Senin 27 Jul 2020 16:29 WIB

Sultan HB IX, Kisah Seorang Republikan

kisah heroik Sultan HB IX

Sultan HB !X tengah mengatur ke datangan TNI dari pulang gerilya
Foto: google.com
Sultan HB !X tengah mengatur ke datangan TNI dari pulang gerilya

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh  Akhmad  Khoirul  Fahmi, Mahasiswa Pascasarjana Unsud dan Pemerhati  Sejarah Islam  Pasca  Diponegoro

Keputusan  mengikuti wisik  atau bisikan  ghaib saat sebelum menandatangani  kontrak  politik  dengan  Gubernur Dr  Adam, seakan   menihilkan semua  kemampuan rasionalitas  yang selama  puluhan tahun  ia  pelajari dari  sikap  pendidikan  disiplin rasional  ala   Belanda.

Namun sebagai  orang  Jawa,  Sultan HB IX  yakin  dan percaya  bahwa petunjuk  yang diyakininya  dari  nenek moyangnya  (Sultan  HB I)  itu  benar  dan  harus  diikuti. Pendidikan kesederhanaan,  rasionalitas  dan  disiplin ala  Belanda  tentu  berguna  dalam sisi  lain.  Inilah  sikap yang kemudian  dilakukan ketika  memasuki masa  pendudukan Jepang  dan  lahirnya  Republik  Indonesia. Pendidikan  Barat  membuatnya   bersikap  demokratis,  terbuka  terhadap  hal-hal  baru  dan gagasan  pembaharuan.

Tentunya  pengaruh  rencana  pola  pendidikan yang  telah   dilakukan  ayahnya—sekalipun  menjadikan secara pribadi  ia  tak  begitu  mengenal ayahnya—menjadi  penting  dicermati  untuk  melahirkan  kharakter  kepemimpinan. Tidak semata  pada  Dorodjatun, sebab  saat itu  sang  Ayah  sendiri  belum ditabalkan  menjadi  Sultan. Terlebih  lagi  dirinya,  tidak  akan  mengira-ngira terlalu  jauh  peran  apa  yang akan dijalaninya  nanti.

Hanya  ayahnya  menangkap  gejala   zaman  akan  perubahan-perubahan  tatanan  sosial  yang   kiranya  akan dihadapi  anak-anaknya.  Maka  ketika  dalam  perundingan dengan  Dr Adam,  seluruh keluarga  keraton  memiliki  sikap yang kompak. Inilah  mungkin yang  dimaksud  mencoba  berani  belajar  kepada  bangsa  yang   menjadi  musuhnya sekalipun, agar  paling tidak  mengerti  bahasa   dan  jiwa  mereka.

Sesungguhnya  sikap-sikap  responsif atas perubahan  dalam  Keraton Jogjakarta  sudah  dimulai   pada  masa Sultan HB VII.  Di  akhir abad  ke-19 mulai  muncul  gagasan-gagasan perubahan dalam  pelbagai  bidang. Diantaranya  dalam  bidang  keagamaan, seperti  munculnya pemahaman pembaharuan  Islam  di Lingkungan Keraton yang diinisiasi  M  Darwis, yang  dikemudian  hari  dikenal   sebagai KH  Ahmad Dahlan. 

Sultan  HB VII, tidak  melarang   aktifitas  pengajian  yang jelas  menyasar pada   pelbagai   perubahan dalam  memahami  doktrin  keagamaan yang telah kuat di  Keraton. Sultan  HB VII  diceritakan  ikut membiayai  studi  Muhamad  Darwis dalam keberangkatan  ke   Mekkah  untuk  kedua  kali, setelah  timbul  suatu  kondisi  konflik  di  mesjid  keraton.

Selain  untuk  menetralisir konfliik  untuk sementara waktu,  Sultan  HB VII  juga  berpesan  agar Darwis  semakin  mempelajari  gagasan-gagasan  para  sarjana  di  tanah  suci.  Dan dikemudian  hari  ketika  Muhammadiyah   menjadi  suatu  organisasi   sosial-keagamaan,  Sultan  VII  menggunakan    gerakan ini  untuk mentralisir  gerakan kelompok  zending  yang memang  diijinkan dan  didukung oleh  Pemerintah Hindia  Belanda.

Artinya, gagasan perubahan-perubahan  memang  dilakukan  dengan  mengikuti  zeitgest (semangat  zaman)  saat  itu. Demikian pula  atas  yang terjadi  pada pola  pendidikan  Dorodjatun  dan saudara-saudaranya. Sekalipun ada  tanggapan, apakah  nanti   tidak akan kehilangan   “kejawaan”nya  dan  berubah  menjadi   “Kebelanda-belandaan”? Hal  itu  tetap tidak  menyurutkan  keputusan  ayahnya  untuk  mendidik anak-anaknya   untuk  mengerti pola pendidikan  ala  Belanda  yang  rasional, terbuka  dan disiplin. 

Tentu ini suatu  pertaruhan.  Apakah   ayahnya  Dorodjatun  sudah akan mengetahui perubahan-perubahan  apa saja  yang akan  terjadi? Kiranya  tidak  selalu demikian. Namun  pastinya,  untuk  mengalahkan  suatu  kekuatan besar yang sudah  mencengkeram lama  di  Keraton Mataram,  perlu  menguasai  bahasa  mereka, dan  memahami   taraf pengetahuan yang dimiliki  dan  yang terpenting  jiwa dari  kalangan Belanda.  

Pengakuan Proklamasi 17 Agustus 1945

Oleh  karena  itu, setelah  mendengar Proklamasi  Kemerdekaan  17  Agustus 1945, tanpa  ragu-ragu sedikitpun, sehari setelahnya, yaitu  pada tanggal  18  Agustus  1945, Sultan HB IX  langsung mengetok  kawat  kepada  kedua   proklamator Soekarno-Hatta  dan  kepada  dr Radjiman Wedyodiningrat, selaku  ketua  BPUPK, dengan spontan  ia mengucapkan selamat  atas  terbentuknya  negara republik  Indonesia.

Dua  Hari kemudian, tanggal  20  Agustus 1945,  ia mengirim  telegram. Kali ini   selaku  Ketua  Badan Kebaktian  Rakyat (Hokokai)  Yogyakarta  dan ditujukan kepada  Presiden dan  Wakil Presiden  RI yang  pertama. Secara  spontan  ia  menyatakan, “sanggup  berdiri  di  belakang  pimpinan”  mereka.  Kedua  pernyataan  per  kawat  ini diikuti  oleh  pernyataan  dan cara  yang sama  dari Paku  Alam.

Beberapa  minggu  kemudian   di  Yogya  atas  anjuran Pemerintah  Pusat    dibentuk  Komite  Nasional  Indonesia (KNI)daerah  Yogyakarta. Atas  persetujuan  komite  dikeluarkan  amanat  Sultan  Hamengkubowono IX  pada 5 September 1945.  Isi  pokok  dari  amnat  itu adalah:

Pertama: Ngayogyakarta  Hadiningrat  berbentuk kerajaan  yang  merupakan  Daerah Istimewa, bagian dari  RI.

Kedua: Segala  kekuasaan  dalam negeri  dan  urusan pemerintahan  berada di tangan  Hamengkubowono IX.

Ketiga: Hubungan  antara Ngayogyakarta  Hadiningrat  dengan  pemerintah  Republik  Indonesia  bersifat  langsung  dan  Sultan Hamengkubowono IX  bertanggungjawab  langsung  kepada  Presiden RI.

Surat pernyataan ini  ditanggapi   positif  oleh  pemerintah   pusat. Keesokan harinya,  6  September 1945, dua  utusan  pemerintah—para menteri negera Mr. Sartono  dan  Mr. A.A. Maramis—datang  ke  Yogyakarta  untuk menyampaikan  piagam penetapan mengenai  kedudukan  Yogyakarta  dalam  lingkungan RI yang ditandatangani  oleh  Presiden Soekarno.  Piagam penetapan  ini  tertanggal  19  Agustus  1945  atau  sehari setelah  dikirimkannya  ucapan selamat   yang pertama  dari  Sultan HB IX. Isi  Piagam ini   menyatakan:

“Kami  Presiden  Republik Indonesia, menetapkan: Ingkang  Sinuwun  Kanjeng  Sultan  Hamengkubowono  Senopati  Ing  Ngalaga  Abdurahman  Sayidin  Panataagama  Kalifatullah ingkang  kaping  IX ing  Ngayogyakarta  Hadiningrat, pada  kedudukannya, dengan  kepercayaan  bahwa  Sri  Paduka  Kanjeng Sultan akan mencurahkan  segala  pikiran,  tenaga,  jiwa   dan  raga  untuk  keselamatan  daerah  Yogyakarta  sebagai  bagian  Republik Indonesia.”

Sultan HB IX tanpa  keraguan sedikitpun  menyatakan  berdiri  dibelakang  republik  yang  menjadikan bahwa  dirinya adalah  seorang Republikan. Pada  saat  itu  istilah   Republikan  sesuatu yang berharga  dan suatu pilihan, sebab beberapa  saat  kemudian  Belanda  yang  ingin mengambil alih kembali  wilayah  bekas Hindia-Belanda dengan segala  cara mencoba mempengaruhi  banyak  tokoh  penting  di  wilayah  Hindia  Belanda  dengan  pola  politik  pecah belah, termasuk     juga  dengan  konsep negara persekutuan  Uni Indonesia  Belanda  dan  konsep  Negara  Serikat  ala Van Mook.

Dari  hal  inilah   dapat  dirasakan   pengetahuan selama  belajar   ilmu tatanegara  kepada  Prof  Schrieke  berguna  pada  diri  Sultan  HB IX.  Sebagai  seorang  republikan yang patriot, pada awal  proklamasi    Sultan  HB IX  menyediakan   kota  Yogyakarta  menjadi  pusat pemerintahan  republik yang  baru  lahir  tersebut. 

Menyusul  situasi  tak  terkendali  di  Jakarta  atas  apa pimpinan Republik, pada  4 Januari  1946 berpindahlah  ibu  kota ke kota  Jogja. Tidak sekedar pindah, tentu   juga  menyedikan  sarana dan  pendanaan bagi  puluhan  ribu  orang yang berpindah  ke  Jogja.

Kota   Yogya  menjadi  ibu  kota  perjuangan, banyak orang dari  berbagai  kelompok dan  golongan   berkumpul  di  kota ini.  Dan  tentu  saja   para prajurit TNI  yang baru  dibentuk  dengan segenap  keterbatasan  yang dimiliki. 

Bung Hatta  mengatakan bahwa  jumlah   uang  yang disumbangkan  oleh Sultan HB IX  jika  dihitung mungkin tidak  kurang dari  lima  juta  gulden. Sultan HB IX  sendiri ketika  ditanya  perihal  itu    hanya  menjawab diplomatis, “..Ah, nggak mungkin  ingat, ngambilnya  saja begini—sambil  menirukan  gerakan  orang yang mengambil dengan  dua  telapak  tangan, seperti menyendok pasir dengan tangan.” 

Uang itu  dibagi-bagikan untuk  keperluan gaji  aparat pemerintah  RI, keperluan  pasukan  dan  unit PMI. Inilah sikap  patriot sesungguhnya, tidak sekedar menyerahkan kekuasaannya  sebagai  sultan berdiri dibelakang pimpinan RI, namun juga membantu  ketika  masa-masa sulit. 

Hal ini  juga  akan dibuktikan   lebih  jauh  ketika  posisi  Republik  benar-benar  terjepit ketika  Yogyakarta  telah diduduki  oleh Belanda  tanggal 18 Desember  1948, yang mana  Belanda  mengira  Republik  Indonesia  telah tamat.

---------

Sumber:  Buku  Tahta Untuk Rakyat, Celah Celah Kehidupan  Hamengkubowono IX,  Atmakusumah (Penyunting), Kompas  Gramedia, Jakarta, 2002.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement