logistik pun berkurang. Potensi pengurangan bisa mencapai empat kali lipat yang akan menempatkan dunia usaha pada risiko besar.

Dengan berbagai risiko ini, Wells menekankan, pemerintah harus terus mencapai kesepakatan dengan Brussels. "Ini tidak hanya untuk melindungi industri kami, juga ekonomi secara keseluruhan," katanya.

Seorang juru bicara pemerintah menjelaskan, Perdana Menteri akan mencapai hasil negosiasi pada akhir masa transisi. Saat ini, UE dan Inggris telah menyetujui intensifikasi negosiasi dengan pembicaraan yang berlangsung setiap hari.

Pada akhir tahun, juru bicara tersebut memastikan, Inggris akan berada di luar pasar tunggal UE dan di luar serikat pabean. "Perencanaan intensif sedang dilakukan untuk membantu memastikan bahwa bisnis siap mengambil peluang yang akan diberikan," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement