Rabu 26 Feb 2020 00:20 WIB

Kisah Keluarga Anggota DPR Versi RUU Ketahanan Keluarga

Sulit membayangkan keluarga harmonis versi RUU Ketahanan Keluarga

Nur Aini
Foto: dok. Republika
Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*)

Alkisah keluarga anggota DPR hidup setelah RUU Ketahanan Keluarga disahkan. Keluarga itu tinggal di sebuah rumah dinas di Jakarta dengan ayah merupakan mantan pejabat daerah dan ibu adalah seorang anggota DPR. Mereka memiliki dua anak, yaitu anak laki-laki yang bersekolah di SMP dan anak perempuan masih balita.

Suatu pagi, sehari setelah RUU Ketahanan Keluarga disahkan, keempatnya berada di ruang dapur. Suami yang sudah tidak lagi memiliki jabatan apapun sedang melihat laptopnya mencari tender proyek. Sebagai kepala keluarga sesuai dengan pasal 25 UU Ketahanan Keluarga, suami bertanggung jawab menjaga kesejahteraan dan memberikan keperluan hidup berumah tangga. Meski istrinya adalah anggota DPR, dia adalah satu-satunya yang bertanggung jawab mencari nafkah keluarga, sesuai amanat dari UU Ketahanan Keluarga.

Sementara, si istri sedang sibuk memasak di dapur sambil menggendong putrinya yang masih balita. Dia tidak memiliki pekerja rumah tangga (PRT) karena sesuai dengan pasal 25, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Oleh karena itu, dia harus sendirian yang mengatur urusan rumah tangga untuk anak dan suaminya hari itu. Memasak dan mengasuh anak adalah urusan rumah tangga. Dia juga harus meningkatkan intensitas interaksi keluarga untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga sesuai pasal 45. Bagaimana bisa meningkatkan interaksi, kalau anak selalu bersama PRT? dan bagaimana pula bisa mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, kalau semua urusan dapur diserahkan ke PRT? Sebagai istri, dia harus memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai ketentuan perundang-undangan.

Selang satu jam kemudian, suami pergi untuk urusan bisnis. Si istri harus menyiapkan keperluan anaknya yang mau berangkat sekolah. Di saat itu, anaknya yang balita menangis. Saat itu pula telepon dari kantornya berdering, karena rapat paripurna segera dimulai. Si istri yang anggota DPR itu pun bingung sendirian, jika dia menghadiri rapat paripurna, bagaimana mengurus rumah tangga? Jika dia mengurus urusan rumah tangga, bagaimana dia tetap bekerja sebagai anggota DPR? Mengapa pula dia harus tetap bekerja sebagai anggota DPR, padahal suami yang wajib memberikan keperluan hidup berumah tangga?

Sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana keluarga harmonis versi RUU Ketahanan Keluarga. Padahal, saya sudah berupaya melihat keluarga yang biner atau kaku dalam pembagian peran bahwa suami sebagai kepala rumah tangga harus memberikan keperluan keluarga dan istri mengurus rumah tangga. Kisah yang saya tuliskan itu berlatarbelakang keluarga anggota DPR yang secara finansial tercukupi. Akan tetapi, pelaksanaan RUU Ketahanan Keluarga pun sepertinya tidak bisa diwujudkan, meski hanya dari satu pasal yang mengatur peran suami dan istri. Saya semakin sulit membayangkan bagaimana "keluarga harmonis versi RUU Ketahanan Keluarga" pada keluarga kelas menengah yang suami istri harus bekerja untuk membayar cicilan rumah atau keluarga miskin kota yang suaminya sakit-sakitan karena sulit mengakses fasilitas kesehatan sehingga istri harus bekerja.

Saya justru berpikir mengenai istri yang bisa menjadi anggota DPR karena urusan domestiknya yaitu mengurus rumah tangga tidak sepenuhnya berada di dalam tanggungjawabnya. Usulan mengenai peran suami istri yang kaku itu jelas memperlihatkan para pengusul RUU Ketahanan Keluarga melupakan keistimewaan atau privilege mereka sebagai kelas finansial tercukupi. Mereka berpikir bisa mengatur rumah tangga sebagai istri, padahal melupakan bahwa urusan rumah tangganya selama ini seperti memasak, membersihkan rumah, dan lainnya sudah diserahkan kepada PRT. Mereka juga berpikir bahwa suami adalah satu-satunya yang bertanggung-jawab memenuhi keperluan keluarga, karena tidak menanggung beratnya cicilan dan besarnya biaya rumah tangga: papan, sandang, pangan, sekolah anak, dan lainnya.

Dari sederet pasal bermasalah, saya menyoroti permasalahan RUU Ketahanan Keluarga selanjutnya yaitu mementingkan keutuhan keluarga dengan menegasikan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tidak ada satu pun kata kekerasan dalam draft RUU Ketahanan Keluarga. Padahal, berdasarkan catatan Komnas Perempuan 2019, KDRT mendominasi kekerasan terhadap perempuan yang mencapai 71 persen atau 9.637 kasus. Kondisi itu terjadi meski Indonesia telah memiliki UU nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

Penyusunan RUU Ketahanan Keluarga tidak melihat kondisi yang lebih mendesak untuk diatasi seperti kekerasan terhadap perempuan. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan terus terjadi yang pada 2019 tercatat melonjak hingga 14 persen atau menjadi 406.178 kasus dari 348.466 kasus tahun sebelumnya. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru lambat dibahas dan tidak kunjung disahkan.

RUU Ketahanan Keluarga muncul lewat usulan lima anggota DPR dari empat fraksi. Mereka yaitu anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani, anggota Fraksi Golkar Endang Maria Astuti, anggota Fraksi Gerindra Sodik Mujahid, dan anggota Fraksi PAN Ali Taher. Jika RUU Ketahanan Keluarga tidak segera dicabut dan justru dilanjutkan, kita bisa beramai-ramai menanyakan kepada pengusulnya yang perempuan: kok malah bahas RUU, bukannya mengurus rumah tangga di rumah? dan bagi pengusul laki-laki: kok tidak menolak poligami yang bisa merusak keutuhan keluarga?

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement