Jumat 17 Apr 2020 17:15 WIB

Covid-19 dan Problem Implementasi PSBB

Kebijakan PSBB tak mengandung unsur kebaruan sama sekali dalam menanggulangi Covid-19

Covid-19 dan Problem Implementasi PSBB (Ilustrasi). FOTO: Suasana lalu lintas di kawasan simpang susun Kartini, Jakarta, Kamis (16/4/2020).
Foto: MUHAMMAD IQBAL/ANTARA FOTO
Covid-19 dan Problem Implementasi PSBB (Ilustrasi). FOTO: Suasana lalu lintas di kawasan simpang susun Kartini, Jakarta, Kamis (16/4/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Satriantoro *)

Pemerintah Pusat pada 1 April lalu akhirnya mengeluarkan kebijakan terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebelumnya, dinamika di publik terbelah terkait perlukah Indonesia menerapkan lockdown (karantina wilayah). Kebijakan ini, meskipun terlambat, menjadi arahan bagi pemerintahan daerah yang telah lama menunggu instruksi pusat dalam rangka menghadapi wabah Covid-19.

Baca Juga

PSBB berbeda dengan karantina wilayah atau lockdown. Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi, sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Sementara itu, karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi. Hal itu dilakukan sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Dalam PSBB, pengaturan juga meliputi penutupan berbagai macam aktivitas kegiatan yang ramai. Sebut saja, perkantoran, sekolah, dan kegiatan publik lainnya. Namun, mobilitas pergerakan manusia tidak dilarang. Ini berbeda dengan kebijakan karantina wilayah yang benar-benar menutup akses suatu wilayah.

Gerak-cepat pemda

Sebelum PSBB diterapkan, pemerintah daerah (pemda) telah bergerak lebih cepat dalam menangani kasus Covid-19 di wilayah masing-masing. Ini merespons lamanya pemerintah pusat dalam merumuskan kebijakan nasional terkait penanganan wabah ini. Pemerintah tercatat, baru mengeluarkan kebijakan tersebut setelah beberapa daerah terlebih dulu menetapkan kebijakannya masing-masing.

Misalkan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Solo (Jawa Tengah) yang meliburkan perkantoran, sekolah, dan aktivitas publik--jauh sebelum PSBB diterapkan. Bahkan, kita bisa juga melihat Kota Tegal (Jawa Tengah), Kota Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Provinsi Papua yang menerapkan karantina wilayah sebelum adanya PSBB. Ini menjadi wajar karena saat itu tak kunjung datang arahan dari pemerintahan pusat. Daerah berinisiatif bergerak dahulu sebelum wabah ini menjadi lebih buruk.

Problem PSBB

Melihat lebih dalam kebijakan PSBB ini, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi masalah. Pertama, tentu tentang lambannya komunikasi pusat ke daerah dalam melakukan sosialisasi kebijakan negara. Hal ini membuat daerah telah bergerak masing-masing.

Kondisi ini tentu tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Daerah tak bisa menunggu dalam menghadapi wabah ini. Sebab, pemerintah pusat pun baru mengeluarkan kebijakan PSBB sekian lama setelah banyaknya warga terjangkit virus korona baru.

Kedua, kebijakan PSBB tidak mengandung unsur kebaruan sama sekali. Kebijakan yang telah diterapkan beberapa daerah hakikatnya sama saja karakteristiknya dengan PSBB. Yakni, mengurangi keramaian aktivitas di tengah masyarakat. Ambil contoh, kebijakan Kota Solo dan DKI Jakarta yang tak jauh berbeda substansinya dengan kebijakan PSBB.

Ketiga, penerapan PSBB di daerah memerlukan persetujuan pemerintah pusat melalui izin Menteri Kesehatan. Ini sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)Nomor 9 Tahun 2020. Padahal, prosedur demikian tentu menambah rumitnya eksekusi kebijakan di tengah situasi kini.

Sebab, alur birokrasi daerah justru bertambah dalam rangka gerak-cepat menghadapi wabah Covid-19. Hal itu berujung pada tak efektifnya kebijakan ini di tataran praktis.

Merujuk pada Permenkes tersebut, ada beberapa pertimbangan PSBB dapat disetujui pemerintah pusat. Yakni, melihat jumlah kasus atau jumlah kematian, lalu kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah lain, serta memperhatikan kesiapan sisi sosial ekonomi suatu daerah.

Hingga kini, tercatat beberapa daerah tetap bertahan dengan kebijakannya sendiri karena alasan “terpaksa”. Kota Tegal, misalnya. Meskipun sudah ada instruksi pemerintah pusat terkait kebijakan PSBB, Pemerintah Kota Tegal tetap menerapkan karantina wilayah. Mereka saat ini sedang mengurus proses PSBB di tingkat pusat dan hingga kini belum disetujui pemerintah pusat.

Tak jauh berbeda, Kota Sorong di Papua Barat sebelumnya juga menerapkan karantina wilayah sampai tanggal 10 April. Saat ini mereka sudah mengajukan pengajuan PSBB ke pemerintah pusat, tetapi belum disetujui.

Tegal dan Sorong bahkan tercatat sempat “melawan” pemerintah pusat dengan bersikukuh melakukan penutupan wilayah, meskipun hal ini kemudian tidak berlanjut.

Beragam fenomena tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintah pusat. Yakni menambah catatan tidak memuaskannya pemerintah dalam menangani wabah Covid-19.

Tentu publik masih ingat dengan komentar pembantu–pembantu Presiden yang tampak menyepelekan wabah ini. Jangan sampai kekecewaan publik ditambah lagi dengan adanya kebijakan yang justru sulit diimplementasikan karena terlalu birokratis.

Sinergi: sebuah keniscayaan

 

Kita tentu mengharapkan sinergi antara pusat dan daerah, apalagi dalam keadaan seperti ini. Pemerintah pusat melalui Presiden mesti muncul dalam mengorkestrasi segala kebijakan penanganan Covid-19. Saatnya satukan suara dan pandu daerah dalam menghadapi krisis ini.

Ke depan, pemerintah pusat juga perlu memperbaiki pola komunikasi kebijakan yang ada. Arahan komunikasi pusat ke daerah mesti cepat dan responsif. Selain itu kebijakan yang dikeluarkan mesti tepat dan juga solutif.

Pemerintah pusat jangan gengsi untuk mengoreksi kebijakannya agar lebih aplikatif. Semoga.

photo
Arif Satriantoro - (Dok Ist)

*) Penulis merupakan mahasiswa master Ilmu Komunikasi pada Universitas Sains Malaysia (USM).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement