Senin 12 Aug 2019 18:25 WIB
Suara Mahasiswa

Menolak Terjebak dalam Demokrasi Prosedural

Pemilu seharusnya bukan hanya soal kontestasi kekuasaan.

Muhammad Iqbal
Foto: dokpri
Muhammad Iqbal

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Iqbal Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM

 

Salah satu fase penting dalam demokrasi telah kita lalui, yaitu pemilu. Telah terlaksananya pemilu serentak yang bahkan disebut pemilu paling rumit dunia akhirat tersebut patut kita sambut dengan lega. 

Prabowo pun telah bertemu dengan Jokowi yang digadang-gadang menjadi momentum rekonsiliasi bangsa. Bagaimanapun, kita telah jenuh menyaksikan bagaimana ruang publik, terutama ruang publik virtual, dibuat keruh oleh polarisasi politik yang kian tajam. Ujaran kebencian, hoaks, sumpah-serapah, kafir-mengkafirkan seolah menjadi hal yang lumrah dan mewarnai aktivitas politik elektoral ini. 

Namun, hal yang jauh lebih penting dari rekonsiliasi elite dan menjadi agenda selanjutnya yang amat penting dilaksanakan bersama adalah mengawal kerja-kerja kebijakan dan pembangunan agar kita tak terjebak pada demokrasi prosedural. 

Terpilihnya wakil-wakil rakyat hasil pemilu merupakan awal dari demokrasi, bukan akhir. Partisipasi politik sebagai warga negara yang menjadi salah satu elemen penting dalam demokrasi tidak boleh direduksi hanya sebatas di kotak suara semata. 

Sebab yang penting bukan hanya pilih-memilih, tetapi juga partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara ini. Mengawal kekuasaan yang dijalankan, dan memastikan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan berpihak pada kemanusiaan. 

Terjebak pada demokrasi prosedural seperti pelaksanaan pemilu semata pada akhirnya membuat kewarganegaraan kita hanya hadir setiap lima tahun sekali. Implikasinya, sering terjadi diskoneksi antara kewarganegaraan dan voting (Santoso, 2019). 

Sehingga yang berharga hanya vote yang dimiliki setiap warga negara, bukan kewarganegaraan yang kita agungkan beserta hak-hak yang melekat di dalamnya. Hal ini yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh politisi yang menyebabkan pemilu tak lagi menjadi ajang demokrasi, melainkan ajang mobilisasi.

Bagi kita warga negara, pemilu harusnya bukan hanya soal kontestasi kekuasaan. Melainkan bagaimana kebijakan publik bisa mengubah hidup sehari-hari. Proses kebijakan publik tersebut berlangsung setiap saat. Kebijakan publik berlangsung bahkan di tahun-tahun yang justru tidak disebut sebagai tahun politik (Rukka, 2018). 

Di sepanjang waktu yang sunyi dari hingar bingar kampanye dan janji-janji politik yang diumbar. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara butuh peran yang lebih aktif dalam pemerintahan, lebih dari sekadar kesempatan untuk mengatakan secara terbatas setiap lima tahun sekali di kotak pemilihan (Bourgon, 2007).

Namun persoalannya, saat ini kita menghadapi krisis representatif demokrasi dimana punya hak pilih (vote) namun tidak punya suara (voice). Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Orde Baru yang mendepolitisasi masyarakat selama 32 tahun. Usai Orde Baru runtuh, tanpa pernah mendapat pendidikan politik dan tanpa ditanya makna perwakilan rakyat yang dibutuhkan, masyarakat diberi hak pilih. Akibatnya, kita sukses melaksanakan pemilu namun gagal melembagakan perwakilan rakyat dalam sosok resminya (Santoso, 2017).

Persoalan kebijakan kita saat ini adalah hilangnya “publik” di dalam kebijakan publik yang kita hasilkan. Jika terus terjebak pada fanatisme terhadap pilihan partisan 01 dan 02 maka akhirnya kita selalu berputar dan terjebak pada aspek prosedural semata dalam demokrasi. 

Padahal kualitas demokrasi kita tidak ditentukan oleh seberapa sering menyelenggarakan pemilu. Namun melalui seberapa besar keterlibatan warga negara dalam kerja-kerja pembangunan dan dalam policy making proccess.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement