Rabu 29 Jan 2020 02:34 WIB

Reaksi Sumatra Barat Terhadap Virus Corona, Wajarkah?

Isu penolakan wisatawan China bukanlah sentimen rasisme.

Reiny Dwinanda
Foto: istimewa/doc pribadi
Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*

Gemas rasanya melihat orang yang tak menutup mulutnya saat batuk atau bersin. Ini adab yang sederhana sebetulnya, tapi masih banyak yang tak melakukannya.

Sebuah studi yang diprakarsai oleh University of Maryland, AS pada Januari 2018 mengungkap bahwa orang bisa kena flu hanya dengan bernapas. Studi yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences itu mengungkap, orang yang sedang sakit bisa menularkan virusnya tak harus dengan membuat percikan liurnya (droplet) tersebar di udara lewat batuk atau bersin.

Udara yang mereka embuskan pun sudah bisa membuat orang lain yang menghirupnya terjangkit. Parahnya, cemaran dari embusan napas orang sakit itu bisa bertahan lama di udara. Apalagi jika mereka masih di awal jatuh sakit akibat flu.

Kabarnya, virus corona jenis baru juga punya kemampuan menularkan selagi pengidapnya belum merasakan gejala demam, batuk kering, dan sesak napas. Alhasil, sulit untuk mendeteksi dini orang yang terinfeksi.

Seperti jenis virus lainnya, novel coronavirus (nCov) 2019 pun mengincar mereka yang kekebalan tubuhnya rendah. Tak heran jika korban meninggal infeksi virus corona ini umumnya ialah lansia atau orang yang memiliki penyakit lainnya. Anak-anak juga termasuk kelompok rentan.

Kini, sudah 100 orang tak selamat, lebih dari 4.600 lainnya terinfeksi, dan kasusnya ada setidaknya di 13 negara. Laju penularannya makin cepat, meski ada satu pasien yang diumumkan China telah sembuh dari infeksi corona. 

Sembuh? Iya, seperti penyakit demam berdarah dan batuk-pilek pada umumnya yang disebabkan oleh serangan virus, infeksi virus corona juga bisa dilawan sendiri oleh sistem imun.

Pukulan bagi pariwisata

Di tengah kekhawatiran global mengenai penyebaran pneumonia berat terkait virus corona, pariwisata berbagai negara pun kena imbasnya. Betapa tidak, turis China jumlahnya telah meningkat 10 kali lipat sejak 2003, menurut perusahaan riset Capital Economics.

Di Jepang, Thailand, Vietnam, Australia, dan juga Indonesia selama ini turut merasakan dampak ekonomi dari kunjungan turis China. Target kunjungan wisatawan mancanegara bisa jadi meleset mengingat wabah penyakit akibat virus corona tak bisa diprediksi kapan bisa tertanggulangi. Hotel, restoran, bisnis cendera mata, dan tempat-tempat wisata tentu terpukul dengan adanya pembatasan perjalanan bagi turis China.

Di Sumatra Barat, gesekan telah muncul menyusul kedatangan 150 turis China. Agenda wisata lima hari mereka buyar begitu warga menyalakan alaram kekhawatirannya akan penyebaran virus corona. Kedatangan gelombang kedua turis China pada 31 Januari pun sedang dalam proses pembatalan oleh biro perjalanan wisata Marawa Tour & Travel.

Warga mengantisipasi kemungkinan terburuk, mengingat virus corona bisa saja sudah menginfeksi meskipun orang belum mengeluh sakit. Pihak travel pun dapat memaklumi aspirasi masyarakat dan menganggap pemulangan turis China maupun pembatalan kedatangannya merupakan hal baik untuk kebaikan bersama.

Menurut saya, penolakan ini bukanlah sentimen rasisme seperti yang diembuskan pihak yang ingin memancing di air keruh. Faktor psikologis massa terkait risiko penularan virus corona lebih dominan ketimbang hal lain.

Faktanya, dunia memang masih meraba soal penanggulangan virus corona. Di lain sisi, sepanjang tahun warga dunia berada di bawah ancaman kematian akibat influenza.

Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS, antara 9 sampai 45 juta kasus influenza terjadi saban tahun dalam satu dekade terakhir dengan jumlah rawat inap 140 ribu – 810 ribu kasus dan kematian sekitar 12 ribu – 61 ribu kasus.

Terlepas dari besaran kasusnya, apa bedanya ancaman virus influenza dengan virus corona? Sejauh ini, belum ada vaksin untuk melindungi orang dari virus corona, sementara vaksin influenza sudah tersedia secara luas walaupun cakupan imunisasinya masih rendah.

Di samping itu, WHO telah meralat status penyebaran virus corona yang semula disebut moderat. Awal pekan ini, WHO mengumumkan hasil uji risiko dan menetapkan status wabah penyakit akibat virus corona baru sebagai "risiko sangat tinggi di China, risiko tinggi di level regional, dan risiko tinggi di level global". Virus corona belum dinyatakan sebagai kegawatdaruratan global.

Langkah kecil

Di saat ilmuwan dunia belum mampu menyediakan vaksin maupun obatnya, ada hal kecil yang bisa kita lakukan untuk membentengi dari dari tertular pneumonia berat yang berawal dari kota Wuhan di China itu. Utamanya ialah menjaga imunitas. Memastikan tenggorokan tetap basah dengan sering minum, mengonsumsi makanan bergizi, dan cukup tidur dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit.

Selain itu, menjaga kebersihan tangan juga sangat penting. Benda-benda yang kita pegang, mulai dari pegangan pintu, tombol lift, pegangan tangan di kereta, bus, atau MRT, telepon kantor, hingga putaran keran di toilet umum bisa jadi telah dihinggapi kuman. Virus itu bisa masuk ke dalam tubuh hanya dengan memegang hidung, mulut, mengucek mata, atau makan dengan tangan yang kotor.

Mereka yang sedang pilek dan batuk bisa berpartisipasi menjaga orang lain yang imunitasnya sedang turun dengan menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin. Sapu tangan, tisu, atau menggunakan masker akan membantu mengurangi jumlah virus yang tersebar di udara. Menunduk dan menutup dengan lengan pun bisa diterapkan saat batuk dan bersin. Yuk, budayakan itu dan mari doakan wabah terkait virus corona tertangani, tak sampai menjadi pandemi.

*penulis adalah wartawan Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement