Senin 10 Aug 2020 16:02 WIB

Jalan Tengah Menyikapi Cipta Kerja

Cipta kerja mengandaikan investasi yang baik itu direalisasikan dengan cara baik.

Pekerja menata rotan kering yang untuk bahan baku furnitur, di Banda Aceh, Aceh, Rabu (5/8/2020). Cipta kerja mengandaikan investasi yang baik itu harus direalisasikan dengan cara baik.
Foto: ANTARA/Irwansyah Putra
Pekerja menata rotan kering yang untuk bahan baku furnitur, di Banda Aceh, Aceh, Rabu (5/8/2020). Cipta kerja mengandaikan investasi yang baik itu harus direalisasikan dengan cara baik.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta

Saat ini selain RUU HIP atau RUU BPIP, ada RUU Omnibus Law atau Cipta Kerja (disingkat Ciptaker) yang tidak kalah ramainya didiskusikan dan terjadi pro-kontra di ruang publik dan medsos. Sebagian kalangan menolak mentah-mentah Ciptaker, dan sebagian kalangan yang lain menerima bulat-bulat.

Penulis ingin mencoba menggulirkan pandangan alternatif, jalan tengah, di antara kedua golongan yang sedang gontok-gontokan memperjuangkan pendapatnya.

Sebelumnya, alangkah bijaknya jika kita bertanya terlebih dahulu apa tujuan Cipaker yang sesungguhnya? Agar kita mengerti mana tujuan, cara meraih tujuan, dan media sebagai washilah meraih tujuan itu sendiri. Dari sini kita tidak gegabah dalam bersikap. 

Tujuan

Tujuan mendasar Ciptaker adalah mempermudah investasi. Pasca otonomi daerah, investasi menjadi problem yang cukup serius, di antaranya lantaran terjadinya tarik-ulur antara pemerintah pusat dan daerah. Terlebih problem administrasi, perizinan, dan regulasinya. Investasi menjadi lambat. Mempersulit pihak investor.

‘Rezim administrasi’ ini yang mempersulit dan menjadikan urusan bertele-tele dan menghabiskan waktu yang banyak. Pada akhirnya, para investor lari meninggalkan Indonesia dan berpindah ke negara-negara lain di Asia yang lebih mempermudah, tidak bertele-tele, dan menjamin kenyamanan dalam berinvestasi. Kesempatan emas akhirnya lepas dari pangkuan Indonesia. 

Sedangkan, investasi sejatinya maslahat baik bagi negara maupun bagi rakyat secara keseluruhan. Kemaslahatan bagi negara, dengan banyaknya investor yang menanamkan modal dalam bentuk lapangan kerja, maka negara akan mendapatkan banyak pemasukan pajak.

Jika investasi itu ditanamkan pada perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN), maka negara akan mendapatkan pajak sekaligus keuntungan. Apalagi, BUMN sekarang sedang mengalami pembaharuan mendasar ke arah yang lebih baik dikomandani Menteri BUMN Erick Thohir.

Sedangkan, kemaslahatan bagi rakyat, investasi dapat menciptakan lapangan kerja, menyerap banyak pekerja, mengurangi pengangguran, dan masyarakat bisa mendapatkan penghasilan untuk belanja kebutuhan keluarga.

Ciptaker muncul dalam ruang historis, dengan menindaklanjuti cita-cita para pendahulu bangsa. Ir Soekarno, presiden pertama, menyatakan, “Peningkatan iklim investasi seharusnya sudah dilakukan sejak bertahun-tahun lalu.”

Investasi sangat penting, sebab, menurut Soeharto, presiden kedua, “dengan begitu, jumlah pengangguran tidak akan tinggi seperti sekarang ini.” Sehingga, di masa Jokowi, yang berjargon "Kerja, Kerja, Kerja!!!", hendak mengesahkan Ciptaker. Sebab Indonesia butuh kerja.    

Masa pandemi sekarang ini, krisis ekonomi merupakan ancaman terberat bagi semua negara—tak terkecuali Indonesia, akibat krisis kesehatan yang melanda dunia. Bahkan sebagian negara, seperti Singapura, sudah mengalami resesi. Perekonomian Indonesia nyaris terpuruk, akibat dari PSBB yang melumpuhkan aktivitas perekonomian di ruang publik. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2020 munus 5,32 persen. Ini lebih dalam daripada prediksi Airlangga Hartarto, menteri Koordinasi Bidang Perekonomian, pernah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 3,4 persen. Sedangkan Sri Mulyani, Menteri Keuangan, memprediksi kuartal II 2020 ekonomi Indonesia akan mencapai 4,3 persen.

Tentu saja, Ciptaker pun mestinya diletakkan dalam konteks krisis kesehatan sekaligus krisis ekonomi yang sedang melanda sekarang ini. Jika dilihat pada tujuannya, maka Ciptaker bisa dijadikan solusi jitu dalam melawan krisis ekonomi. Saat ini sudah harus berbicara solusi, sebab persoalan sudah dirasakan secara langsung dan tampak jelas seterang matahari pagi.

Ada sebagian kalangan yang menolak mentah-mentah Ciptaker, tanpa memberi solusi yang lebih baik. Di samping itu, mereka menyeret ke ranah politik praktis dan mobilisasi massa.

Menurut penulis, krisis ekonomi saat ini disikapi secara politis seperti itu merupakan sikap yang kurang bijaksana. Sebab persoalan hari ini, krisis ekonomi saat ini, berbeda dengan krisis ekonomi 1998. Persoalan krisis hari ini disebabkan pandemi corona yang semua negara terkena dampaknya. Corona bukan perilaku cacat akut pemerintah, melainkan penyakit pandemi yang alami dan dimulai penyebarannya pun dari negara lain.

Dunia sedang dirundung duka. Sedangkan krisis ekonomi 1998, disebabkan perilaku cacat akut elite pemerintah, yang dikenal dengan KKN (kolusi, korupsi, nepotisme). 

Cara

Akan tetapi, meski tujuan Ciptaker sangat baik, kita perlu mengkaji secara kritis seluruh UU yang ada. Menyisirnya satu per satu. Sebab, tujuan yang baik belum tentu meraihnya dengan cara dan media yang baik, tetapi boleh jadi dengan cara dan media yang buruk atau kurang tepat. Sebagaimana investasi yang buruk, yaitu ketika investasi itu berpotensi merusak lingkungan dan alam secara berlebihan serta melampui batas, tanpa mengikuti regulasi dan menabrak aturan.

Akan tetapi, tentu saja Ciptaker mengandaikan investasi yang baik itu direalisasikan dengan cara yang baik, yakni dengan mengikuti regulasi dan peraturan serta tanpa merusak lingkungan.

Karena itu, perlu ada kajian UU Ciptaker secara seksama, dengan melibatkan berbagai kalangan dan dari semua ahli untuk bersama-sama melakukan ijtihad kolektif agar mendapatkan yang terbaik dan maslahat bagi bangsa dan rakyat. Ciptaker bukan domain politik, akan tetapi solusi yang perlu mendapatkan perhatian dan kajian yang serius dari berbagai perspektif, di antaranya perspektif ekonomi, sosial, lingkungan, dan perspektif agama sebagai penjaga moralitas bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement