Senin 27 Jan 2020 03:06 WIB

Tantangan Fiskal Sektor Energi pada 2020

Pemerintah di 2020 ini memiliki kewajiban untuk menyelesaikan pendapatan kompensasi.

Sunarsip
Foto: dokrep
Sunarsip

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Sunarsip*

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita masih menganut asas kas (cash basis). Itu artinya, realisasi Pendapatan dan Belanja Negara yang dicatat dalam APBN tahun bersangkutan merupakan realisasi besarnya kas yang diterima (pendapatan negara) dan besarnya kas yang dikeluarkan (belanja negara).

Pada 7 Januari 2020, Kementerian Keuangan telah mempublikasikan realisasi APBN 2019. Hasilnya, realisasi Pendapatan Negara tumbuh 0,7 persen dibandingkan realisasi di 2018. Sementara itu, realisasi Belanja Negara tumbuh 4,4 persen dibandingkan realisasi di 2018. Selama 2019, realisasi Pendapatan dan Belanja Negara masing-masing mencapai Rp1.957,2 triliun dan Rp2.310,2 triliun. Seiring dengan pertumbuhan pendapatan negara yang lebih rendah dibanding belanja negaranya, realisasi defisit keseimbangan primer (primary balance deficit) dan defisit APBN (fiscal deficit) 2019 juga mengalami lonjakan.

Realisasi defisit keseimbangan primer di 2019 mencapai Rp77,5 triliun atau tumbuh 574,5 persen dibanding realisasinya di 2018. Sementara itu, defisit APBN (fiskal) pada 2019 mencapai Rp353,0 triliun, tumbuh 31,0 persen dibanding realisasinya di 2018. Realisasi defisit APBN di 2019 ini setara 2,2 persen terhadap PDB, meningkat dibanding 2018 yang mencapai 1,82 persen terhadap PDB.

Seperti dikemukakan di awal, APBN kita menganut cash basis. Karena cash basis, APBN kita berpotensi belum mengakui seluruh pendapatan yang terjadi di tahun tersebut (atau masih menjadi piutang pemerintah) dan seluruh belanja negara yang terjadi di tahun tersebut (atau masih menjadi kewajiban/utang pemerintah). Tidak cukup data yang bisa digunakan untuk menjelaskan besarnya pendapatan negara yang masih menjadi piutang pemerintah. Sementara itu, kewajiban pemerintah yang seharusnya dikeluarkan kasnya pada tahun bersangkutan, datanya relatif tersedia. Salah satunya adalah kewajiban pemerintah berupa kompensasi yang terkait dengan belanja di sektor energi. Seperti apa bentuknya?

Sebagaimana diketahui, setiap tahunnya pemerintah mengeluarkan belanja di sektor energi berbentuk subsidi energi, baik subsidi BBM/LPG maupun listrik. Subsidi BBM/LPG diberikan pemerintah kepada Pertamina karena telah menjalankan penugasan untuk menyalurkan BBM/LPG bersubsidi. Sementara itu, subsidi listrik diberikan pemerintah kepada PLN karena telah menjalankan penugasan untuk menjual listrik bersubsidi.

Besarannya sudah ditetapkan pemerintah bersama DPR, dan selama ini pembayaran dari pemerintah relatif lancar. Selama 2019, besarnya subsidi energi mencapai Rp136,9 triliun atau menurun dibanding realisasi 2018 sebesar Rp153,5 triliun.

Namun, sejak 2017, selain subsidi energi pemerintah juga mempunyai “kewajiban baru” di sektor energi yang harus dipenuhi kepada Pertamina dan PLN. Yaitu berupa belanja kompensasi, yang oleh Pertamina dan PLN diakui sebagai pendapatan kompensasi dalam laporan keuangannya. Munculnya belanja kompensasi di sektor energi ini konsekuensi akibat Pertamina dan PLN tidak melakukan penyesuaian harga jual BBM/LPG dan listrik nonsubsidi yang seharusnya dinaikkan.

Perlu diketahui, selain menyediakan produk BBM, LPG, dan listrik bersubsidi, Pertamina dan PLN juga menjual produk nonsubsidi. Produk nonsubsidi inilah yang menjadi penopang utama pendapatan bagi kedua BUMN di sektor energi tersebut. Karena merupakan produk nonsubsidi, Pertamina dan PLN sebenarnya memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga sesuai dengan kondisi pasar. Misalnya, bila harga minyak naik, Pertamina dapat menaikan harga BBM/LPG nonsubsidinya. Begitu juga, bila harga batubara mengalami kenaikan, PLN juga dapat menaikan tarif listrik nonsubsidinya karena biaya produksi pengadaan listrik meningkat.

Sayangnya, sejak 2017, baik Pertamina maupun PLN tidak dapat menjalankan kewenangan tersebut secara penuh. Pemerintah, demi pertimbangan untuk menjaga daya beli masyarakat dan kelangsungan usaha, meminta Pertamina dan PLN tidak menaikan harga BBM/LPG dan listrik nonsubsidi. Konsekuensinya, pemerintah mengganti kerugian yang dialami Pertamina dan PLN dengan memberikan kompensasi. Kompensasi ini perlu diberikan, karena bila tidak diberikan, kedua BUMN tersebut berpotensi merugi di laporan keuangannya.

Sebagai contoh, Pertamina pada 2018, membukukan laba Rp35,99 triliun. Raihan laba ini dapat diperoleh karena Pertamina membukukan pendapatan kompensasi dari pemerintah Rp44 triliun. Hal yang sama juga dialami PLN. Pada 2018, PLN membukukan laba Rp11,6 triliun. Raihan laba ini juga dapat diperoleh karena PLN membukukan pendapatan kompensasi Rp23,2 triliun. Itu artinya, bila kedua BUMN tersebut tidak membukukan pendapatan kompensasi, laporan keuangannya berpotensi merugi.

Pendapatan kompensasi adalah hak bagi Pertamina dan PLN untuk mengakuinya sebagai pendapatan. Namun, pengakuan pendapatan kompensasi ini tidak banyak membantu bila tidak disertai pembayaran kas-nya (cash inflow). Pertanyaannya, apakah pada laporan realisasi APBN 2019 yang diumumkan pemerintah di awal 2020 ini telah memasukkan komponen pembayaran atas kewajiban kompensasi kepada Pertamina dan PLN? Sepertinya belum seluruhnya. Itu berarti, pemerintah di 2020 ini memiliki kewajiban untuk menyelesaikan kompensasi tersebut, dan diperkirakan jumlahnya meningkat karena pada 2019, kewajiban kompensasi juga masih muncul dengan jumlah yang tidak kecil.

Terlihat bahwa tantangan fiskal di sektor energi di 2020 ini cukup berat. Pemerintah dan BUMN energi dituntut mampu mengelola risiko fiskal ini dengan baik. Pemerintah perlu mengelola risiko fiskal dari sektor energi ini dengan hati-hati agar exposure ini tidak berdampak pada penurunan sovereign rating dan pelemahan nilai tukar Rupiah.

Sementara itu, Pertamina dan PLN perlu melakukan upaya-upaya korporasi agar kepercayaan kreditur (lender) dan investor tetap terjaga. Menjaga kepercayaan kreditur dan investor ini penting, mengingat sekalipun saat ini menghadapi tantangan keuangan yang cukup besar, Pertamina dan PLN tetap dituntut untuk menyelesaikan proyek-proyek strategis, seperti kilang migas, lanjutan dari program 35 GW, pengembangan energi baru dan terbarukan, dan lain-lain.

Bila melihat kinerja sisi Penerimaan Negara di APBN 2019 yang lambat, sepertinya prospek cash inflow pemerintah di 2020 ini masih akan relatif sama dengan tahun lalu. Pertamina dan PLN tampaknya tidak dapat berharap banyak di 2020 ini pemerintah akan memenuhi seluruh kewajibannya terkait dengan kompensasi. Karenanya, Pertamina dan PLN perlu banyak melakukan pendekatan korporasi untuk mensiasati arus kas (cash flow), mengingat cash flow dari sisi fiskal (pembayaran kompensasi) akan relatif sulit diandalkan.

Dukungan pemerintah yang bersifat kas memang semakin terbatas. Namun, dukungan pemerintah di luar kas (noncash) juga memegang peran penting untuk mendukung kinerja BUMN energi. Di sektor kelistrikan, kebijakan pemerintah melalui penetapan harga tetap (fixed price) batubara yang berlaku sejak 2017 adalah bentuk dukungan nonkas yang penting dari pemerintah. Saya kira pemerintah dapat memperluas dukungan nonkas lainnya. Misalnya, melalui kebijakan pemerintah untuk mendorong pemerintah daerah terlibat dalam penyediaan infrastruktur sektor energi. Yaitu, dengan mengalokasikan APBD-nya terlibat dalam pembangunan transmisi atau distribusi kelistrikan, jaringan gas perkotaan, dan lain-lain. Dukungan ini akan cukup membantu dalam meringankan beban BUMN sektor energi kita dalam penyediaan infrastruktur sektor energi.***

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement