Kamis 17 Oct 2019 04:07 WIB

PHP Simon Mc Menemy dan Kompetisi Buruk di Indonesia

Kegagalan timnas sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak awal.

Israr Itah
Foto: Dokpri
Israr Itah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Israr Itah*

Saat Joko Driyono, yang kala itu berstatus wakil ketua umum PSSI, mengumumkan pengangkatan Simon McMenemy sebagai pelatih tim nasional Indonesia senior pada akhir 2018, saya tidak terlalu tertarik, tapi tak juga mencibir. Simon punya CV cukup baik bersama timnas Filipina dan membawa Bhayangkara FC juara Liga 1 2017. Ia juga sempat memoles Mitra Kukar dan Pelita Bandung Raya. Setidaknya, ia punya pengalaman cukup tentang betapa rumitnya kompetisi dan sepak bola di Indonesia.

Simon punya sederet target untuk diwujudkan. Pertama, membawa timnas lolos ke putaran kedua kualifikasi Piala Dunia 2020 yang juga menjadi kualifikasi Piala Asia 2023. Kedua, meningkatkan peringkat timnas Indonesia ke posisi 120 besar pada akhir 2020. Target ketiga yang paling utama, yakni membawa Indonesia juara Piala AFF 2020.

Jujur saja, sebagai jurnalis olahraga sekaligus pendukung timnas Indonesia selama puluhan tahun, saya sudah berada di level tak punya ekspektasi berlebih terhadap skuat senior Merah Putih. Ada saat timnas senior bermain sangat memukau, namun memetik hasil negatif. Ada juga periode timnas tampil tak istimewa, namun meraih kemenangan demi kemenangan. Tapi ini jarang sekali. Satu lagi--apesnya ini paling sering--sudah tak bermain bagus, hasilnya juga kalahan.

Saya tak menyangka ini terjadi pada masa kepemimpinan Simon. Sebabnya, ia diwarisi timnas yang menjanjikan setelah ditangani Luis Milla Aspas, meski sempat sebentar dipegang oleh Bima Sakti sebagai caretaker. Simon juga pelatih bule. Biasanya, para pemain timnas Indonesia bisa lebih disiplin di tangan pelatih asing asal Eropa.

Saya mulai memberikan sedikit kredit kepada Simon saat ia membuat semacam code of conduct yang mesti dipatuhi para pemain. Ia pernah mencoret Rizky Pora karena melakukan pemukulan dalam pertandingan Liga 1. Menurut Simon, perilaku itu tak pantas dilakukan oleh pemain timnas.

Pelatih asal Skotlandia ini menjauhkan program latihan dan uji coba timnas dari sorotan media. Simon beralasan ingin para pemainnya tanpa beban saat melahap semua menu latihan dan mempraktikkannya ketika pertandingan. Tanpa sorotan publik dan media, Simon ingin para pemainnya tak malu bila membuat kesalahan. Simon ingin pada laga sesungguhnya, para pemain sudah belajar banyak dan tak lagi membuat kesalahan.

Ada laga uji coba timnas senior yang disiarkan langsung. Saat itu, timnas senior bermain biasa saja. Tapi saya menduga Simon sengaja tak menampilkan kekuatan timnas secara utuh untuk dikeluarkan saat kualifikasi Piala Dunia 2022. Lagipula, dalam benak saya, peak performance pemain akan diatur sedemikian rupa agar muncul pada waktu pertandingan kualifikasi tersebut. Ini merupakan hal dasar dalam periodisasi atlet.

Saya dan beberapa teman jurnalis menilai sekarang kesempatan besar bagi timnas untuk melangkah lebih jauh pada kualifikasi Piala Dunia dibandingkan sebelumnya. Sebab, kita mendapatkan undian yang bisa dibilang menguntungkan. Indonesia tergabung dengan tim-tim yang biasa dihadapi di level Asia Tenggara, yakni Thailand, Malaysia, Vietnam, ditambah tim kuat Uni Emirat Arab (UEA).

Ekspektasi saya makin meninggi saat timnas memulai kiprahnya menghadapi Malaysia pada 5 September lalu. Timnas bermain menjanjikan pada babak pertama dan memimpin 2-1 lewat dua gol Alberto 'Beto' Goncalves. Tapi harapan itu lekas punah pada babak kedua. Simon membuat pergantian yang kontraproduktif yang membuat kening berkerut. Ia juga tak lekas mengantisipasi perubahan taktikal pelatih Malaysia Tan Cheng Hoe saat timnas dalam tekanan. Akhirnya, saya merasakan salah satu patah hati paling sakit sepanjang hidup menjadi pendukung timnas Indonesia. Tim Merah Putih dibungkam Malaysia 2-3 lewat gol injury time di stadion kebanggaan kita, Gelura Bung Karno.

Kiper Andritany Ardhiyasa dihujat karena dinilai bertanggung jawab pada dua gol Malaysia. Saya sepakat Andritany tampil di bawah performa, tapi lebih cenderung menyalahkan Simon yang salah bereaksi merespons dinamikan pertandingan dan tak cepat memperbaikinya. Yang bikin saya gondok sebagai jurnalis, latihan dan uji coba timnas yang penuh misteri sepanjang persiapan berbulan-bulan ternyata hanya menghasilkan penampilan timnas yang tak jelas juntrungannya. Antara Simon yang tak punya ide jelas tentang permainan yang diinginkannya atau para pemainnya yang tak bisa mengeksekusi dengan sempurna. 

Makin geregetan saat Simon menyalahkan kondisi fisik pemain yang tak bugar karena habis di kompetisi domestik. Hei, bukankah dia diangkat menjadi pelatih karena dinilai paham akan masalah pelik ini dan diharapkan punya solusi untuk mengatasinya.

Okelah, tak bisa menyalahkan Simon hanya dari satu laga. Mari tunggu pertandingan kedua melawan Thailand. Tapi ternyata tak ada yang berubah, bahkan lebih buruk. Indonesia kesulitan meladeni Thailand dan hanya beruntung tak kebobolan pada babak pertama. Paruh kedua, tiga gol menghunjam gawang Andritany. Simon pun keluar dengan alasan yang sama, fisik pemain tak mendukung. Pemain kelelahan.

Setelah kemudian timnas dicukur UEA 0-5, pasti sudah, tak ada yang bisa diharapkan dari Simon. Benar saja karena kita kemudian dipermalukan Vietnam 1-3 di kandang sendiri. Saya semakin sadar sudah terkena PHP (pemberi harapan palsu) oleh Simon.

Berharap lolos ke putaran berikutnya bak mimpi di siang bolong. Sebab tiga laga melawan Malaysia, Thailand, dan Vietnam semua berlangsung di kandang lawan. Hanya satu pertandingan tersisa di kandang sendiri, yakni melawan tim kuat UEA. Menghindari kekalahan sudah merupakan sesuatu yang bagus jika melihat performa timnas saat ini.

Kompetisi buruk

Terlepas dari tak mulusnya polesan Simon, kegagalan timnas sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak awal. Simon tak bisa memaksimalkan pemain yang sudah habis di kompetisi lokal. Kompetisi yang dalam 10 tahun ke belakang tak kunjung beranjak naik kualitasnya. Klub-klub yang tak memenuhi lisensi AFC dalam hal sporting, infrastruktur, personnel & administration, legal, dan finance masih bisa berlaga. Padahal koar-koar soal wajibnya klub memenuhi lisensi AFC ini sudah didengungkan sejak era Nurdin Halid masih menjadi ketua umum PSSI.

Jangankan lapangan latihan milik sendiri, sejumlah klub Liga 1 masih banyak yang belum punya stadion yang memenuhi syarat untuk menggelar pertandingan liga profesional. Ada klub yang administrasi dan keuangannya tak mumpuni tetap dipaksakan atau memaksa bermain. Masih banyak hal lain yang bakal panjang jika dijabarkan satu per satu.

Hebatnya, dengan kondisi ini kompetisi Liga 1 sebagai pemasok pemain timnas 'dipaksa' menjadi tambang uang. Jadwal dibuat sedemikian rupa agar hampir setiap hari ada pertandingan. Kompetisi padat di Inggris tak ada apa-apanya dibandingkan Liga 1 Indonesia. Alhasil, pemain yang merasakan dampaknya, diperas tenaganya tanpa waktu pemulihan cukup.

Belum lagi tuntutan suporter klub-klub Indonesia yang kadang tak masuk akal. Ingin klubnya menang terus, tapi tak realistis melihat kemampuan klub kesayangan mereka. Bukan rahasia kalau sejumlah pemain kunci kadang terpaksa dimainkan meskipun tak 100 persen fit demi mengejar tuntutan menang. Dengan kondisi ini, sulit bagi pelatih timnas untuk merancang periodisasi dan menentukan peak performance pemain.

Saat semua serba dipaksakan, output-nya pastilah tak maksimal. Mayoritas pengurus klub mengejar hasil akhir dan abai akan proses. Target juara kompetisi domestik juga sudah cukup asal penggemar puas dan sponsor banyak masuk. Gonta ganti pelatih dalam semusim jadi hal lumrah. Tak peduli mau pakai strategi apa, yang penting jangan kalah. 

Wasit berbuat salah dan merugikan klubnya, manajemen diprotes. Saat wasit menguntungkan timnya, pengurus tutup mata. Kualitas wasit dan asisten wasit yang tak kunjung ideal membuat semuanya kerumitan ini menjadi lengkap.  Saya tak mau membahas dugaan suap, sebab akan makin panjang lagi nanti.

Harus ada goodwill dari pemangku kebijakan PSSI untuk mengubah hal ini. Sejak dulu saya mendengar ide untuk menggelar kompetisi kasta tertinggi yang berkualitas, tak peduli pesertanya hanya sedikit. Tapi tiap tahun juga keinginan ini tak pernah terealisasi. Bisa jadi akibat tekanan sejumlah klub yang tak mau rugi.

PSSI sudah membuat gebrakan dengan menggulirkan liga usia muda. Tapi dengan kondisi buruk di kompetisi tertinggi papan atas Tanah Air, para pemain muda bertalenta yang lahir tak akan berkembang menjadi pemain hebat saat dewasa. 

Oh ya, PSSI akan menggelar kongres untuk memilih ketua umum dan anggota Komite Eksekutif (Exco) yang baru pada 2 November. Pemilihnya, berkaca dari kongres luar biasa (KLB) PSSI yang digelar akhir Juli 2019, sebanyak 86 voters. Ini terdiri dari 34 Asosiasi Provinsi (Asprov), 18 klub Liga 1, 16 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, Asosiasi Futsal dan Asosiasi Sepak Bola Wanita.

Kongres PSSI ini diharapkan menghasilkan ketua umum dan anggota Exco yang bisa membuat gebrakan dan perbaikan demi kemajuan prestasi sepak bola Indonesia. Namun melihat nama-nama yang lolos untuk dipilih, agaknya harapan itu terlalu tinggi. Sebab wajah-wajah lama masih bercokol. Mereka yang sudah gagal pada masa lalu bahkan ingin kembali. Luar biasa percaya dirinya!

Kalau sudah begini, kita hanya banyak-banyak berdoa. Hanya Tuhan yang tahu kapan sepak bola kita bisa berprestasi di level senior.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement