Jumat 17 Jul 2020 10:57 WIB

Apa Masih Perlu Mengingat Lord Acton?

Apakah masih perlu hirau nasihat Lord Acton?

Lord Acton
Foto: wikipedia
Lord Acton

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Sobirin Malian, Dosen FH Universitas Ahmad Dahlan (UAD)  Yogyakarta

Penyakit penyalahgunaan kekuasaan lagi-lagi dialami oleh negara ini. Sekali lagi pernyataan Lord Acton (1833-1902) layak dikutip, bahwa, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (“Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen.”).

Kali ini, kasus penyalahgunaan terjadi lagi di Polri. Brigjen Prasetijo dalam penyelidikan internal Polri diduga telah menandatangani surat  jalan bagi Djoko Tjandra, terpidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali yang buron sejak 2009. Ini membuat Prasetijo, yang adalah Perwira Tinggi Layanan Masyarakat Polri, dinilai telah melanggar Peraturan Kepala Polri Nomor 14 Tahun 2011 tentang kode Etik Profesi Polri dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003  tentang Disiplin Anggota Polri.

Surat jalan yang diterbitkan Prasetijo  seharusnya hanya dikeluarkan Kepala Bareskrim atau Wakil Bareskrim. Surat jalan itu seharusnya hanya untuk internal Polri.

     

Hukum dan Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Persoalan menyalahgunakan kewenangan atau wewenang; baik korupsi, jual pengaruh atau yang lain sering kali menjadi suatu permasalahan.

Jika ditelaah lebih spefisik konsep penyalahgunaan wewenang haruslah dilihat dari apa yang diselewengkan atau disalahgunakan ketika yang bersangkutan sedang menjabat. Dalam melakukan penyalahgunaan wewenang haruslah digunakan untuk kepentingan individu, kelompok atau meraih kekuasaan untuk kepentingan sepihak.

Dalam hukum pidana, kewenangan yang berkaitan dengan pejabat publik baik itu kewenangan terikat maupun kewenangan bebas bukanlah menjadi ranah hukum pidana. Hal tersebut baru masuk dalam ranah hukum pidana, apabila penyalahgunaan wewenang yang dilakukan sifatnya bukan administrasi akan tetapi menimbulkan kerugian bagi banyak orang dan negara. Dalam hal ini yang sering terjadi adalah kolusi, korupsi, nepotisme, penyelundupan barang atau pajak serta jual pengaruh.

Ada beberapa ciri untuk menyatakan bahwa telah terjadi penyalahgunaan wewenang antara lain: menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas, dan menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberi kewenangan.

Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat publik haruslah dilakukan dengan sadar. Artinya, dia mengetahui apa yang telah dilakukannya itu sehingga dalam proses pembuktian perbuatan tersebut mengandung niat atau mens sit rea. Dia tidak bisa menyalahkan orang lain atas perbuatannya itu.

Dengan demikian, perbuatan tersebut harus dilakukan oleh orang yang memiliki suatu jabatan yang diangkat oleh pejabat yang berwenang. Dalam pembuktian unsur melawan hukumnya haruslah pejabat negeri/pemerintah bukan swasta.

Dalam menjalankan kewenangan ada kewajiban bagi pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum. Mengapa demikian, sebab timbulnya pelanggaran hukum seperti korupsi, penyelundupan, penggelapan pajak, dagang pengaruh dan lain-lain tidak terlepas dari kekuasaan atau kewenangan yang tidak terkontrol atau terjadinya penyalahgunaan kewenangan (a buse of power). Oleh karena itu, ada batasan-batasan yang patut dipatuhi oleh pemegang wewenang itu.

Dalam upaya mengatasi persoalan penyalahgunaan wewenang harus jelas bahwa ada larangan yang tidak boleh dilakukan,yaitu larangan melampui wewenang, larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang.

Dari uraian itu jelas Brigjen Prasetijo tergolong telah menyalahgunakan  wewenangnya. 

Mencoreng Wajah Hukum dan Kepolisian

 Dari kasus ini jelas wajah hukum Indonesia kembali tercoreng. Khusus kepolisian, kasus ini seolah makin membenarkan survei LSI-ICW pada tahun 2018 bahwa potensi terbesar penyalahgunaan wewenang khususnya pungutan liar alias pungli dalam pelayanan birokrasi ada di kepolisian (CNN,11/12/2018).

Kasus ini pun seolah membenarkan, pendapat Frank (1973) bahwa dalam negara patrimonial cerita permainan “kebijakan” antara pemilik modal dengan aparat hukum bukanlah cerita baru.    

Ternyata kendati sudah cukup banyak rambu hukum mengatur agar pejabat tidak menyalahgunakan kewenangannya, dimulai dari fit and profer test, seleksi ketat, pakta integritas dan lain-lain, namun faktanya aturan hukum atau kode etik profesi itu tak cukup ampuh menahan lajunya penyalahgunaan wewenang pejabat. Lalu apa yang dapat dilakukan?

Tampaknya kita harus kembali kepada masalah klasik pendidikan karakter, bahwa sebaik apapun aturan, hukum jika moral “orang” yang menjalankannya bejat, maka hukum, aturan, kode etik dan sejenisnya tak akan mempan. Seperti cerita dalam legenda Kerajaan Cina, bahwa penegakan hukum itu sangat tergantung pada aktor si penegak hukumnya, bukan pada teksnya. “Berikan aku hukum yang buruk asalkan penegak hukumnya baik, maka hukumnya akan baik.”

Sebaliknya, sebaik apa pun hukumnya, bila faktor “orangnya” atau penegak hukumnya buruk, hukumnya pun akan buruk.

Wallahu’alam bissawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement