Sabtu 23 Nov 2019 14:13 WIB

Ahok dan Gebrakan Sapu Bersih di BUMN

Penunjukan Ahok sebagai komisaris utama perusahaan plat merah mengundang pro kontra.

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
Foto: Antara/Reno Esnir
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)

REPUBLIKA.CO.ID, Langkah Menteri BUMN Erick Thohir memangkas birokrasi di kementeriannya mengundang atensi dari berbagai kalangan. Langkah berani Erick menyapu bersih pejabat teras menjadi salah satu gebrakan yang dilakukan kurang dari 30 hari setelah mendapat mandat sebagai menteri BUMN.

Apa yang dilakukan Erick sejatinya merupakan hal yang fundamental bagi organisasi modern. Organisasi modern butuh struktur efektif dan efisien. Organisasi yang gemuk malah akan menambah panjang alur birokrasi. Ini yang menjadi masalah klasik organisasi sektor publik di Indonesia. Pelayanan lambat, berbelit, dan tidak kompatibel dengan kemajuan zaman di era revolusi industri 4.0.

Baca Juga

Penelitian yang dilakukan Royal Veterinary College London bisa menjadi analogi yang tepat untuk menggambarkan cara kerja organisasi modern bertahan di era penuh persaingan. Penelitian itu menunjukkan bahwa kunci organisme bertahan di tengah sturktur piramida rantai makanan adalah kelincahan.

Dengan merekam ribuan aktivitas hewan di Bostwana, peneliti menemukan fakta bahwa hewan mangsa, seperti impala dan zebra, ternyata akan mampu menghindari kejaran dari predator, macam singa dan cheetah, dengan cara mengurangi kecepatan mereka dalam berlari.

Berlari cepat dengan manuver monoton ternyata sebuah bunuh diri. Ternyata dengan mengurangi berakselerasi demi memperbanyak manuver berkelok, peluang hidup seekor zebra dan impala jauh lebih besar. Semakin ramping bobot tubuhnya, semakin mudah bagi organisme itu untuk bermanuver.

Sebuah analogi yang cocok dengan situasi di era disrupsi saat ini. Sebab semakin lincah dan cepat organisasi bermanuver mengikuti perubahan zaman, akan semakin besar kemungkinan mereka untuk tetap survive dan meraih competitive advantage.

Penelitian Royal Veterinary College London itu juga disadari betul oleh presiden Jokowi. Karenanya, periode kedua pemerintahannya Jokowi berencana untuk menghapus jabatan eselon satu. Ini agar birokrasi bisa lebih ramping. Sehingga bisa lebih lincah dalam bergerak, bermanuver, hingga berinovasi mengikuti perkembangan zaman.

Ide Jokowi ini pula yang langsung diterapkan Erick di bulan pertama kepemimpinannya di Kementerian BUMN. Menempatkan spirit organisasi modern yang efektif dan efisien ke dalam sektor publik, seperti BUMN, sudah menjadi kebutuhan mendesak. Ini agar struktur BUMN kompatibel dengan persaingan di era globalisasi dan disrupsi inovasi (innovative disruption).

photo
Menteri BUMN Erick Thohir bersama Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kantor Kementerian BUMN, Jumat (22/11).

Organisasi yang gemuk dan budaya kerja yang terlalu birokratis sudah seharusnya berlalu. Kini saatnya BUMN melakukan transformasi di segala sektor. Transformasi yang dimulai reorganisasi birokrasi kementerian BUMN sendiri.

Memasuki era disrupsi inovasi, BUMN dihadapkan pada sejumlah tantangan. Tantangan pertama lingkungan yang berubah dengan kemajuan inovasi teknologi. Disrupsi inovasi membuat bisnis model semakin simpel, pilihan produk melimpah, dan semakin mudah dijangkau masyarakat.

Prinsip era disrupsi, yakni 3 M (mudah dalam mengakses, melimpah dalam pilihan, dan murah dari sisi biaya), mesti diterapkan sebagai spirit BUMN. Dengan disrupsi, organisasi jauh lebih efisien. Sebab teknologi telah memangkas beban kerja dan biaya yang dahulu dikerjakan manusia. Sebaliknya era disrupsi mendorong setiap organisasi untuk berinovasi.

Sekalipun organisasi itu incumbent penguasa pasar, namun jika tidak berinovasi terancam terdisrupsi. Jadi setiap BUMN dituntut untuk tetap inovatif dengan tidak mengabaikan research and development (R&D). Karenanya prinsip 'inovate or die' jadi amat relevan.

BUMN harus menjadi pendisrupsi bukan yang terdisrupsi, "be disrupt not disrupted." Lantas bagaimana BUMN berinovasi bila budayanya terlalu birokratik nan kaku? Bagaimana berinovasi jika strukturnya terlalu gemuk dan tidak efektif? Ibarat analogi hewan buruan, sulit untuk bermanuver jika bobot tubuh mereka terlalu berat.

Walhasil, era disrupsi mau tak mau diikuti dengan semangat downsizing (perampingan) agar organisasi bisa lebih lincah dalam melangkah. Agaknya hal ini yang menjadi dasar perampingan di kementerian BUMN. Sebagai nahkoda utama ratusan perusahaan negara, Kementerian BUMN tampaknya ingin mengubah pola yang terlalu mekanistik dan birokratik.

Mekanistik dan brokratik inilah yang bisa membuat roda organisasi bergerak lambat. Padahal di era revolusi industri 4.0 ini sektor usaha sudah tak tersekat batas wilayah. Sektor usaha semakin ramai diserbu pemain dari berbagai negara yang bergerak secara organik. Walhasil, perubahan terjadi begitu cepat dan setiap saat.

Siapa yang terlambat bereaksi, maka alamat gulung tikar mengancam. Karenanya BUMN mesti lebih lincah dalam bergerak dan menata rencana dan strategi bisnis ke depan.

Tak hanya gebrakan reorganisasi, langkah strategis Kementerian BUMN yang lain adalah dengan menunjuk sejumlah nama tokoh di luar latar belakang BUMN untuk menduduki kursi pimpinan perusahaan plat merah. Nama yang paling mengundang atensi publik adalah Ahok.

Ada pro dan kontra yang muncul di balik penunjukan itu. Namun reaksi yang muncul justru menjadi pertanda positif karena diskursus publik yang terbangun. Sebagai usaha milik publik, BUMN memang butuh atensi publik (awareness). Selama ini, kurangnya awareness justru menjadi salah satu kendala bagi BUMN untuk maju.

Pro dan kontra soal Ahok sangat konstrukif dalam perspektif awareness publik pada sektor usaha negara. Awareness ini yang bisa diolah sebagai 'equity' bagi BUMN.

Memang, berbicara soal Ahok akan sulit dilepaskan pada riwayat politik masa lalu. Namun perlu digarisbawahi, BUMN bukanlah institusi politik. Tolok ukur krusialnya juga bukan kalkulasi politik melainkan ekonomi, yakni untung atau rugi. Dengan keuntungan, BUMN akan menjadi aset penggerak pembangunan. Sebaliknya kerugian malah akan membuat BUMN menjadi beban pembangunan.

Karenanya, dalam menilai kepemimpinan di sektor ekonomi yang utama bukanlah asal usul politiknya, melainkan kompetensi dan kapabilitas yang dimiliki. Selama memiliki core competency dan capability yang baik untuk memimpin sektor usaha menuju target yang dituju, maka itulah yang jadi prasyarat utama. Tak peduli apakah namanya Ahok atau yang lainnya.

Seperti kata Deng Xiaoping, "tak peduli dia kucing hitam atau putih, asalkan mampu menangkap tikus!"

photoAbdullah Sammy, wartawan Republika.

Penulis: Abdullah Sammy, wartawan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement