Senin 23 Sep 2019 03:32 WIB

'Salah Label', Strategi Marketing Zaman Now?

Pertumbuhan perusahaan ritel tak setinggi tahun-tahun sebelumnya.

Friska Yolandha
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*

Beberapa waktu lalu seorang kawan bercerita kalau dia merasa tertipu saat membeli keset di sebuah supermarket. Katanya, keset itu tengah promo beli satu gratis satu. Saat di kasir, petugas menghitungnya sebagai barang yang dibayar alias tidak gratis.

Kawan saya memprotes karena dia merasa mengambil keset di tempat promo. Kemudian, petugas mengatakan kalau keset yang promo bukan yang diambil kawan saya, ada merek lain.

"Kayaknya yang ini salah taruh," ujar petugas. Akhirnya kawan saya tak jadi membeli keset dan meminta refund.

Tak lama, saya mengalami sendiri kejadian salah label ini. Saat mengambil barang di rak, harga yang tertera tidak sama dengan saat barang dipindai di kasir. Kasir selalu mengatakan kalau harga yang benar adalah harga yang ada di kasir.

"Label di rak belum diganti, Bu," kata kasir. Dengan kesal saya membayar jumlah yang disebutkan petugas kasir.

Kejadian ini tidak sekali dua kali saya alami. Dan ini bukan hanya saya yang mengalami. Beberapa kawan dan sanak saudara juga pernah merasakan pengalaman serupa. Sampai saya berpikir, apakah ini ada unsur kesengajaan untuk mengambil keuntungan bagi pembeli yang tidak tahu?

Pembeli punya pilihan untuk tidak jadi membeli kalau teliti membaca struk belanja. Tapi, tidak sedikit pula yang jarang mengecek kembali struk belanja dan akhirnya membiarkan barangnya dibayar dengan harga yang berbeda dengan di rak.

Apakah salah label menjadi strategi penjualan terbaru ritel. Mereka sengaja menaruh harga lebih murah di rak dan membayar lebih mahal di kasir dengan harapan pembeli tidak mengecek kembali struk belanja mereka. Masa iya perusahaan ritel setega itu? Memang mereka tidak untung atau gimana?

Mengecek laporan keuangan emiten ritel, memang pertumbuhannya tak seindah tahun-tahun sebelumnya. Penjualan bersih PT Matahari Departemen Store Tbk, misalnya, pada Juni 2019 tercatat sebesar Rp 5,85 triliun. Jumlah ini naik tipis dibandingkan Juni 2018 sebesar Rp 5,91 triliun. Namun demikian, Laba bersih emiten berkode LPPF ini turun jadi Rp 1,16 triliun dari Rp 1,34 triliun.

PT Mitra Adi Perkasa Tbk mencatat kenaikan pendapatan 8,7 persen pada kuartal I 2019 menjadi Rp 4,3 triliun dibandingkan kuartal I 2018. Namun, laba bersih periode berjalan turun 53 persen jadi Rp 166 miliar.

Nasib berbeda dialami PT Hero Supermarket Tbk. Pendapatan bersih perusahaan yang membawahi supermarket Hero, Giant dan Ikea ini mengalami penurunan 2,5 persen menjadi Rp 6,6 triliun. Perseroan yang baru saja melakukan efisiensi gerai ini menutup kuartal kedua dengan rugi Rp 8,8 miliar.

Pendapatan Ramayana juga turun 1,7 persen pada kuartal II 2019 menjadi Rp 2,8 triliun. Akan tetapi, labanya naik 21 persen menjadi Rp 589 miliar.

Kenaikan pendapatan beberapa perusahaan ritel dibantu belanja hari raya pada kuartal II. Namun, kenaikan belanja ini terlihat tidak signifikan. Ini juga tampak dari pertumbuhan ekonomi yang pada tahun ini cenderung menunjukkan perlambatan. Bahkan saat didorong oleh konsumsi sekalipun.

Pada kuartal I 2019, pertumbuhan ekonomi hanya 5,07 persen. Pada kuartal II 2019, dimana diharapkan pertumbuhan lebih tinggi karena ada hari raya, ekonomi hanya tumbuh 5,05 persen.

Bagi emak-emak milenial, diskon adalah kunci bagaimana mendapatkan barang sebanyak-banyaknya dengan harga semurah-murahya. Apalagi, di tengah perekonomian yang tak pasti, ditambah ada suara-suara yang mengatakan, "Winter is coming,". Ini membuat para ibu lebih bijak dalam berbelanja dan memanfaatkan semaksimal mungkin semua kemudahan berbelanja, termasuk diskon dan cashback.

Namun, perusahaan ritel juga jangan sampai memperdaya para pembeli dengan cara yang tidak benar untuk meningkatkan penjualan. Jangan main-main dengan ketelitian seorang ibu dalam berbelanja, apalagi kebutuhan pokok. Kami para ibu akan tahu kalau ada kenaikan/penurunan harga produk kebutuhan sehari-hari.

Janganlah lagi pakai strategi salah label, atau memberi diskon barang dengan menaikkan harga aslinya terlebih dulu. It's so yesterday. Carilah strategi marketing lain yang lebih baik misalnya dengan memperluas pemasaran melalui e-commerce atau menggandeng youtuber kekinian untuk mendongkrak penjualan.

*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement