Jumat 24 Apr 2020 09:42 WIB

Membuka Data Korban Corona yang Sebenarnya

Data korban corona Ekuador kecil, tetapi mayat berserakan di jalanan

Petugas mengenakan pakaian hazmat mengangkut peti mati yang ditinggalkan di luar rumah di Guayaquil, Ekuador, Senin (6/4).
Foto: AP
Petugas mengenakan pakaian hazmat mengangkut peti mati yang ditinggalkan di luar rumah di Guayaquil, Ekuador, Senin (6/4).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eko Widiyatno*)

Respons cepat pemerintah menjadi kunci penanganan wabah, terlebih pada penyakit Covid-19 yang penyebarannya sangat mudah. Hanya dengan menghirup oksigen yang terpapar partikel droplet penderita, orang lain akan tertular. Namun, di Tanah Air, respons cepat ini gagal ditunjukkan pemerintah.

Hingga kini jumlah warga positif terjangkit Covid-19 yang dipublikasikan gugus tugas penanganan Covid-19 memang masih relatif sedikit dibanding negara lain. Data di Worldometer per 23 April 2020 menyebutkan Indonesia ada pada posisi ke-34 dari 210 negara terjangkit.

Sementara itu, di lingkungan negara-negara Asia, jumlah penderita Covid-19 di Indonesia menduduki posisi ke-12. Jumlah kasusnya sebanyak 7.419 kasus pasien positif. Bila dibanding dengan jumlah penduduk yang 268 juta jiwa, jumlah kasus sebesar itu memang masih relatif sedikit.

Namun, apakah dengan melihat perbandingan data kasus tersebut kita layak berbesar hati? Mari kita cermati dahulu mengapa angka kasus positif tersebut masih relatif kecil.

Dengan mencermati data perkembangan kasus Covid-19 dari hari ke hari yang dipublikasikan pemerintah, kita akan bisa mengurai apa yang sebenarnya terjadi dengan data kita, termasuk mengurai mengapa jumlah kasus Covid-19 masih sedikit.

Salah satu yang dicermati adalah jumlah pasien yang dinyatakan positif, negatif, dan sembuh. Dari akumulasi data tersebut, kita bisa mengetahui berapa sebenarnya kapasitas tes swab yang dilakukan pemerintah.

Sebagaimana diketahui, data resmi yang digunakan pemerintah untuk menghitung perkembangan kasus Covid-19 didasarkan pada hasil pemeriksaan sampel swab pasien dengan menggunakan metode PCR (polymerase chain reaction), bukan dengan metode rapid test yang memang tidak selalu bisa diandalkan akurasinya.

Dengan metode PCR, analis di laboratorium yang ditunjuk pemerintah memeriksa langsung keberadaan virus SARS-CoV-2 melalui lendir yang diambil dari tenggorokan dan hidung pasien.

Untuk melakukan pemeriksaan swab, pemerintah telah menunjuk 16 laboratorium yang bisa  melakukan tes swab. Belakangan, pemerintah telah menambah jumlah laboratorium pemeriksaan sampel swab menjadi 48 laboratorium.

Namun, saat masih 16 laboratorium yang melaksanakan tes swab, hasil tes yang disampaikan relatif masih sangat sedikit. Hingga pertengahan April 2020, rerata sampel swab yang diperiksa 16 laboratorium hanya pada kisaran 250-280 sampel per hari. Kapasitas pemeriksaan sebesar ini dihitung dari publikasi gugus tugas Covid-19 mengenai jumlah kasus positif, negatif, dan pasien sembuh.

Dengan data ini, bisa disimpulkan setiap laboratorium rata-rata hanya memeriksa sekitar 15-20 sampel per hari; jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.

Jangankan berbicara soal tes massal yang berarti melakukan tes terhadap sebesar-besarnya seluruh populasi. Khusus melakukan pemeriksaan PDP (pasien dalam pengawasan) yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit saja masih jauh dari memadai.

Berdasarkan data Worldometer, jumlah tes PCR yang dilakukan Pemerintah Indonesia pada 23 April 2019 baru tercatat sebanyak 55.732 kali. Di lingkungan negara-negara Asia, jumlah tes sebanyak ini termasuk 20 besar negara-negara yang tersedikit melakukan tes.

Bahkan, bila dihitung dari jumlah populasi penduduk masing-masing negara, rasio tes yang dilakukan Indonesia menduduki peringkat ke-5 terendah. Jumlah tes swab yang dilakukan hanya mencapai rasio 204 kali tes swab per 1 juta jiwa.

Negara-negara lain yang masih ada di bawahnya adalah Bangladesh dengan rasio 198 kali tes swab per 1 juta jiwa, Afghanistan dengan rasio 165 per 1 juta jiwa, Myanmar dengan rasio 96 per 1 juta jiwa, dan Laos dengan rasio 201 per 1 juta jiwa.

Bahkan, dibandingkan dengan bekas provinsi kita, Timor Leste, rasio tes swab yang dilakukan Indonesia masih tertinggal. Timor Lester tercatat telah melakukan tes swab sebanyak 322 kali, tetapi dengan rasio 244 kali per 1 juta jiwa.

Rendahnya kapasitas tes swab ini menjadi masalah yang banyak dikeluhkan pemerintah daerah dalam upaya mengatasi wabah Covid-19 di daerahnya. Hingga pertengahan April 2020, gugus tugas tingkat kabupaten/kota di Jawa pada satu periode tertentu hanya bisa menerima rata-rata 5-6 hasil tes swab. Itu pun dengan waktu tunggu yang cukup lama. Sejak dilakukan tes swab hingga menerima hasil, waktu yang dibutuhkan selama 7-9 hari.

Melihat kondisi ini, banyak pemerintah daerah yang akhirnya berinisiatif membeli sendiri perangkat rapid test, tentunya dengan APBD sendiri. Meski hasil pemeriksaannya tidak menjamin 100 persen akurat, paling tidak pemerintah daerah bisa melihat gambaran peta sebaran Covid-19 di daerahnya.

Sejauh ini kita belum bisa memahami mengapa pemeriksaan sampel swab yang dilakukan laboratorium yang dirujuk pemerintah demikian lamban. Entah karena terbatasnya reagen PCR, masalah peralatan yang memadai, SDM analis, atau memang ada upaya pembatasan proses pemeriksaan.

Namun, bila melihat data sebaran Covid-19 yang tercantum di situs resmi covid19.go.id, terkesan pemerintah memang enggan membeberkan data lengkap. Dalam situs itu hanya termuat data mengenai sebaran kasus per provinsi, kasus terkonfirmasi, kasus dalam perawatan, kasus sembuh, dan kasus meninggal. Selain itu, ada grafiknya.

Bila sebelumnya ada data jumlah kasus pasien dalam pengawasan (PDP) dan kasus negatif, belakangan sudah tidak ada lagi. Bahkan, data mengenai pasien disebut masih dalam perawatan hanya merujuk pada jumlah kasus yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19, bukan merujuk pada jumlah pasien dalam perawatan (PDP) yang jelas jumlahnya akan jauh lebih besar.

Sebagaimana disebutkan di awal, kesigapan pemerintah dalam mengani wabah memegang peran penting untuk mengeliminasi penyebaran kasus, termasuk kesigapan dalam meng-update data yang berarti kecepatan dalam melakukan melakukan tes swab.

Update data ini tidak hanya diperlukan pemerintah untuk merumuskan kebijakan mengeliminisai wabah, tetapi juga bagi tenaga medis yang menangani pasien dan juga masyarakat.

Dengan kecepatan pelaksanaan tes swab, tenaga medis bisa cepat mengambil langkah kuratif yang memadai untuk menangani pasien. Demikian juga bagi masyarakat, bisa segera melakukan langkah-langkah pencegahan agar tidak terpapar Covid-19.

Bahkan, bila dalam penanganan wabah hendak menerapkan konsep herd immunity, kecepatan data hasil tes swab tetap diperlukan. Dengan kecepatan tes swab, kita bisa menilai sejauh mana penerapan herd immunity yang dihitung berdasarkan rasio populasi telah tercapai.

Dalam wabah Covid-19 ini, kita mungkin bisa berkaca pada wabah yang terjadi di Ekuador, negara di Amerika Selatan yang memiliki iklim yang serupa dengan Indonesia, sama-sama dilintasi garis khatulistiwa.

Pemerintah negara tersebut secara resmi hanya melaporkan kasus per 23 April 2020 sebanyak 10.850 kasus Covid-19 dengan jumlah kematian sebanyak 537 jiwa. Sementara itu, jumlah pelaksanaan tes swab-nya mencapai 34.840 kali, dengan rasio 1.975 per 1 juta jiwa.

Namun, data tersebut disangsikan berbagai kalangan karena banyaknya laporan mengenai mayat-mayat pasien Covid-19 yang tidak tertangani dengan baik. Banyak rumah sakit di negara itu juga dilaporkan lumpuh karena tidak mampu menangani banyaknya pasien. Berbagai sumber menyebutkan, angka kematian akibat Covid-19 di negara itu pernah mencapai 6.000 jiwa per hari.

Sejauh ini, Indonesia tidak mengalami kondisi semacam itu. Namun, semua itu kembali pada bagaimana pemerintah dan masyarakat bersikap sigap dalam menangani wabah. Semoga apa yang terjadi di Ekuador tidak terjadi di negara kita tercinta.

*) penulis adalah jurnalis republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement