Jumat 04 Oct 2019 06:35 WIB

Memahami Kekacauan Informasi

Politik dan SARA menjadi bahan terbanyak kekacauan informasi.

Esthi Maharani
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*

Di era modern saat ini, informasi tersebar dengan sangat cepat dan mudah. Hanya dengan menggunakan gawai pintar, seseorang dengan mudah mendapatkan sekaligus membagikan informasi. Namun, dari kemudahan itu muncul suatu masalah baru, yakni tersebarnya hoaks dengan mudah.

Di Indonesia, hoaks mulai menyebar secara masif saat momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012. Tren sebaran hoaks itu tidak berhenti pascaselesainya Pilkada DKI Jakarta. Bahkan, mulai berkembang dan semakin masif. Hingga pada tahun 2014, saat pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) hoaks kian meliar, baik secara daring maupun luring.

Dalam buku ‘Melawan Hasutan Kebencian’, hoaks bisa diartikan sebagai informasi yang direkayasa, baik dengan cara memutarbalikkan fakta atau pun mengaburkan informasi, sehingga pesan yang benar tidak dapat diterima seseorang. Hoaks merupakan kekacauan informasi yang sering dipahami sebagai misinformasi dan disinformasi.

Misinformasi adalah informasi yang tidak benar namun orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi tersebut benar tanpa bermaksud membahayakan orang lain. Contohnya adalah informasi yang salah tentang kesehatan dan penculikan anak. Seringkali informasi seperti ini disebar tanpa ada verifikasi dari ahli atau pihak yang berwenang dan disebarkan justru dengan maksud yang baik, supaya orang lain tidak mendapat masalah atau terlibat dalam bahaya.

Selain misinformasi, ada pula disinformasi. Disinformasi adalah informasi yang tidak benar dan orang yang menyebarkannya juga tahu kalau itu tidak benar. Informasi ini merupakan kebohongan yang sengaja disebarkan untuk menipu, mengancam, bahkan membahayakan pihak lain.

Bentuk kekacauan informasi lainnya adalah Malinformasi. Informasi ini adalah informasi yang benar namun digunakan untuk mengancam keberadaan seseorang atau sekelompok orang dengan identitas tertentu. Atau dengan kata lain ini adalah sejenis hasutan kebencian. Misalnya, hasutan kebencian terhadap kelompok minoritas agama.

Perkembangan penetrasi internet di Indonesia membuat platform media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, dan lainnya menjadi sarana efektif untuk mendistribusikan hoaks. Survei Daily Sosial (2018) terhadap 2032 pengguna internet di Indonesia menunjukkan bahwa 81.25% responden menerima hoaks melalui Facebook, sekitar 56.55% melalui WhatsApp, sebanyak 29.48% melalui Instagram, dan tak kurang dari 32,97% responden menerima hoaks di Telegram. Masih ada platform media sosial lainnya yang juga dibanjiri hoaks, misalnya Twitter, namun jumlahnya di bawah 30%.

Banyaknya pendistribusian hoaks di Facebook, WhatsApp, dan Instagram karena tiga aplikasi ini paling populer, paling banyak digunakan di Indonesia. Ada banyak jenis hoaks, dari masalah kesehatan, makanan, politik, SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan), hingga bencana alam. Data Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada Januari 2017 menunjukkan bahwa jenis hoaks di media sosial yang diterima oleh 1.116 respondennya didominasi isu politik dan pemerintahan (91.80%) dan SARA  (88.60%). Isu-isu lain seperti kesehatan, makanan, dan bencana alam angkanya berada di bawah 50%.

Kecenderungan penggunaan tema politik dan SARA sebagai komoditas utama produsen hoaks juga terlihat dari data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Sepanjang Desember 2018, frekuensi hoaks terkait isu politik menempati peringkat pertama (40.90%) sedangkan frekuensi hoaks SARA menempati posisi kedua (17%). Tidak jarang kedua isu tersebut saling tumpang tindih, hoaks politik mengandung isu SARA dan sebaliknya isu SARA dikaitkan dengan isu politik.

Dari data tersebut, saya hanya ingin memberikan pemahaman tentang apa itu hoaks dan kekacauan informasi yang saat ini berkembang masif di Indonesia. Harapannya, tentu saja, agar masyarakat bisa memahami sebelum memberikan label pada satu isu atau berita yang diterima. Pada dasarnya, saya bisa bersepakat apabila hoaks menjadi ancaman nyata di era saat ini.

Tetapi, pertanyaan lanjutannya adalah siapa yang menyebarkan hoaks? Bagi saya, masyarakat tidak bisa 100 persen disalahkan atau dianggap sebagai penyebar hoaks atau menjadi pelaku murni kekacauan informasi. Apalagi hanya masyarakat yang ditawari dan dijejali solusi, pembelajaran untuk melawan hoaks seolah-oleh mereka yang paling bersalah. Saya percaya, bukan masyarakat saja yang harus belajar, tetapi aparat pemerintahan juga harus memahami apa itu hoaks, bagaimana menanganinya dengan tepat, dan tidak menjadi bagian yang ikut menyebarkannya, atau lebih parah menciptakan hoaks itu sendiri.

Saya tidak habis pikir apabila pemerintah sengaja menciptakan hoaks untuk melindungi dirinya sendiri. Bahkan lebih parah dari itu, membiarkan masyarakat kebingungan di tengah kekacauan informasi. Saya hanya khawatir kekacauan informasi ini merambah pada bentuk aksi nyata dan membuat kondisi semakin chaotic.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement