Ahad 04 Oct 2020 05:37 WIB

Pengamat: Jangan Sampai Pilkada 2020 Jadi Sejarah Hitam

Pengamat menilai regulasi terkait pilkada serentak 2020 masih banyak kekurangan.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
Pilkada Serentak. Ilustrasi
Foto: MUHAMMAD BAGUS KHOIRUNAS/ANTARA FOTO
Pilkada Serentak. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat sipil dan penasehat kepemiluan, Wahidah Suaib mengkritisi pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19. Menurutnya, masih banyak kekurangan dari segi regulasi yang dibuat oleh Pemerintah dan KPU sebagai penyelenggara.

"Regulasi ini dibuat sangat singkat dan mepet waktu, sementara banyak dalam UU dan PKPU hal-hal yang masih bolong atau belum terjawab masalah teknis di lapangan nanti," kata Wahidah dalam keterangan, Sabtu (3/10).

Baca Juga

Menurutnya, untuk waktu pemungutan suara dipastikan tidak akan selesai jam 01.00 waktu setempat jika Pilkada dilaksanakan di masa pandemi. Dia melanjutkan, bukan hanya itu jika kondisi ini dipaksakan maka justru akan merugikan para pemilih.

"Kondisi Pilkada yang dipaksakan sementara banyak hak-hak pemilih yang diabaikan haknya dalam demokrasi", tambahnya.

Dia mengatakan bahwa usul penundaan Pilkada 9 Desember nanti datang dari masyarakat luas ternasuk Nadhlatul Ulama (NU) Muhammadiyah, para epidemiologi hingga Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dia mengatakan, namun pemerintah tetap mengabaikan suara dan keselamatan rakyat suapya pilkada dapat tetap berjalan.

Wahidah mengingatkan pemerintah agar berhati-hati terkait pelaksanaan Pilkada tahun ini. Dia mengatakan, pesta demokrasi kali ini ditakutkan bakal memakan banyak korban jiwa sehingga akan menjadi catatan sejarah hitam pemilu di Indonesia jika pilkada tetap dilakukan.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti berpendapat bahwa saat ini lebih baik berbicara tentang penguatan demokrasi di tengah pandemi Covid-19. Dia mengatakan, saat inu bukan lagi saatnya masih memperdebatkan antara Pilkada tetap lanjut atau ditunda mengingat pemerintah telah mengambil keputusan.

Menurutnya, jangan sampai perdebatan terus berlanjut sementara para calon kepala daerah tetap melaksanakan kampanye dan masyarakat sipil tidak mengawasinya. Dia meminta semua pihak konsentrasi pada tahapan Pilkada yang telah ditetapkan.

"Kita ribut Pilkada tunda atau tidak, sementara calon-calon sudah bagi-bagi uang karena gak ada yang mengawasi," katanya.

Dia berpendapat, Pilkada yang sudah ditetapkan di tengah pandemi menjadi peluang bagaimana anak muda mengawal demokrasi. Dia mengatakan, mereka bisa fokus pada visi dan misi calon dan bukan ber-diskursus bagaimana politik uang bisa ditekan.

Sementara itu, Koordinator Warga Muda Jaga Pilkada, juga menyayangkan jika keputusan Pilkada tetap berlanjut di tengah pandemi tanpa menimbang partisipasi dan representasi generasi muda. Namun jika memang pemerintah masih bersikukuh, Heru Dinyo mengajak seluruh pemuda-pemudi Indonesia untuk menuntut KPU dan Bawaslu agar bertanggung jawab atas keselamatan setiap nyawa manusia dengan membenahi kinerjanya yang hingga hari ini belum terlihat optimal.

"Sebelum ada pandemi saja, kita  telah merasakan tragedi kemanusiaan, dimana 554 Orang KPPS, Panwas dan Polisi tewas di Pemilu 2019, ini belum termasuk yang sakit, cidera permanen, keguguran dan lainnya. Jangan sampai Pilkada 2020 menjadi parodi kemanusiaan akibat kinerja KPU dan Bawaslu yang serampangan di tengah pandemi, karena ini sangat terkait dengan nasib masa depan Indonesia ", imbuhnya

Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati bahwa Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 nanti tetap dilaksanakan. Rencana itu kemudian menulai kritik banyak pihak dan menjadi polemik berkepanjangan di tengah pandemi Covid-19.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement