Ahad 18 Aug 2019 16:01 WIB

Indonesia Itu Bernyawa

Bangsa ini penting merenungkan hikmah perjalanan Indonesia sebagai negara-bangsa.

Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir
Foto: RepublikaTV/Havid Al Vizki
Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh : Haedar Nashir

Indonesia berusia 74 tahun dari hari kemerdekaannya, 17 Agustus 1945. Cukupkah berslogan, “Aku Indonesia”, “Aku Pancasila”, “NKRI harga mati”? Sebagian bersuara lantang, “awas radikalisme”, “waspadai anti-Pancasila”. Apakah sukma terdalam keindonesiaan benar-benar dipahami seutuhnya oleh para elite dan warga bangsa lebih dari sekadar jargon dan verbalisme.

Hari ini dapat dicatat momentum bersejarah dalam perjalanan awal kemerdekaan. Pada 18 Agustus 1945 yang lampau, sehari setelah proklamasi, bangsa Indonesia mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi dasar yang di dalamya terkandung Pembukaan UUD 1945 yang memuat jiwa kemerdekaan, cita-cita nasional, dan lebih khusus Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam batang tubuh UUD 1945 pun banyak hal mendasar, seperti keanggotaan MPR dengan tiga keterwakilan yang menggambarkan kegotongroyongan dan keragaman rakyat Indonesia sejiwa dengan sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, keberadaan agama, presiden orang Indonesia asli, sistem ekonomi pasal 33, dan pasal penting lainnya.

Pada hari kedua kemerdekaan itulah terjadi konsensus nasional yang membuktikan jiwa nasionalisme tinggi dari umat Islam. Para tokoh Islam rela mencoret tujuh kata pada Piagam Jakarta yang dikonversi menjadi sila pertama Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Suatu peristiwa sejarah yang oleh Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara disebut sebagai “hadiah terbesar umat Islam Indonesia”.

Ketika hari-hari terakhir ini semua komponen bangsa dan penyelenggara negara bergelora merayakan ulang tahun ke-74 kemerdekaan, tentu tidak sekadar ritual. Perenungan menjadi keniscayaan agar tidak terjebak pada kesemarakkan minus penghayatan. Sudahkah jiwa, pikiran, sikap, dan tindakan warga dan elite negeri mencerminkan dan mewujudkan keindonesiaan sejati sebagaimana fondasi dan cita-cita yang diletakkan oleh para pendiri Indonesia tahun 1945?

Perjuangan rakyat dan para mujahid untuk Indonesia merdeka pun penuh pengorbanan jiwa dan raga luar biasa. Boleh jadi perjuangan dan penderitaan rakyat itu oleh sebagian elite negeri kurang terhayati, sehingga hari ini lebih sibuk rebutan kursi. Sebagian malah merasa paling Indonesia dan menguasai isi perut Bumi Pertiwi dengan nafsu tak bertepi sehingga negeri ini seolah miliknya sendiri. Istafti qalbaka, tanyalah nuranimu yang jernih, sabda Nabi akhir zaman.

Proses mengindonesia

Indonesia sebagai tanah air, bangsa, dan negara lahir dalam proses perjalanan yang panjang. Sejak kepulauan nusantara ini hadir di muka bumi, penduduk asli di berbagai pulau atau daerah hidup dengan segala ragam kebudayaannya yang masih alami seperti berburu dan meramu. Setelah itu datang pula penduduk dari bangsa lain yang kemudian menetap dan berbaur sehingga secara turun-temurun menjadi penduduk Indonesia. Beragam pemeluk agama, suku bangsa, dan kedaerahan membentuk asimilasi kebudayaan dan corak kehidupan keindonesiaan yang majemuk menjadi bhinneka tunggal ika.

Di Indonesia lahir kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh penjuru Tanah Air. Kehadiran kerajaan-kerajaan tersebut telah membentuk karakter struktural bangsa Indonesia, sekaligus merupakan pengalaman politik kekuasaan dalam lintasan sejarah bangsa ini yang bercorak kerajaan. Peranan kerajaan dan raja-raja yang didukung rakyat sangatlah besar dalam perjuangan kemerdekaan melawan Portugis dan Belanda sesuai eranya masing-masing.

Perjuangan heroik melawan penjajah berlangsung puluhan tahun dengan segala pengorbanan jiwa raga luar biasa. Perlawanan rakyat sangatlah kuat sehingga membuat penjajah kesulitan menghadapinya, meski derita bangsa ini begitu lama untuk mengusir penjajahan hingga tiba saatnya merdeka tahun 1945. Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh, dan berbagai peperangan besar di seluruh kepulauan Indonesia menunjukkan bukti kepahlawanan bangsa Indonesia. Indonesia merdeka sungguh ditebus dengan darah dan nyawa.

Sejak awal abad ke-20 terjadi perkembangan perjuangan kemerdekaan melalui organisasi-organisai pergerakan modern, di samping perang Aceh. Lahirlah gerakan dan organisasi kebangkitan nasional semisal Jami'atul Khair (1905), Sarikat Dagang Islam (1905), Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), Taman Siswa (1922), Persatuan Islam (1923), dan Nahdlatul Ulama (1926).

Sumpah Pemuda tahun 1928 merupakan tonggak penting lahirnya ikrar nasional untuk berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu yaitu Indonesia. Kongres Perempuan pertama tahun 1928, dengan peran serta gerakan perempuan Islam Aisyiyah, merupakan tonggak kebangkitan perempuan Indonesia dan menjadi bagian integral dari pergerakan nasional yang modern.

Pasca-kemerdekaan 1945, Indonesia terus berjuang dengan dinamika sejarah yang penuh pergumulan. Dalam era awal kemerdekaan itu rakyat Indonesia masih harus berjuang melawan Belanda yang didukung Sekutu yang berusaha kembali menjajah. Rakyat sampai harus melakukan perang gerilya di bawah komando Panglima Soedirman sampai akhir tahun 1949. Dalam era Perang Gerilya di bawah Soedirman yang juga kader Hizbul Wathan Muhammadiyah, lahir Angkatan Perang Sabil (APS) yang digerakkan para tokoh Muhammadiyah yang operasinya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah.

Pertempuran 10 November 1949 di Surabaya adalah perjuangan heroik lainnya, dengan Bung Tomo sebagai tokoh sentral yang menggerakkan kekuatan rakyat lewat pekik “merdeka” dan “Allahuakbar” yang menggetarkan. Dari inspirasi dan kegigihan Bung Tomo dan anak muda revolusioner lainnya itulah terdorong kekuatan-kekuatan rakyat untuk bergerak. Peranan tokoh Islam seperti Kiai Mas Mansur Ketua PP Muhammadiyah hingga wafat dipenjara serta Kyai Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama pun besar dalam pergerakan nasional di Surabaya melawan NICA-Belanda itu.

Indonesia terus bergerak dengan dinamika sendiri melalui fase-fase pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno (1945-1965), Soeharto (1965-1998), dan babak baru era reformasi. Suka dan duka dialami bangsa Indonesia dalam setiap episode sejarah perjalanannya. Masalah, tantangan, dan ancaman datang silih berganti yang membentuk kematangan berbangsa dan bernegara. Setiap periode meninggalkan jejak kemajuan sekaligus masalah, sehingga perjuangan dan perjalanan Indonesia tidak pernah selesai dan terus berproses dalam dialektika kesinambungan dan perubahan.

Jiwa keindonesiaan

Negara Republik Indonesia merupakan puncak perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Para pendiri bangsa memahami sepenuhnya penderitaan bangsa Indonesia akibat penjajahan yang panjang dan pentingnya arti kemerdekaan untuk kemudian menyusun hal-hal mendasar menyangkut dasar negara, tujuan dan cita-cita nasional, serta prinsip-prinsip ketatanegaraan yang pokok sebagaimana terkandung Pembukaan UUD 1945 serta batang tubuhnya sebagai satu kesatuan mendasar. Diktum-diktum mendasar inilah yang penting untuk dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan kebangsaan oleh seluruh warga negara, elite, dan penyelenggara negara pada saat ini.

Dalam lintasan perjuangan kemerdekaan dan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang penuh pergumulan terkandung jiwa, pikiran, dan cita-cita yang fundamental untuk diwujudkan dalam kehidupan kebangsaan. Seluruh komponen nasional dan generasi penerus bangsa wajib menghayati makna dan cita-cita kemerdekaan itu untuk melangkah ke depan dengan idealisme yang kokoh.

Bagi mereka yang menduduki jabatan-jabatan publik, melalui mandat yang dilimpahkan rakyat secara jujur, adil, bebas dan terbuka, berkewajjban menjalankan fungsi utama pemerintahan sebagaimana terkandung dalam jiwa, falsafah, pemikiran, dan cita-cita nasional dari Pembukaan UUD 1945 yang luhur itu. Pengingkaran terhadapnya merupakan bentuk penyelewengan dan penghianatan atas idealisme kemerdekaan.

Kini, setelah 74 tahun merdeka dan dua dasawarsa era reformasi, perjuangan bangsa Indonesia semakin tidak ringan. Indonesia harus menghadapi arus globalisasi dan perkembangan politik global yang sangat dinamis, termasuk lahirnya Tiongkok sebagai kekuatan hegemoni baru yang mengubah geo-politik, geo-ekonomi, dan geo-budaya dari Barat ke Timur dengan segala pengaruh dan konsekuensinya bagi seluruh negara, termasuk Indonesia. Bersamaan dengan itu, secara domestik Indonesia juga mengalami dinamika baru liberalisasi politik, ekonomi, dan budaya yang sangat masif pascareformasi dengan segala dampaknya.

Membayangkan Indonesia selesai dalam kacamata hitam-putih hanyalah penyederhanaan berpikir yang dapat menjadikan bangsa ini jumud. Demikian pula manakala terlalu larut dalam optimisme maupun pesimisme berlebih, sama tidak positif bagi perjalanan Indonesia ke depan. Dinamika kehidupan kebangsaan tersebut akan terus berlangsung penuh warna dan kompleksitas yang luar biasa sebagai bagian dari lintasan sejarah yang harus dilaluinya ketika Indonesia memasuki babak baru, yaitu era globalidasi dan dunia posmodern abad ke-21. Indonesia bahkan harus bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju, termasuk di kawasan ASEAN, sehingga tidak cukup jika berhenti pada keindonesiaan yang verbal dan berpikir serbajangka pendek.

Maka jangan pernah terjebak pada dogmatisme maupun fanatisme sempit dalam berindonesia. Jangan pula serbaoposisi dan kontradiksi terhadap kondisi bangsa sendiri sehingga luruh rasa keindonesiaan. Sikap moderat dan rasional disertai komitmen tinggi yang dilandasi jiwa kebangsaan sebagaimana diletakkan fondasinya oleh para pendiri negara tahun 1945 menjadi sangat penting.

Persoalan-persoalan berat, seperti kesenjangan sosial dan pengurasan sumber daya alam dengan sekelompok kecil orang yang menguasai Indonesia, menjaga kedaulatan negeri, ketercerabutan sistem politik dan moralitas bangsa, serta masalah lainnya, menjadi agenda serius Indonesia saat ini. Demikian halnya dengan liberalisasi politik, ekonomi, dan budaya di tengah hegemoni kekuatan parpol yang banyak menyandera Indonesia dan menjauhkan negeri ini dari jiwa keindonesiaan 1945.

Para elite dan warga bangsa penting merenungkan banyak makna dan hikmah mengenai perjalanan Indonesia sebagai negara-bangsa yang memiliki sejarah panjang dan dinamika suka-duka yang sarat pergumulan itu. Bahwa menjadi Indonesia tidaklah sekali jadi. Indonesia itu milik bersama dan tidak boleh menjadi bancakan kerakusan kuasa sekelompok oligarki. Indonesia itu bukanlah raga fisik semata, tetapi juga bernyawa sebagaimana salah satu untaian lagu Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.”

Dalam dimensi spiritualitas keilahian, jika Indonesia ingin diberkahi Allah sebagaimana spirit yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, maka dengarlah pesan Langit (QS al-‘Araf: 96) ini: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement