Rabu 12 Aug 2020 17:45 WIB

KontraS Nilai Polri jadi Episentrum Kekerasan di Indonesia

KontraS menyebut periode Juni 2019-Mei 2020 terdapat total 62 kasus penyiksaan.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Agus Yulianto
Korban meninggal (ilustrasi)
Foto: yustisi.com
Korban meninggal (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum lama kasus penganiayaan terhadap Sarpan (57 tahun) di tahanan Polsek Percut Sei Tua, Sumatra Utara, kasus dugaan penganiayaan oleh polisi kembali terjadi. Kali ini menimpa Hendri Bakarie di Barelang, Batam tewas setelah diduga dianiaya polisi dalam proses penyelidikan

Rentetan kejadian ini memunculkan penilaian bahwa Kepolisian menjadi episentrum kekerasan yang terjadi di Indonesia. Peneliti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rezaldy mengatakan, dari tahun ke tahun, kasus kekerasan dan penyiksaan oleh institusi pelindung dan pengayom masyarakat terus saja terjadi.

"Saya tidak ragu mengatakan bahwa Polri menjadi episentrum kekerasan di Indonesia," kata Andi dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Rabu (12/8).

Berdasarkan Laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia Periode Juni 2019 – Mei 2020 oleh KontraS, terdapat total 62 kasus penyiksaan. Dari jumlah kasus itu, mayoritas sebanyak 48 kasus di antaranya merupakan penyiksaan oleh oknum kepolisian.

KontraS juga menemukan tidak ada satu kasus penganiayaan oleh polisi yang diproses secara pidana. Berdasarkan sampling terhadap 45 kasus, sebanyak 40 kasus bahkan tidak ada proses lanjutan, dua kasus mencabut laporan, dan tiga kasus hanya berakhir dengan sidang etik.

Untuk itu, Andi pun meminta Kapolri Idham Azis berlaku serius. "Proses tidak boleh berhenti pada proses etik tapi juga harus pidananya," ujar Andi.

KontraS juga meminta Polri tidak berhenti menindak anggota lapangan yang melakukan pelanggaran. Polri juga harus menindak para atasan dari para anggota lapangan yang melakukan pelanggaran berupa penyiksaan.

Peneliti Imparsial Hussein Ahmad menilai, banyaknya penganiayaan oleh personel di lapangan juga berkaitan dengan proses pendidikan di lapangan. Hussein menyebut, pendidikan dasar personel di lapangan berupa SPN (Sekolah Pendidikan Kepolisian Negara) yang hanya selama lebih kurang 8 bulan kurang dalam membekali para personel menjalankan hukum di Indonesia.

Untuk, Hussein menilai, perlu dilakukan perbaikan dalam hal  pendidikan. Misalnya, kata dia, pendidikan harusnya menekankan pada praktik dan bukan pada teori. "Perbaiki kompetensi, perbanyak latihan vokasional," kata Hussein Ahmad.

Untuk diketahui Hendri Alfred Bakarie meninggal dunia pada Sabtu (8/8) pukul 07.13 WIB. Ia tewas setelah menjalani pemeriksaan di Satres Narkoba Polresta Barelang, Batam. Keluarga membeberkan kronologi meninggalnya Hendri.

Adik Hendri, Christy Bakari menceritakan, pada 6 Agustus 2020 sekira pukul 15.00 WIB, Hendri ditangkap di Kawasan Belakang Padang, Batam karena diduga terlibat dalam tindak pidana narkotika. Kemudian, lanjut Christy, pada Jumat (7/8) polisi mendatangi rumah Hendri untuk melakukan penggeledahan. Lagi - lagi, menurut Christy penggeledahan itu dilakukan tanpa surat dan tanpa pendampingan pengurus RT dan RW. Ternyata barang tidak ditemukan.

Pada Sabtu (8/8) dini hari, sekira pukul 1.00 penggeledahan polisi berlanjut ke rumah rekan Hendri. Menurut Christy, Hendri sudah lemas tak sanggup berdiri tegak lantaran tak diberi minum. Hendri sampai harus meminta minum ke orang yang ada di sekitar lokasi penggeledahan.

Lalu pada Sabtu pagi sekira pukul 7.00 pagi, Hendri diketahui sudah tidak bernyawa. Christy menceritakan bahwa keluarga baru diberi tahu soal kematian Hendri pada siang hari sekira pukul 11.00 WIB. Keluarga mendatangi RS Budi Kemuliaan beberapa jam setelahnya untuk melihat jenazah Hendri. Hendri ditemukan dalam kondisi kepala diperban dan dibungkus plastik serta badan yang penuh memar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement