Jumat 30 Aug 2019 00:09 WIB

Membangun Ibu Kota Baru Sesuai Syariah

Membuka kesempatan keuangan syariah untuk mengeksplorasi pembangunan ibu kota baru.

Friska Yolandha
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengumumkan lokasi baru ibu kota negara. Setelah sebelumnya masyarakat penuh spekulasi di mana ibu kota akan dipindahkan, pertanyaan itu akhirnya terjawab.

"Lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur," demikian kata Jokowi.

Pernyataan ini membantah spekulasi yang mengatakan kalau ibu kota akan pindah ke Palangka Raya. Jokowi lebih memilih lokasi yang agak ke tenggara, dekat dengan pantai.

Ibu kota baru akan dibangun di atas lahan seluas 40 ribu hektare. Itu baru kawasan induk. Luasan ini dua pertiga luas DKI Jakarta. Namun, jika pengembangan seperti yang dikatakan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro dilakukan, luas ibu kota baru bisa tiga kali lipat dari DKI Jakarta. Totalnya mencapai 180 ribu hektare.

Pemerintah memastikan pembangunan ibu kota baru nanti tidak akan mengganggu hutan lindung yang ada di lokasi tersebut. "Hutan lindung tidak akan diganggu dan sebagian dan Kukar bahkan ada hutan konservasi Bukit Soeharto. Di sana ada pemakaian lahan yang tidak untuk keperluan hutan, termasuk perkebunan. Hutan lindung di Kaltim tidak akan diganggu," kata Bambang dalam konferensi pers bersama Presiden Jokowi di Istana Negara, Senin (26/8).

Anggaran yang diperlukan untuk membangun ibu kota baru disebut-sebut senilai Rp 466 triliun. Dana itu dipakai untuk pembangunan sarana prasarana mencakup istana negara, rumah dinas, bangunan perkantoran, jalan dan infrastruktur lainnya.

Anggaran ini akan tidak akan sepenuhnya menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah juga akan menggandeng swasta dan Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Jokowi mengatakan hanya 19 persen anggaran pembangunan ibu kota baru menggunakan APBN. Sisanya akan menggandeng swasta dan KPBU.

Pemerintah ingin membangun ibu kota baru yang modern dengan semangat green city. Semua dibuat dan direncanakan sebaik mungkin sehingga menjadi kota impian dengan tata kota yang sempurna.

Nah, mumpung masih dalam rancangan, kurang lengkap rasanya kalau ibu kota baru ini tidak sekalian mengusung konsep syariah. Tenang, bukan artinya semua pegawainya harus berhijab dan berpeci, tetapi sesuai konsep syariah yang selama ini digadang-gadang kita punya potensinya.

Itu bisa dimulai dengan membuka kesempatan bagi keuangan syariah untuk mengeksplorasi pembangunan ibu kota baru. Misalnya, pendanaan pembangunan ibu kota baru diambil dari penerbitan sukuk, kontraktor mendapatkan pembiayaan dari bank syariah bukan induk yang rata-rata adalah bank konvensional.

Apakah bank syariah sanggup membiayai pembangunan infrastuktur yang begitu masif itu? Tentu saja, kalau masing-masing induk bank syariahnya mau memberikan suntikan modal dan memberikan ruang seluas-luasnya bagi anak usaha syariah untuk berkembang.

Dengan nilai Rp 466 triliun untuk membangun ibu kota baru, memang tidak mungkin semua pembiayaan dari bank syariah. Wong aset keuangan syariah sampai semester I 2019 saja hanya Rp 1,3 triliun. Namun, tidak ada salahnya berharap agar pemerintah mau mempertimbangkan menggunakan skema syariah dalam membangun kota baru di Kalimantan Timur ini.

Ditambah, pemerintah kini sedang gencar menerbitkan sukuk untuk pembangunan negara. Artinya, sangat terbuka kesempatan keuangan syariah bekontribusi lebih besar untuk pembangunan negara.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement