Rabu 02 Sep 2020 00:25 WIB

Membayangkan Live Streaming Dijemput Aparat dan Ditanya Izin

Perluasan definisi penyiaran akan membuat siaran di medsos harus berizin.

Suasana kegiatan webinar (ilustrasi)
Foto: Dok UBSI
Suasana kegiatan webinar (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald Alamsyah*

Dalam sebuah grup pertemanan, tiba-tiba kawan dekat penulis bersumpah serapah. "UU Penyiaran digugat, orang jadi nggak bisa siaran di Youtube, mutus rejeki orang ini mah," ujar dia.

Dengan sok iye, penulis pun berseloroh dengan menyatakan setiap produk legislatif atau undang-undang bisa digugat dan digugurkan di Mahkamah Konstitusi. Teman pun langsung membalas dengan lebih sewot.

Ia menyatakan di era pandemi justru peran media sosial dan penghubung digital semakin krusial. "Lah ini kok mau digugat-gugat," ucap dia.

Dan masih banyak lagi kekesalan yang diungkapkan teman-teman, terutama mereka yang memiliki pekerjaan terhubung dengan media sosial. Begitu juga teman-teman event organizer yang baru saja bangkit dari keterpurukan dengan menggelar webinar.

Memang bila kita membaca kesimpulan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, bila gugatan pihak PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) maka menjadi ngeri-ngeri sedap. Persoalannya, Kemenkominfo menyimpulkan bila gugatan dikabulkan maka publik tak bisa tampil live di media sosial.

Berdasarkan laporan yang dikutip dari Republika.co.id, RCTI dan iNews TV menggugat  Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pengaturan penyiaran berbasis internet yang ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum menjadi dasar gugatan kedua grup media MNC itu.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi pada awal  Juli, kuasa hukum RCTI dan iNews TV, Imam Nasef mengatakan, negara harus hadir di dalam aktivitas penyiaran sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya. Termasuk, dalam yurisdiksi virtual.

Apalagi, menurutnya, migrasi pengguna siaran konvensional ke siaran berbasis internet signifikan, yakni berdasarkan studi Nielsen pada 2018, durasi menonton platform digital mendekati durasi menonton televisi konvensional. Sayangnya migrasi itu, tidak diiringi kewajiban penyedia layanan over the top (OTT) tunduk pada UU Penyiaran.

"Penyiaran menggunakan internet tidak bisa hanya mengandalkan instrumen self regulatory atau swaregulasi dari penyedia layanan aplikasi atau platform provider atau etika internet," ujar kuasa hukum RCTI serta iNews TV sebagai pemohon, Imam Nasef, dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (9/7).

Namun, pemohon menyadari tidak sesederhana menambahkan layanan siaran termasuk ke dalam pengaturan UU Penyiaran, melainkan diperlukan pendekatan konvergensi dengan penyatupaduan beberapa undang-undang, yakni UU Telekomunikasi, UU ITE dan UU Penyiaran. Oleh karena itu, RCTI dan iNews TV menilai UU Penyiaran yang diujikan dapat menjadi langkah pertama implementasi keterpaduan tiga undang-undang itu.

Akan tetapi Kemenkominfo memiliki pandangan lain. Kemenkominfo menyebut apabila gugatan RCTI terkait uji materi Undang-Undang Penyiaran dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka masyarakat tidak lagi bebas memanfaatkan fitur siaran langsung dalam platform media sosial.

"Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TVInstagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. Artinya, kami harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli secara virtual dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi.

Apabila kegiatan dalam media sosial itu juga dikategorikan sebagai penyiaran, maka perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum dikatakannya akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.

Selanjutnya perorangan atau badan usaha yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan penyiaran itu menjadi pelaku penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana. Belum lagi pembuat konten siaran melintasi batas negara sehingga tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia.

Ramli mengakui kemajuan teknologi yang pesat memungkinkan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi dan media penyiaran, tetapi usulan agar penyiaran yang menggunakan internet termasuk penyiaran disebutnya akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah secara keseluruhan Undang-Undang Penyiaran.

Membaca keterangan di atas, artinya target utama bila gugatan ini dikabulkan tak hanya layanan OTT saja, namun juga masyarakat luas. Terutama mereka yang memanfaatkan media sosial, malah  penggunaan telepon video melalui aplikasi perpesanan, bahkan layanan pertemuan daring pun dapat pula masuk dalam penyiaran. Coba bayangkan, saat anda sedang cekikikan dengan teman saat menggunakan Zoom atau Google Meet, tiba-tiba pintu diketuk aparat.

Lebih jauh lagi langkah dua stasiun televisi ini bisa mematikan kreativitas anak-anak muda yang saat ini memanfaatkan medsos untuk berkreasi dan mencari uang. Seakan-akan dua stasiun televisi yang berada di grup MNC ini berlari menjauh dari arus perkembangan dunia.

Bila yang diinginkan stasiun televisi, yang dari catatan Nielsen penontonnya tergerus layanan internet, adalah kesetaraan, maka harus dibuat undang-undang baru. Undang-undang yang hanya mengatur layanan penyiaran korporasi dan OTT, tanpa harus mengekang kebebasan orang lain.

*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement