Kamis 08 Aug 2019 10:25 WIB

Tentang Pancasila, Bung Karno, Kartosuwiryo, dan Hilter

Tentang kisah Pancasila, Bung Karno, Kartosuwiryo, dan Hilter seolah dilupakan

Long March Divisi Siliwangi di awal kemerdekaan.
Foto: wikipedia
Long March Divisi Siliwangi di awal kemerdekaan.

Oleh: DR Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle.

Professor Ben Anderson dalam pengantar bukunya Spectra mengatakan keterkejutan yang dalam mendengar pidato pendiri Pancasila, Bung Karno, tahun 1961 di UI. Saat itu dia membawa diplomat baru Amerika yang bertugas di Jakarta. Terkejut karena dalam pidatonya Bung Karno menyatakan kekagumannya pada Hitler. Menurut Bung Karno, Hitler adalah pemimpin besar dunia anti imperialisme barat.

Ben, dan diplomat baru tersebut tidak habis-habisnyanya terkejut, bagaimana bisa pemimpin bangsa sebesar Indonesia mengangumi sosok pembunuh 2 juta orang Jahudi di berbagai kamar gas beracun dan musuh dunia, khususnya barat yang dianggap paling beradab.

Apa yang dipikirkan Ben dan diplomat itu banyak menjadi pertanyaan dalam pikiran lainnya, mengapa Bung Karno memimpin pengerahan pekerja/buruh/koeli untuk membangun jalan-jalan rel kereta api (Romusha) di bawah komando pemerintahan Jepang? Mengapa Bung Karno bersekutu dengan penjajah Jepang?

Rachmawati ketika saya tanyakan itu secara sederhana menjawab, bahwa itulah yang bisa dilakukan bapaknya untuk bersiasat demi memerdekakan Indonesia. Bersekutu dengan Jepang untuk mengusir Belanda.

Meski saya percaya pada Rachmawati, namun orang-orang yang percaya Tan Malaka, Muso dan Kartosuwiryo tentu tetap tidak percaya pada Bung Karno. Tan Malaka yang legendaris ikut membangun Partai Komunis China dan menjadi pembicara dalam pertemuan Komunis Internasional di Rusia, merasa Bung Karno tidak sepenuhnya berjuang melawan Belanda. Tema-tema anti Kapitalisme Bung Karno, menurut Tan, hanyalah kamuflase agar tidak berbenturan langsung dengan Belanda. 
Begitu juga soal kolaborasi dengan Jepang, yang merugikan rakyat.

Gambar terkait

Keterangan Foto: Jendral Sudirman dengan berat hati pulang ke Jogja. Dia pulang dari   gerilya dibujuk anak buahnya yang diminta mengamankan Jogjakarta, Letkol Soeharto atas dasar permintaan Presiden Soekarno. Sudirman dan Tan Malaka memang sedari awal 'enggan' berunding. Keduanya, menginginkan 'Merdeka' total, bukan hasil dari meja perundingan.

                                    *****

Kartosuwiryo sendiri mengecam Bung Karno yang terlalu banyak berunding dengan Belanda dan Sekutu. Meninggalkan ibukota dan menjadikan Republik Indonesia mengecil dengan pusatnya di Yogyakarta. Untuk melawan Belanda, Kartosuwiryo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia yang berpusat di Jawa Barat. Saat itu akibat perjanjian Renvile, Jawa Barat bukan lagi wilayah RI sehingga harus dikosongkan.

Akibat lainnya, wilayah RI kala itu semakin sempit, yakni tinggal Jawa Tengah dan sedikit Jawa Timur. Tak hanya Kartosuwiryo, Jendral Sudirman pun kecewa, apalagi akibat perjanjian itu pasukan terkuat RI, Divisi Siliwangi, harus meninggalkan wilayah Jawa Barat dan berpindah (long march) ke wilayah RI yang tersisa, yakni Yogyakarta dan sekitarnya. Bahkan antara Jendral Sudirman dan Kartosuwiryo pada saat itu punya hubungan erat. Keduanya saling bersurat dengan perantara atau kurir Letkol SUharto yang kemudian menjadi presiden RI menggantikan Bung Karno.

photo
Kartosuwirya saat hendak dieksekusi.

Ketika Pancasila dibahas dalam persiapan-persiapan kemerdekaan kita dan dalam berbagai sidang Konstituante 1955-1959, alam pikiran bangsa kita disimbolkan pada pikiran Bung Karno, Muso, Tan Malaka, Kartosuwiryo dan lain sebagainya yang ekstrem. "Anak-anak mami" seperti aktifis-aktifis Boedi Utomo yang justru dilukiskan heroik dalam Sumpah Pemuda, hanyalah kelompok-kelompok pelengkap sejarah bangsa kita.

Dan, kalau kita membayangkan tulisan bung Karno tentang "Islamisme, Marxisme dan Nasionalisme", tahun 1926, yang menegaskan bahwa Islamisme, meskipun bersifat internasional, begitupun Komunisme bersifat international, dapat menjadi lokal dan bersemi dalam semangat yang sama, serta membayangkan pengamatan Ben Anderson atas kekaguman Bung Karno terhadap Hitler 35 tahun kemudian, maka bisa kita selami siapa dan bagaimana isi kepala dan jiwa Bung Karno itu. Artinya, seorang pemimpin bangsa itu memang mempunyai spectrum multi dimensi dalam menghimpun beragamnya pikiran yang berkembang dalam masyarakat.

Kebencian peradaban ini terhadap Hitler, yang tega memanggang jutaan manusia dalam kamar gas, tidak mungkin lebih tinggi terhadap kebencian pada Komunisme (yang menyebabkan jutaan orang tewas karena busung lapar di masa revolusi Mao), terhadap Hizbut Tahrir yang tidak pernah berkuasa di manapun, dan terhadap berbagai kelompok ideologis lainnya.

Lalu bagaimana kamu memikirkan bapak bangsamu Bung Karno, yang mengagumi Hitler?

Saat ini kita diterpa semangat saling mengalahkan antara tuduhan Komunisme versus ISIS di Indonesia. 
32 Tahun Orde Baru berkuasa memang merancang jargon "Pembangunan Yes, Politik No!". Dalam masa 32 tahun itu kesadaran politik rakyat disterilkan. Rakyat hanya boleh ikut organisasi pemuda ala pemuda pancasila, atau pengajian "surga-neraka", mahasiswa di doktriner Pancasila versi P4.

Semua ini demi, khsuusnya, membangun imperium keluarga Cendana dan 300 Taipan Konglomerat, disamping tentu ada pembangunan infrastructure dan sosial, dengan biaya mahal.

Maka dengan kesadaran politik dan literasi politik yang rendah, bangsa ini tentu tidak pernah faham tentang Pancasila yang dipikirkan founding fathers. Sesungguhnya sejak tahun 1959, belum ada pembahasan lagi soal Pancasila.

Alhasil, ketika benturan saling menjatuhkan antara Pancasila vs bukan Pancasila, sesungguhnya hanya benturan "keledai vs keledai dungu" saja. Bagaimana doktor ilmu politik, yang puluhan tahun, misalnya, mendalami ilmu-ilmu impor barat di kampus, dengan rujukan John Lock, Hobbes, Weber, Marx, Adam Smith, David Ricardo, Karl Popper, Foucault, Derrida, Einstein dan lainnya menjadi rujukan "ahli Pancasila"?

Selain itu bukankah rujukan ilmu standar barat merujuk pada nilai-nilai dan etik barat?

Bagaimana kita menilai tanpa standar menilai? Inilah pokok masalah bangsa kita.

Apakah ini akan terus berlangsung? sampai kapan? Semua akan berhenti jika pembahasan Pancasila diulang kembali merujuk pada pandangan-pandangan para pendiri bangsa kita, yang terhenti sejak 1959.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement