Selasa 29 Oct 2019 07:12 WIB

Kawal Terus UU Pesantren

UU Pesantren diharapkan meningkatkan kualitas pendidikan pesantren.

Agung Sasongko
Foto: dok. Republika
Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agung Sasongko*

Ketika saya mendengar UU Pesantren disahkan, muncul pertanyaan di kepala saya, seberapa perlu UU ini perlu dihadirkan. Toh, tanpa UU ini, pesantren sudah menunjukan eksistensinya. Mereka mampu bertahan dengan ciri khasnya masing-masing.

Namun, saya ambil positifnya saja, keberadaaan UU ini bisa berarti pemerintah memberikan pengakuan terhadap lembaga pendidikan khas nusantara ini. Saya memang tidak pernah mondok, sesekali hanya bisa merasakan atmosfer lingkungan pesantren. Saya kira, lembaga pendidikan ini perlu mendapatkan dukungan dan pengakuan, apapun bentuknya.

Masa depan bangsa ini ditentukan kualitas dari lembaga pendidikan, yang ada salah satunya pesanten. Jadi, saya kira titik beratnya adalah pendidikan untuk semua. Hilangkan dahulu klaim tertentu sehingga meniadakan tujuan akhir dari pendidikan kita.

Ada yang berpandangan pendidikan yang baik dan berkualitas tentu dibarengi dengan nilai yang harus dibayarkan oleh para orang tua. Nah ini yang membuat saya juga sebagai orang tua sedikit was was dengan biaya pendidikan yang naik setiap tahunnya.

Bayangkan, untuk masuk lembaga pra sekolah biaya yang mesti ditembus belasan juta rupiah. Sementara, seingat saya uang masuk kuliah tak lebih dari tiga juta rupiah. Gila, apakah harga sebuah masa depan ini mesti demikian mahal.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, kenaikan rata-rata biaya pendidikan di Indonesia sebesar 10% per tahun. Biaya sekolah makin mahal, karena kenaikannya lebih tinggi dibanding Upah Minimum Provinsi (UMP) yang cuma berkisar 8-9% setiap tahun.

Memang ada program pemerintah yang menggratiskan pendidikan hingga sekolah menengah pertama. Persoalannya apa mungkin kualitasnya setara dengan yang bayar lebih mahal?. Apakah kualitasnya setara dengan setiap daerah?pertanyaan lainnya, sejauhmana kurikulum yang setiap tahun berubah bisa menjamin kualitas itu?

Karena itu, saya berharap pesantren hadir dengan wajah yang berbeda setelah hadirnya UU Pesantren. Artinya ada banyak pilihan  lembaga pendidikan yang dapat memberikan opsi terbaik untuk masa depan bangsa ini. Utamanya pesantren kecil yang jumlahnya banyak, dan tersebar luas di seluruh nusantara.

Manajemen pesantren yang terus diperbaiki. Inovasi juga perlu dilakukan. Belum lama ini saya menghadiri program bantuan untuk pesantren. Ternyata memang masih ada pesantren yang secara ekonomi butuh bantuan. Ini berarti bahwa lembaga yang dahulu menjadi penggerak kemerdekaan bangsa ini juga perlu pembenahan.

Hal terpenting, jumlah pesantren besar memang hanya belasan, namun kehadiran banyaknya pesantren memberikan pesan bahwa masyarakat makin percaya dengan pola pendidikan berasrama seperti pesantren. Ini yang perlu dijaga dan dikembangkan.

Mudahkah itu dilakukan?

Saya mendapatkan informasi dari Kepala Kemenag Kuningan, Hanif  Hanafi, yang menyebut bahwa banyak pesantren yang mati suri. Ini disebabkan karena pimpinan pesantren atau tokoh pesantren meninggal dunia, sementara tak ada penerus yang mampu menggantikannya. Akibatnya tak ada lagi aktivitas belajar mengajar santri di pesantren tersebut. 

Di Kuningan ada sekitar 200 pesantren yang terdata. Dari jumlah itu ada sekitar 10 persen atau 20 pesantren itu yang mati suri.

Gambaran ini seolah mencambuk kita semua, untuk mengawal jalannya seluruh lembaga pendidikan. Jadi, UU Pesantren hanyalah awal. Perjalanannya masih sangat panjang dan membutuhkan kebijaksanaan seluruh pihak untuk mengawalnya.

Saya sangat berharap ada wajah baru pesantren, dengan beragam potensi tanpa kehilangan ciri khasnya. Luar biasanya perjuangan para santri telah melahirkan NKRI. Dan di masa modern ini, santri bersama elemen bangsa yang lain menjawab tantangan di masa depan, utamanya industri 4.0.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement