Jumat 18 Oct 2019 09:04 WIB

Darurat Literasi Zakat?

Diperlukan lebih banyak lagi amil yang menulis literasi zakat.

Muhammad Fuad Nasar (kiri), Direktur Pemberdayaan Zakat dan wakaf Kemenag RI menerima buku Amil Zakat Easy Going karya Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direktur IZI (kanan) dalam peluncuran buku tersebut di Jakarta, Rabu (9/10).
Foto: Karta Raharja Ucu/Republika
Muhammad Fuad Nasar (kiri), Direktur Pemberdayaan Zakat dan wakaf Kemenag RI menerima buku Amil Zakat Easy Going karya Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direktur IZI (kanan) dalam peluncuran buku tersebut di Jakarta, Rabu (9/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direktur IZI

"Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis” –  Imam Al-Ghazali

Kemarin, saat launching buku "Amil Zakat Easy Going ; Pemikiran dan Inisiatif Zakat di Era 4.0" yang bertempat di Kemang, Jakarta, Pak Muhammad Fuad Nasar, Direktur Pemberdayaan Zakat dan wakaf Kemenag RI menyampaikan diperlukan lebih banyak lagi amil yang menulis literasi zakat. Ini amat penting untuk menyebarluaskan soal zakat dan sekaligus mendorong anak-anak muda (milineal) untuk tertarik masuk menjadi bagian gerakan zakat.

Memang tak banyak amil yang bersedia menulis soal zakat. Apalagi secara terus menerus istiqomah menjadi bagian penebar literasi zakat. Menulis bagi para amil sebenarnya bukan hal baru, apalagi untuk urusan penting semisal laporan, pastilah diperlukan narasi atas apa yang sudah dilakukan. Bukan soal menulisnya yang memberatkan sesungguhnya, tetapi lebih ke soal tanggungjawabnya.

Apa yang dituliskan khawatir berujung pertanyaan, apa lembaganya sudah lebih baik? Sudah menjalankan semua yang dituliskan? Berat sekali bukan tanggungjawab moralnya, daripada menulisnya itu sendiri.

Memulai Dari Hati

Saat seorang amil menulis, sejatinya bukan soal ia sedang mencari panggung atau popularitas. Biasanya lebih dimaksudkan untuk berbagi dan ingin berkontribusi gagasan agar iklim perzakatan lebih baik lagi.

Saat yang sama, apa yang ia tuliskan pun bisa jadi tatarannya masih ide dan perlu penyempurnaan dari banyak pihak. Jadi ketika ia menceritakan sebuah proses atau contoh apa yang sudah ia kerjakan, sebenarnya hal ini pemantik saja untuk terus mendapat perbaikan.

Ketika sebuah kesukesan diceritakan, pun bukan bermaksud menaikan standar lembaga agar dianggap lebih baik dari yang lain, namun lebih untuk mengajak diskusi lain yang lebih panjang untuk terus menemukan titik lemah yang ada dan "menambalnya" agar terus bertambah baik lagi.

Para amil penulis bukan segalanya, ia butuh terus untuk berlatih dan menajamkan ide-idenya agar bisa dipahami dan diterima di dunia literasi zakat negeri ini. Para amil yang ingin menulis, kiranya perlu terus didorong dan diberikan apresiasi yang memadai sehingga memicu lahirnya para amil penulis lainnya yang bersedia menjadi punggawa literasi zakat Indonesia.

Negeri ini, kata Pak Fuad adalah negeri dengan jumlah lembaga pengelola zakat terbanyak di dunia. Maka sudah sewajarnya bila produksi literasi zakatnya juga terbanyak di dunia.

Faktanya literasi zakat masih terbatas jumlahnya, yang muncul justru lebih banyak dari kalangan akademik yang berdiri di luar lingkaran amil. Mereka berada layaknya peneliti, pengamat dan pemerhati yang tetap saja ada jarak dari emosi dan keseharian rasa yang berkembang dari seorang amil zakat sebenarnya.

Perasaan, pikiran dan seluruh emosi amil zakat harus berani dituangkan dalam dialektika gagasan yang enak untuk dibaca dan dipahami publik. Amil yang penulis, masih sangat dibutuhkan agar beragam jalan keamilan yang ditempuh bisa tergambarkan dengan jelas dan tanpa bias. Para amil pendahulu yang menuliskan jalan panjang tentang kehidupan yang ia tempuh sebagai amil perlu terus dibudayakan semangatnya agar para penerusnya bisa lebih mudah meneruskan jalan amil ini.

Bagi amil yang berniat menjadi penulis, mari kita geser niatnya. Niat awal yang semula terbersit untuk  mengajari, menceritakan kehebatan atau jalan sukses yang pernah dilakukan, mari kita geser justru untuk memberi solusi, mengajak menemukan kesuksesan masing-masing dan berbagi pengalaman sendiri.

Memposisikan diri dan lembaga sendiri menjadi lebih besar dari lembaga lain hanya akan menjerumuskan kita bersama pada fatamorgana kesuksesan semu. Apalagi amil-amil baru pasti akan "canggung" untuk belajar dengan cara begitu. Mereka bisa jadi justru segan untuk bergabung duduk bersama dalam lingkaran kemajuan gerakan zakat.

Menguatkan literasi zakat, anggap saja saat ini sudah darurat, sehingga memacu kita untuk sungguh-sungguh menjadi bagian penegak literasi. Walau memulainya sulit, ternyata menjaga niat untuk terus konsisten juga tak mudah. Saat yang sama, tidak boleh juga bergeser menjadi "mencari panggung" untuk menggapai popularitas diri. 

Tersebab itulah, lebih aman belajar bersama dan maju dalam komunitas yang terjaga dalam belajar dan berlatih jadi amil penulis ini. Agar seluruh spirit dan prasyarat untuk maju dan berkembang jadi amil penulis bisa digapai bersama-sama. Siapa pun mentor atau coach penulisnya, ia sudah seharusnya menjadi guru lahir dan batin bagi amil penulis yang akan lahir.

Bagi para amil yang ingin mewarnai gerakan zakat dengan beragam tulisan dan buah karya literasi zakat, mari sekali lagi luruskan niat dan banyak berdoá agar setiap huruf yang membentuk kata, setiap kata yang sambung menyambung menjadi kalimat dan setiap kalimat dalam lembar demi lembar buku atau halaman karya tulisnya Allah jadikan bekal pahala dan jadi amal jariyah yang tak putus-putusnya, bahkan setelah penulisnya meninggal dunia.  Semoga.

#Ditulis di ruang tunggu Bandara Achmad Yani Semarang sambil menunggu penerbangan Batik Air ID 7369 Semarang-Jakarta, Senin, 14 Oktober 2019.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement