Jumat 09 Oct 2020 04:03 WIB

Pakar IPB University Bicara Covid-19 dari Berbagai Sisi

Laboratorium IPB University telah menerima 4.000 sampel terkait pemeriksaan Covid-19.

Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria membuka webinar bertajuk Eksistensi Universitas dalam Menunjang Diagnosis dan Terapi Covid-19 yang Aktual dan Rasional, Kamis  Kamis (8/10).
Foto: Dok IPB University
Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria membuka webinar bertajuk Eksistensi Universitas dalam Menunjang Diagnosis dan Terapi Covid-19 yang Aktual dan Rasional, Kamis Kamis (8/10).

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria mengatakan bahwa masyarakat harus memiliki growth mindset di saat pandemi seperti ini agar mudah beradaptasi dan dapat menemukan cara-cara baru untuk mengatasi permasalahan yang ada. Hal ini Ia sampaikan dalam Webinar “Eksistensi Universitas dalam Menunjang Diagnosis dan Terapi Covid-19 yang Aktual dan Rasional”, Kamis  (8/10).

Webinar yang digelar oleh dosen IPB University yang tergabung dalam Prajab 05 ini menghadirkan Tim Crisis Center IPB University untuk memberikan penjabaran terkait penanganan Covid-19 di lingkungan kampus.

Ketua Tim Crisis Center, Prof Dr Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan bahwa penanganan Covid-19 di IPB University dilakukan sesuai ketentuan. Mulai dari penanganan di Poliklinik IPB University hingga rujukan ke rumah sakit.

Sementara itu, dalam kesempatan ini dr Darwati dari Poliklinik Sekolah Vokasi IPB University mengatakan bahwa diagnosis Covid-19 harus dilakukan secara komprehensif karena gejala yang ditimbulkan tidak spesifik, hanya menyerang saluran pernapasan atas. Terkadang pasien yang datang menunjukkan gejala diare dan lemas atau tanpa gejala sama sekali. Sehingga,  perlu adanya analisis tepat guna sehingga status pasien dapat ditentukan dan tertangani tanpa adanya false screening atau hasil pemeriksaan yang keliru.

“Pemeriksaan secara komprehensif, disamping melalui test PCR, yang kadang bisa keliru, juga dibutuhkan dalam menegakkan diagnosa Covid-19. Mulai dari pemeriksaan laboratorium hingga radiologi. Rapid test bukan acuan diagnosis namun lebih bertujuan untuk penelitian atau epidemiologi,” ujarnya.

Dari sisi pengujian sample, Dr drh Huda S Darusman, dosen IPB University dari Fakultas Kedokteran Hewan sekaligus  kepala Pusat Studi Satwa Primata (PSSP), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University mengatakan bahwa laboratorium IPB University telah menerima 4.000 (sampel) dan semua dilaporkan di bawah 48 jam.

“Dalam pengembangan fasilitas dan tata kelola laboratorium pengujian Covid-19 skala universitas, harus selalu dimulai berdasarkan dokumentasi hingga cross check standard operasional prosedur (SOP). Informasi penyimpanan sampel juga harus diketahui secara menyeluruh. IPB University sebagai satu-satunya perguruan tinggi yang memiliki izin sebagai laboratorium rujukan,” imbuhnya.

Sementara itu, Dr drh Okti N Poetri dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB University memaparkan bahwa kultur virus merupakan metode paling tepat dalam uji diagnostik, namun langkah tersebut sulit dilakukan karena sifat Covid-19 yang berbahaya.

Ia pun menunjukkan bahwa tubuh baru akan memproduksi antibodi setelah tujuh hari terpapar sehingga isolasi mandiri selama 15 hari merupakan langkah terbaik untuk mencegah penularan lebih lanjut.

“Sehingga pemeriksaan PCR yang dilakukan di hari ke-0 hingga ketujuh akan menunjukkan hasil positif sementara tes rapid akan menunjukkan hasil negatif (tidak reaktif) karena antibodi atau imunoglobulin-G belum terbentuk. Jadi kenapa ini bisa terjadi, PCR-nya positif rapid-nya negatif, PCR-nya positif rapidnya positif atau PCR-nya negatif rapid'nya positif, kira-kira seperti itu kronologinya,” jelasnya.

Sebagai pencegahan dari paparan Covid-19 dan meningkatkan daya tahan tubuh, Prof Dr Irmanida Batubara dari Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yang juga kepala Pusat Studi Biofarmaka Tropika, LPPM IPB University mengatakan bahwa berdasarkan Ristoja, Indonesia memiliki segudang bahan alam yang mampu menghasilkan metabolit sekunder yang berkhasiat bagi kebugaran tubuh.

Melalui serangkaian riset, bahan alama atau jamu tersebut mungkin saja dapat dijadikan sebagai terapi bagi pasien Covid-19. Misalnya, jambu biji yang telah digunakan sebagai antivirus pada 305 ramuan. “Disusul dengan kunyit, bambu, kelapa dan sebagainya yang dinilai dapat mengurangi efek penyerta atau komorbid,” ujarnya.

Riset selanjutnya berfokus pada daun jambu biji yang memiliki efektivitas yang lebih baik daripada bagian tanaman lainnya berdasarkan model prediksi yang berpotensi sebagai antivirus dari SARS-Cov2 menggunakan farmakomodeling berbasis struktur dan ligan. Hasil riset menunjukkan bahwa ekstrak daun jambu biji dapat menghambat replikasi virus berdasarkan interaksi senyawa metabolit tersebut. “Namun, untuk saat ini, riset lanjutan farmakodinamik baru akan dilakukan dan uji klinik masih jauh dalam jangkauan,” kata  Prof Dr Irmanida Batubara.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement