Rabu 22 Jan 2020 01:30 WIB

Pemerintah akan Sikapi WNI Teroris Lintas Batas

Mahfud mengakui pemulangan WNI terlibat teroris lintas batas punya risiko.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.
Foto: Republika TV/Surya Dinata
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia dihadapkan pada pilihan dalam menyikapi warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi teroris pelintas batas atau foreign terrorist fighter (FTF) di negara lain. Pengambilan sikap tersebut ditentukan paling lambat pertengahan tahun 2020.

"Jumlahnya kira-kira 660. Ini kan persoalannya sekarang, mereka ini ada yang minta pulang, ada yang menyuruh dipulangkan," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (21/1).

Baca Juga

Mahfud mengatakan, berbagai negara memiliki banyak keinginan untuk menyikapi keberadaan WNI yang menjadi kombatan di negaranya. Menurut dia, ada yang ingin memulangkan anak-anak yatim saja. Ada pula yang ingin memulangkan perempuan dan anak-anak saja.

"Ada yang mau memulangkan perempuan dan anak-anak, tapi FTF-nya, fighter-nya, itu tidak dipulangkan. Tapi negara yang menjadi tempat juga mempersoalkan gimana ada orang teroris pelintas batas di sini," tutur dia.

Pilihan-pilihan tersebut telah Mahfud diskusikan dengan beberapa pihak terkait melalui rapat koordinasi khusus di kantornya. Ia menjelaskan, pemerintah tengah menimbang untuk memulangkan mereka semua atau tidak.

Dari hasil diskusi, terdapat masalah jika memang para FTF itu dipulangkan ke Indonesia. Pilihan itu dihadapkan terhadap prinsip-prinsip dasar konstitusi yang menyatakan setiap waga negara punya hak untuk mendapat kewarganegaraan dan tak boleh berstatus tidak memiliki kewarganegaraan.

"Kalau mereka dipulangkan karena hak itu, itu juga bisa menjadi, ada yang khawatir bisa menjadi virus, virus teroris-teroris baru. Nah ini sedang dicari cara," katanya.

Pengambilan sikap tersebut, kata Mahfud, meyangkut banyak kementerian di Indonesia. Beberapa di antaranya, yakni Kementerian Sosial yang menampung akibat-akibat sosialnya, Kementerian Hukum dan HAM yang mengurus soal hukum dan kewarganegaraannya.

"Ada juga pariwisata dan investasi bisa terkena imbas kalau misalnya masih ada ancaman teroris," terangnya.

Meski begitu, Mahfud menyebutkan, keputusan untuk menyikapi persoalan itu akan lekas dibuat. Menurut perkiraannya, paling lama pertengahan tahun ini sikap tersebut sudah diambil dan diserahkan ke Presiden Joko Widodo.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement