Jumat 17 Jan 2020 01:04 WIB

Arogansi Donald Trump di Timur Tengah

Donald Trump melawan tekanan dalam negeri dengan menyerang Iran

Donald Trump
Foto: republika
Donald Trump

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*

Kawasan Timur Tengah diliputi ketegangan yang dengan cepat bereskalasi menjadi spekulasi pecahnya perang dunia ketiga. Memanasnya kawasan itu dipicu peristiwa pada 3 Januari 2020 yang menandai babak baru konflik antara Amerika Serikat dan Iran. Serangan udara AS di Bandara Internasional Baghdad Irak menewaskan Komandan Pasukan Quds Mayor Jenderal Qassem Soleimani.

Soleimani merupakan tokoh besar di kawasan Timur Tengah. Dia disebut-sebut sebagai orang kedua paling kuat di Iran setelah Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei. Sebagai pemimpin pasukan Quds, divisi dari Garda Revolusi Iran, Soleimani bertanggung jawab dalam operasi ekstrateritorial, termasuk kontra-intelijen di kawasan. Kematiannya membuat luka bagi Iran hingga Khamenei menjanjikan aksi balasan untuk AS yang dilaksanakan dengan menembakkan rudal ke pangkalan Ain al-Asad di Irak, yang dioperasikan pasukan AS bersama Irak.

Donald Trump mengaku memerintahkan serangan udara yang menewaskan Soleimani. Keputusan membunuh Soleimani menggambarkan arogansi sekaligus keputusasaan Trump terhadap politik dalam negeri AS. Trump boleh beralasan pembunuhan terhadap Soleimani dilakukan atas ancaman rencana serangan besar di empat kedutaan besar AS. Akan tetapi, tekanan yang dihadapi Trump di dalam negeri sebenarnya lebih mengancam bagi masa depan politik Trump.

Amerika Serikat akan memulai putaran pemilihan presiden pada 2020. Donald Trump sebagai pejawat akan kembali bertarung dalam pemilihan presiden. Akan tetapi, popularitasnya tengah digoyang oleh penyelidikan pemakzulan. House of Representative mendakwa Trump dengan pasal penyalahgunaan kekuasaan untuk memulai penyelidikan pemakzulannya.

Pembicaraan Donald Trump dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menjadi jalan masuk bagi upaya pemakzulan oleh House. Trump dituding menekan Zelensky untuk menyelidiki lawan politiknya, Joe Biden yang merupakan kandidat calon presiden AS dari Partai Demokrat, serta anaknya Hunter Biden atas dugaan melakukan bisnis korup saat bekerja di perusahaan gas Ukraina, Burisma. Meski membantah tudingan itu, Trump tetap diterpa badai  pemakzulan yang bola panasnya akan berpindah ke Senat, di mana mayoritas anggotanya berasal dari partai pengusungnya, Republik.

Badai bagi popularitas Trump juga muncul dari berbagai peristiwa dalam negeri AS, salah satunya adalah rentetan penembakan massal. Selama 2019, pembunuhan massal dengan korban empat orang atau lebih, mencatat rekor tertinggi yaitu 41 kasus. Dari jumlah itu, 33 kasus merupakan penembakan massal. Berbagai kasus penembakan massal di AS itu kerap disebut-sebut sebagai terorisme domestik. Meskipun, Donald Trump sering menanggapi penembakan itu dengan kata "mengerikan", tapi dia justru memilih menembaki warga negara lain.

Arogansi Donald Trump semakin terlihat jelas saat dia menanggapi serangan ke pangkalan militer Irak dengan menyatakan AS tak perlu memukul mundur Iran. Trump tidak memberikan ancaman militer secara langsung. Dia justru mengancam Iran dengan sanksi ekonomi yang lebih kuat sebagai respons atas apa yang dia sebut sebagai agresi Iran. Trump memilih untuk arogan memainkan isu terorisme di luar negeri, yaitu kawasan Timur Tengah, ketimbang memperbaiki citranya lewat kebijakan dalam negeri.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement