Kamis 08 Aug 2019 04:00 WIB

Istilah Syariah Bikin Gerah?

Kontroversi seputar istilah syariah muncul lagi belakangan ini.

Hasanul Rizqa
Foto: dok. Republika
Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Hasanul Rizqa*

Kita semua tahu, Indonesia berkarakteristik majemuk. Berbagai budaya dan bahasa hidup di sini. Demikian pula agama-agama yang dianut penduduknya. Tidak hanya satu.

Belakangan ini, muncul kontroversi yang, menurut saya, bikin gerah. Sebab, ada kesan memperhadap-hadapkan (lagi) antara Islam dan kemajemukan.

Kontroversi itu berupa prokontra pascapenyelenggaraan Ijtima Ulama IV di Hotel Lorin Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (5/8) lalu. Pengusung acara itu tak lain Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, entitas yang lahir jelang Pilgub DKI Jakarta 2017 silam.

Salah satu hasil Ijtima Ulama IV ialah “mengajak umat berjuang”, antara lain, untuk “mewujudkan NKRI yang syariah dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi.”

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), misalnya, cenderung menerjemahkan poin ini sebagai ajakan menjadikan Indonesia milik golongan tertentu saja (baca: Islam).

“Di sinilah perlu sebuah komitmen kearifan kita bahwa bangsa Indonesia itu milik bersama,” kata Plt Kepala BPIP Hariyono usai bertemu Menko Polhukam Wiranto di Jakarta, Selasa (6/8) lalu (Republika.co.id).

BPIP lantas menerangkan sesuatu yang barangkali sudah begitu terang bagi masyarakat di Tanah Air.

Indonesia bukan negara agama. Bukan pula negara sekuler. Pancasila sebagai dasar negara. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menunjukkan Indonesia tak mungkin lepas dari nilai-nilai agama (setidak-tidaknya, demikianlah kondisi idealnya).

Piagam Jakarta

Penerapan syariat Islam di Indonesia bukanlah fenomena baru. Banyak sejarawan mengingatkan, jauh sebelum kolonialisme Barat datang, di Nusantara sudah berdiri kerajaan-kerajaan Islam. Ide nasionalisme dari Eropa tak tiba sendirian, terutama sejak awal abad ke-20 di Bumi Pertiwi. Ia datang dengan sekulerisme, yang berupaya memisahkan urusan duniawi dari ukhrawi.

Di antara para pendiri bangsa, ada dua golongan yang mengemuka. Nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler. Masing-masing berbeda visi tentang dasar negara Indonesia.

Nasionalis-agama ingin agar syariat Islam diakomodasi dalam sistem ketatanegaraan. Nasionalis-sekular tidak ingin Indonesia menjadi negara agama. Bagi mereka, idealnya urusan agama dan urusan negara dipisah.

Panitia Sembilan menjadi arena kompromi. Sukarno—yang cenderung pada nasionalis-sekuler—duduk sebagai ketuanya.

Pada 22 Juni 1945, Piagam Jakarta dihasilkan. “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tercantum di sana. Dokumen tersebut pantas menjadi bukti, betapa dewasanya para pendiri bangsa kita dalam mengompromikan ideological positioning masing-masing.

Namun, satu hari pascaproklamasi Indonesia, kesepakatan ini kandas. Kisah di balik kejadian itu sudah begitu masyhur.

Ada utusan kelompok dari Indonesia timur yang “mengancam” akan memisahkan diri dari Indonesia bila frasa “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dipertahankan. Melalui Bung Hatta, lobi dilakukan. Kelompok nasionalis-Islam, yang digawangi Ki Bagus Hadikusumo, akhirnya terbujuk. Satu bagian dari Piagam Jakarta tadi berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Bagaimanapun, perjuangan menghadirkan penerapan syariat Islam tidak surut. Setelah 18 Agustus 1945, upaya kelompok Natsir dan kawan-kawan terus berlanjut terutama di Konstituante (1956-1959).

Syariah ala Natsir

Mohammad Natsir dapat dikatakan tepat menjadi representasi ideolog nasionalis-Islam. Dia sosok penting Persatuan Islam (Persis), pendiri Masyumi, dan sekaligus ulama dengan reputasi global. Sejak masih belia, dia sudah berpolemik dengan Bung Karno terkait ideologi Islam dan nasionalisme.

Satu tulisan Natsir, “Mungkinkah Quran Mengatur Negara?” (termuat dalam buku Capita Selekta, hlm. 447-450) dapat dikatakan menyarikan ideologi politiknya.

Dalam tulisan itu, Natsir menjelaskan tentang bagaimana Islam—agama yang berdasar pada Alquran dan Sunah—mengatur negara.

Natsir menulis: “Yang diatur oleh Islam ialah dasar dan pokok-pokok mengatur masyarakat manusia.” Islam hadir bukan untuk mengerem kemajuan. Islam justru memberi ruang untuk pergumulan pikiran, ijtihad, dan ikhtiar dalam menghadapi rupa-rupa tantangan zaman yang akan selalu berbeda dan baru.

Terkait politik praktis, lanjut Natsir, Islam tak menganggap penting istilah penamaan pemimpin: “khalifah, boleh; amirul mukminin, boleh; presiden, boleh; apa saja boleh.”

Islam hanya mengatur kriteria-kriteria umum agar seseorang dapat memimpin masyarakat (negara). Itu pun demi keselamatan rakyat tak hanya di dunia, tetapi juga akhirat karena adanya kesadaran tauhid bahwa pertanggungjawaban paling tinggi ialah kepada Allah. Kriteria-kriteria calon pemimpin disebutkan Natsir: “agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan.”

Islam juga mengatur hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah secara garis besar. Islam menerangkan soal kewajiban, tanggung jawab, dan cara-cara yang mesti dikerjakan kepala negara. Syariat agama ini juga mengatur kewajiban-mengikut, hak mengoreksi, dan bahkan hak mengingkari kekuasaan—kalau pemerintah terbukti terus melanggar hak-hak menurut ajaran Islam.

Dengan nada tegas, Natsir bertanya kepada mereka yang masih enggan terhadap penerapan syariat Islam.

“Progres manakah yang akan terhalang apabila pemabukan dan kecabulan (istilah sekarang: prostitusi –HR) dibasmi dengan keras; kemajuan ekonomi manakah yang akan seret apabila lintah darat yang menghisap darah rakyat yang miskin itu tidak diberi hidup; progres politik macam mana pulakah yang akan terhalang apabila orang-orang yang akan duduk memegang kekuasaan itu dimestikan berakhlak dan berbudi pekerti yang baik?”

 

Pengusung Syariah Itu Berbahaya?

Menutup tulisannya, Natsir menyinggung pengadopsian sistem hukum oleh suatu negara dari negara (atau peradaban) lain yang lebih tua. Dia menyebut, banyak negara Eropa mengadopsi Kode Napoleon ke dalam sistem hukum mereka. Hanya saja, (umat) Islam tidak perlu mengadopsi sistem buatan manusia.

“Kita kaum Muslimin tidak mengambil atau menjiplak semua dengan begitu saja, dengan pejamkan mata, dan telan mentah-mentah apa yang ada. Dalam ijtihad, atau ketika kita mengambil contoh dari orang lain, atau dalam kita menyusun peraturan yang baru itu, kita kaum Muslimin haruslah senantiasa memakai Wahyu Ilahi dan Sunnah Rasul jadi ukuran dan kriterium untuk menyaring, manakah yang boleh dipakai dan manakah yang harus disingkirkan,” tulis Natsir.

Apakah dengan ideologi demikian Natsir “berbahaya” bagi eksistensi Indonesia? Justru sebaliknya. Eksistensi NKRI tak lepas dari perjuangannya.

Natsir merupakan tokoh kunci dalam peristiwa meleburnya negara-negara bagian di Tanah Air pasca-pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Indonesia, Desember 1949. Pada 1950, Natsir mulai aktif melobi tokoh-tokoh dari pelbagai negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) agar mereka bersedia melebur ke dalam Republik Indonesia. Upaya ini mengkristal menjadi Mosi Integral.

Belakangan, nama lengkap dokumen yang disahkan pada 3 April 1950 itu dikenang sebagai "Mosi Integral Natsir." Pada April 2019, muncul usulan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar pemerintah menetapkan 3 April sebagai “Hari NKRI.” Dapat dikatakan, pengusung “Hari NKRI” ingin agar tendensi-tendensi apa pun yang coba membenturkan antara Islam dan negara disudahi.

Sebagai pejuang pemberlakuan syariat Islam, Natsir bukanlah sosok yang berpandangan monolog. Dia memakai cara-cara dialog. Dalam hal-hal prinsip, dia tegas, tak tergoyahkan. Namun dalam perilaku keseharian, dia terbiasa luwes, hangat dengan siapa saja, termasuk lawan politiknya. Keluwesan dan kesederhanaan yang sama juga ditunjukkan Sukarno, Hatta, IJ Kasimo, dan lain-lain para tokoh bangsa zaman silam.

Sungguh teladan yang menyejukkan.

Kini, Benarkah Syariah yang Bikin Gerah?

Melihat kondisi kini, sudikah kita bertanya secara jujur. Apakah yang sesungguhnya bikin gerah?

Dalam uraian di atas, Natsir sendiri sudah bertanya kepada khalayak tentang apa bahayanya syariat. Progres manakah yang terhalang oleh hadirnya syariat Islam? Agama ini meruangkan ijtihad dan menginginkan keselamatan dunia-akhirat; ingin menjadikan negeri tempat umat tinggal sebagai “Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur” (QS Saba:15).

Natsir berjuang dalam kerangka dialog. Bukan monolog. Tidak hanya dalam upaya mewujudkan syariat Islam, tetapi juga menjaga persatuan bangsa yang dicintainya ini. Lahirnya NKRI menjadi catatan sejarah yang brilian dan tak bisa dipungkiri.

Dia memperjuangkan Mosi Integral tidak dalam ambisi, misal, untuk menggulingkan kekuasaan Sukarno. Bung Karno saat itu menjabat sebagai presiden RI—bagian dari RIS.

Mengutip pidato sahabatnya, Mohammad Roem, pada 1982 di Hotel Babylon, Den Haag, Belanda. Natsir justru berkata kepada tiap pemimpin negara-bagian RIS yang dijumpainya: “Keduanya (Sukarno-Hatta) akan tetap membimbing kita dalam Negara Kesatuan.”

Sekembalinya ke Jakarta, Natsir pun ditunjuk Presiden Sukarno sebagai formatur kabinet. Ini sebenarnya mengejutkan. Sebab, Masyumi merupakan penganjur kabinet presidensil, bukan parlementer. Natsir toh menerimanya sebagai pertanggungjawaban politik. Roem menerjemahkannya sebagai cara Bung Karno mengapresiasi lawan politiknya itu.

“Sukarno rupanya tertarik dengan Natsir karena pengembalian kepada negara kesatuan, (Natsir) telah melaksanakan dengan cara yang bermartabat dan menyenangkan. Masuk akal jika Sukarno pun senang, karena dia tetap menjadi presiden,” kata Roem.

Sukarno dan Natsir menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik. Ambisi mereka bukan kursi. Mereka semata-mata tulus memperjuangkan ideologi masing-masing. Ideologi mereka memang berbeda, tetapi dilandasi hasrat yang sama: persatuan bangsa. Bukan kemenangan kelompok atau golongan, apalagi bila ukuran kemenangan itu adalah kursi dan uang.

Dari Bung Karno dan Natsir kita belajar. Satu sama lain tak saling tuduh. Tidak menuding rivalnya sebagai pengancam persatuan bangsa (dan tidak pula menganggap diri dan golongan sendiri sebagai barisan penjaga persatuan bangsa). Keduanya berdialog dengan cerdas. Bertemu muka. Beradu argumen, bukan serang pribadi. Menunjukkan kecerdasan di hadapan publik, tanpa nada tinggi. Sikap demikian menimbulkan respek publik, bukan menyulut emosi di akar rumput.

Intinya, tidak bikin gerah.

Kini, adakah rivalitas demikian ditunjukkan para elite politik? Rivalitas yang hangat, autentik, dan mencerdaskan seperti antara Sukarno dan Natsir—adakah itu sekarang?

Biarlah sajak karya Taufiq Ismail berikut ini yang “menjawabnya."

 

BERBEDA PENDAPAT

Kucatat ahli masuk bui, A.Qadir Djaelani

Di zaman Demokrasi Terpimpin dua kali

Di zaman demokrasi pancasila lagi dua kali

 

Isa Anshari dan D.N.Aidit

Di atas podium seperti akan tikam-tikaman

Konstituante bagai terbakar panasnya perdebatan

Tapi sehabis sidang waktu makan siang

Mereka duduk berhadapan satu meja

Bercakap-cakap begitu wajarnya

 

Bung Karno dan Mohammad Natsir

Berpolemik keras di media massa

Berbeda ide nyaris bagai masyrik dan magrib

Tapi bila berjumpa muka

Wajah cerah bagai abang dan adik saja

 

Pemilu ‘55 pemilu pertama paling merdeka

Tiada huru-hara, tak ada pembunuhan, tanpa sandiwara

Penguasa tidak menipu rakyat menghitung suara

Burhanuddin Harahap PM-nya, jauh dari selingkuh

Cuma mau memenangkan partainya

 

Wilopo, Moehammad Roem dan Kasimo

Tiga visi untuk tiga garis politik

Berlain pandangan namun akrab dalam pergaulan

Tegur sapa adalah pakaian bersih bersama 

 

Kini itu tinggal lagi impian saja

Kultur ini dibunuh lima windu lamanya

Oleh yang berkuasa, yang berbeda pendapat

Jadi musuh sampai akhir abad

Apalagi oposisi seteru sampai mati

 

Bung Syahrir dulu, Pak Ton kini

Lalu Pak Nas, Syafruddin dan Bang Ali

Bertemu di jalan, muka dipalingkan

Di resepsi perkawinan dicegah dapat undangan

Telepon disadap, jalur rezeki disumbat

Kendaraan bergulir diikuti kemana-mana

Hidup bergerak dalam laporan mata-mata

 

1998

 

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement