Kamis 17 Sep 2020 14:18 WIB

Mencari Tempat Isolasi Mandiri

Isolasi mandiri harus didukung sarana dan prasarana yang memadai.

Andi Nur Aminah
Foto: Republika/Daan Yahya
Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*

Sebuah rekaman video menampilkan seorang perempuan bercerita tentang kondisinya yang terkonfirmasi positif Covid-19 setelah menjalani tes usap. Dia seorang juru masak sebuah rumah makan. Bosnya mengistirahatkannya bekerja setelah dia menjalani tes swab dan ternyata hasilnya positif.

Awalnya, EN, sang juru masak itu merasakan kondisi yang tak lazim pada tubuhnya. Persendiannya terasa ngilu, melangkahkan kaki terasa berat, dia merasa lemas, perut kembung seperti sedang masuk angin. Pokoknya, segudang rasa tak nyaman ditambah batuk-batuk ringan.

Kondisi yang dialaminya membuat dia tak kuat bekerja hingga akhirnya sang bos memfasilitasinya memeriksakan diri ke rumah sakit.  Saat hasil pemeriksaan keluar,  ternyata EN positif Covid-19. Sejak saat itu, dia tak pernah lagi masuk kerja. Hasil tesnya sudah ditembuskan ke pihak puskesmas dan tingkat kelurahan tempat EN berdomisili. 

Pihak rumah sakit lantas menganjurkan EN untuk menjalani isolasi mandiri di rumahnya mulai 4 September 2020. Namun, karena minimnya informasi yang dia terima dan ketidaktahuannya mengenai Covid-19, hal itu tak diindahkan oleh EN. Dia tetap keluyuran, ngobrol dengan tetangga, keluar rumah untuk berbelanja dan mencari kebutuhan untuk makan.

Namun, ia menceritakan kondisinya itu ke tetangga di lingkungan rumahnya, hingga sampai ke telinga Ketua RT. EN sendiri mengaku bingung menjalani isolasi mandiri yang disarankan dokter. Dia tak tahu mau ke mana. Sedangkan tetangga sekitarnya, dirasakannya mulai menjauh.

Salah seorang warga Kota Bekasi ini, hanya menyewa petakan saling dempet dengan ukuran sangat minimalis. Kondisi itu membuat ruangan geraknya terbatas. Hasil pemeriksaan yang ditembuskan ke puskesmas dan lingkungannya belum ditanggapi konkret. Alasannya, ruang isolasi penuh.

Tapi, alasan ruangan isolasi penuh tentu tak bisa jadi pembenaran sehingga seorang warga yang sudah jelas berpeluang menularkan virus Covid-19 pada orang-orang di sekitarnya tetap keluyuran. Kondisi yang dialami orang seperti EN, memang sudah harus jadi perhatian pemerintah. Karena tentu tak manusiawi seorang harus menjalani isolasi mandiri selama minimal 14 hari di lingkungan yang kurang memadai.

Bagaimana mau konsentrasi memperbaiki imunitas tubuh agar sang virus tak semakin liar menggerogoti jika merasa sedih melihat para tetangga perlahan menjauh? Atau memikirkan harus makan apa hari ini karena sudah beberapa hari tak masuk kerja. Pemerintah sudah selayaknya memperhatikan warganya yang butuh tempat isolasi mandiri.

Stigma negatif terhadap seseorang yang terpapar virus Covid-19 memang masih banyak terjadi. Ini menjadi PR bersama kita untuk meluruskannya. Penyakit ini bukanlah aib. Justru yang dibutuhkan adalah memberikan dukungan lahir dan bathin pada seseorang yang terpapar virus.

Maka, pantaslah angkat topi pada lingkungan yang warganya begitu kompak saat mengetahui ada tetangga yang terpapar Covid-19. Namun ini perlu dibarengi keterbukaan dari orang yang terpapar, dengan jujur menyampaikan kondisinya.

Kejujuran itu nantinya akan berbuah manis. Misalnya, tiba-tiba saja dengan sukarela tetangga membuat jadwal untuk bergantian mengirimkan makanan setiap hari. Atau ada yang datang menawarkan untuk membantu membelikan apa saja kebutuhan selama harus melakukan isolasi mandiri. Intinya, karena kita ingin saling menjaga agar virus ini tidak menjalar orang lain, maka protokol kesehatan harus diterapkan. Tapi bukan berarti mengucilkan. Bukankan ada banyak cara untuk saling terhubung tanpa harus kontak langsung?

Namun, memilih isolasi mandiri di rumah juga harus jadi pertimbangan OTG yang positif Covid. Yang perlu dipertimbangkan antara lain apakah ada penghuni lain di rumah itu yang berpotensi terpapar? Ini tentu harus dihindari karena akan berpotensi  menularkan kepada orang lain sehingga bisa terciptanya klaster rumah. Klaster rumah ini sudah banyak terjadi lantaran tak semua orang memahami cara mengisolasi diri yang benar.

Lalu, apakah fasilitas di rumah cukup representatif? Misalnya, kamar mandi yang tidak boleh dipakai bersama dengan penghuni lain, juga ruangan harus cukup memiliki sirkulasi udara memadai. Pertimbangan lainnya juga, apakah kondisi yang bersangkutan cukup aman, dalam artian tak ada penyakit lain yang bisa memperburuk kondisi dengan adanya virus dalam tubuhnya?

Isolasi secara terkendali di tempat-tempat yang telah ditetapkan memang sudah ada disediakan. Di Jakarta, misalnya, ada Wisma Atlet dengan daya tampung yang cukup besar.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement