Jumat 06 Sep 2019 09:25 WIB

Berbenah Mempromosikan Wisata demi Menggaet Devisa

Kunjungan wisman ke Indonesia kalah dibandingkan Singapura, Malaysia, dan Thailand

Sejumlah wisatawan mengunjungi Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, Jumat (30/8/2019). Pemerintah menetapkan empat prioritas destinasi wisata, salah satunya Borobudur di Magelang, untuk manggaet wisman demi meningkatkan devisa dari sektor pariwisata.
Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Sejumlah wisatawan mengunjungi Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, Jumat (30/8/2019). Pemerintah menetapkan empat prioritas destinasi wisata, salah satunya Borobudur di Magelang, untuk manggaet wisman demi meningkatkan devisa dari sektor pariwisata.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Erik Purnama Putra*

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal pemerintahannya mencanangkan target besar demi menggaet 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) untuk berkunjung ke Indonesia. Upaya itu terbilang ambisius lantaran jumlah wisman yang datang ke Tanah Air pada akhir 2014, tercatat di angka 9,5 juta.

Berarti, dalam lima tahun dibutuhkan kenaikan kunjungan mencapai dua kali lipat. Sayangnya, menjelang akhir pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK), sepertinya angka 20 juta wisman masih jauh dari realita. Berdasarkan data Badan pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisman ke Indonesia pada 2018 baru mencapai 15,81 juta orang.

Angka itu meleset dari target yang dicanangkan Kemenpar, yang sudah berusaha realistis dengan menetapkan tingkat kunjungan sebesar 17 juta wisman. Bagaimana dengan tahun ini? Sepertinya sama saja. Dari target awal sebesar 20 juta wisman yang coba dijaring untuk berkunjung ke Indonesia, dan diturunkan lagi menjadi 18 juta wisman, namun hingga akhir Juni 2019, kunjungan wisman tercatat hanya 7,83 juta orang.

Torehan tersebut hanya naik 4,01 persen dibandingkan periode yang sama pada 2018, dengan jumlah kunjungan 7,53 juta wisman. Di sisa waktu yang ada dan melihat proyeksi kunjungan akhir tahun, capaian wisman menembus 16 juta orang saja sudah terbilang bagus.

Kalau data itu menjadi tolok ukur keberhasilan, sama saja hanya 80 persen target yang berhasil dipenuhi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) selaku leading sector dalam menggaet turis asing. Dari 20 juta wisman yang coba didatangkan, faktanya pemerintah maksimal hanya sanggup menjaring 16 juta wisman.

Tertinggal

Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya pernah menyinggung kalah pamornya destinasi wisatawan Indonesia dibandingkan negara tetangga di ASEAN. Arief mencontohkan, Candi Borobudur sepanjang 2018, hanya dikunjungi 250 ribu wisman. Angka itu kalah jauh daripada Angkor Wat di Kamboja yang meraup kunjungan 2,6 juta wisman pada periode sama. Sebuah angka yang jomplang kalau dikomparasi, mengingat keduanya adalah sama-sama Situs Warisan Sejarah Dunia versi UNESCO.

Padahal, jika ditilik Borobudur memiliki keunggulan historis yang sulit ditandingi situs bersejarah lainnya di dunia. Borobudur sudah didirikan sekitar 300 tahun sebelum Angkor Wat, dan 400 tahun sebelum katedral dan gereja di Eropa dibangun. Namun, fakta berbicara lain. Situs bersejarah yang dibangun pada abad ke-8 dan ke-9 masehi yang memiliki relief berderet itu ternyata minim kunjungan wisman.

Selain Pulau Bali yang sudah terkenal seantero dunia, tingkat kunjungan ke destinasi wisata lain di Indonesia masih sulit diandalkan. Bahkan, Borobudur yang pernah masuk Tujuh Keajaiban Dunia pun tidak memiliki pesona untuk bisa menarik kedatangan traveller luar.

Kemenpar pun tidak tinggal diam menyikapi masalah itu, dengan meluncurkan program 10 Pulau Bali Baru, yang menjadikan Borobudur sebagai salah satu destinasi wisata unggulan. Pasalnya, setelah dianalisis, kelemahan dalam mempromosikan Borobudur adalah lokasinya yang dianggap kurang strategis.

Maksudnya, selama ini sangat sedikit sekali penerbangan langsung dari luar negeri menuju Bandara Adisutjipto di Yogyakarta. Kondisi itu berbeda dengan Pulau Bali, yang dengan mudah dijangkau pelancong dari berbagai negara. Baik dari Australia, Singapura, Malaysia, Cina, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, Turki, hingga Rusia, sudah memiliki penerbangan menuju ke Pulau Dewata.

Fakta itu turut menjawab mengapa Borobudur hanya bisa menjaring 10 persen kunjungan wisman dibandingkan Angkor Wat, yang lokasinya berdekatan dengan Bandara Siem Reap-Angkor dan menjadi bandara tersibuk di Kamboja.

Beroperasinya Bandara Baru Internasional Yogyakarta, setidaknya menjadi solusi bagi pengelola Borobudur untuk kembali mempromosikan candi terbesar di dunia itu. Hal itu lantaran bandara yang resmi beroperasi mulai Mei 2019, itu memiliki daya tampung 14 juta penumpang selama setahun alias delapan kali lipat kapasitas Bandara Adisutjipto.

Dengan bertambahnya pembukaan jalur internasional, maka semakin mempermudah aksesibilitas wisman yang ingin berkunjung ke Borobudur. Dengan fokus mengembangkan destinasi wisata prioritas maka diharapkan jumlah kunjungan wisman, khususnya ke Magelang dan Yogyakarta bisa meningkat drastis.

Mengejar negara tetangga

Indonesia yang memiliki keunggulan jumlah destinasi wisata alam melimpah, tidak selalu dibarengi dengan kenaikan kunjungan pelancong asing. Mereka sepertinya lebih senang berlibur ke Thailand, Malaysia, Singapura, hingga Vietnam, dan menjadikan Indonesia sebagai daftar kesekian untuk didatangi. Jika tidak percaya, coba saja bandingkan capaian jumlah turis asing ke Indonesia dengan negara tetangga, yang menunjukkan sektor pariwisata negeri ini kalah kalah jauh.

Pada 2018, Singapura sanggup menggaet 18,5 juta wisman, yang 3,02 juta merupakan warga negara Indonesia. Singapore Tourism Board mencatat, jumlah kunjungan ditargetkan naik empat persen pada tahun ini, sehingga diproyeksikan negeri Singa itu bisa mendatangkan 19,6 juta wisman.

Dengan jumlah penduduk sekitar 3,78 juta jiwa maka kalau dipersentasekan, tingkat kunjungan orang asing mencapai 4,89 kali warga yang menghuni negara dengan ikon Patung Marlion tersebut.

Pun di Malaysia, yang berpenduduk 31,6 juta jiwa dikunjungi 25,8 juta wisman. Dengan kata lain, dari 10 penduduk asli Malaysia maka tingkat kunjungan wisman mencapai delapan orang. Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Malaysia, Datuk Mohamaddin Ketapi menjelaskan, para pelancong itu membelanjakan uang sebesar 84,1 miliar ringgit Malaysia atau sekitar Rp 284,9 triliun, yang menjadi pemasukan negara Malaysia.

Sekarang kita tengok jumlah wisman yang mengunjungi Thailand sepanjang tahun lalu yang terkumpul di angka 38,2 juta orang. Pemerintah Thailand menargetkan bisa meraup kunjungan 41 juta wisman pada 2019. Dengan jumlah penduduk di Thailand sebanyak 69 juta jiwa maka tingkat kunjungan mencapai 0,55 persen. Berarti, setiap 100 penduduk Thailand ada 55 wisman yang berlibur ke Negeri Gajah Putih.

Berikutnya, negara Vietnam yang sepanjang tahun 2018, bisa mendatangkan 15,49 juta wisman ke negaranya. Vietnam National Administration of Tourism (VNAT) menyebut, angka kunjungan wisman naik sebesar 19,9 persen dibandingkan tahun 2017, yang masih di angka 12,9 juta orang.

Capaian itu menambatkan Negeri Paman Ho sebagai negara dengan tingkat kunjungan tertinggi di ASEAN. Jika tidak ada aral melintang, Vietnam akan menyalip posisi Indonesia masuk empat besar sebagai negara dengan jumlah wisman terbanyak di Asia Tenggara pada akhir 2019. Harus diakui, Vietnam mengukir prestasi spektakuler dalam mempromosikan tempat wisatanya ke luar negeri.

Berikutnya kita telisik torehan Indonesia. Berstatus sebagai negara dengan wilayah geografis terluas dan jumlah penduduk terbanyak di ASEAN sekitar 260 juta jiwa, jumlah kunjungan wisman hanya menyentuh 15,8 juta orang. Apabila dihitung maka tingkat kunjungan wisman hanya sekitar 6,07 persen dibandingkan jumlah penduduk Indonesia. Sebuah data yang membuat miris lantaran Indonesia tertinggal jika dikomparasikan dengan negara tetangga.

Meski pencapaian wisman masih meleset, namun perolehan devisa dari pariwisata pada 2018 sudah sebesar 19,29 miliar dolar AS. Angka tersebut sudah melebihi ekspor hasil sawit yang sempat menduduki posisi teratas dalam beberapa tahun terakhir. Di mana, nilai ekspor sawit tahun 2018 diperkirakan 17 miliar dolar AS, yang angka itu juga dipicu anjloknya harga sawit sampai 15 persen.

Sumbangan devisa dari sektor pariwisata itu didapat BPS dari akumulasi belanja wisman selama berada di Tanah Air, yang rata-rata membelanjakan sekitar 1.220 dolar AS per kunjungan. Berarti, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB tahun 2018 sudah mencapai 4,50 persen, dan ditargetkan pada tahun ini naik di angka 4,80 persen.

Melihat data itu, sangat tepat kalau pemerintah menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan sebagai penyumbang devisa terbesar Indonesia di masa depan. Pasalnya, Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton ketika negara tetangga dengan giatnya menjaring kunjungan wisman.

Keunggulan lain mempromosikan destinasi wisata adalah terciptanya lapangan pekerjaan, yang otomatis akan mengurangi tingkat pengangguran. Sehingga ketika turis berdatangan sambil membelanjakan uangnya maka masyarakat sekitar ikut menikmati perputaran ekonomi.

Berbagai kelemahan yang muncul dalam menjaring wisman harus dievaluasi supaya sektor pariwisata bisa diandalkan menjadi roda penggerak perekonomian nasional. Saatnya bagi pemerintah, khususnya Kemenpar terus berbenah dan tak berhenti membuat terobosan dalam menjaring wisman agar tertarik datang ke Indonesia.

Kalau hal itu dapat terwujud, Indonesia dapat berbangga menorehkan sejarah dengan tidak lagi bergantung kepada hasil alam dalam mendulang devisa, melainkan sumbangan dari sektor pariwisata.

*Penulis adalah wartawan Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement