Senin 05 Aug 2019 16:15 WIB

Blackout: Apa yang Bisa Terjadi dalam 6 Jam?

Spekulasi pun terungkap. Ada yang menyebut sabotase.

Proses evakuasi penumpang MRT yang berhenti akibat listrik padam di antara jalur Stasiun MRT Bendungan Hilir-Istora, Jakarta Pusat, Ahad (4/8).
Foto: Dok Istimewa
Proses evakuasi penumpang MRT yang berhenti akibat listrik padam di antara jalur Stasiun MRT Bendungan Hilir-Istora, Jakarta Pusat, Ahad (4/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Guntur Subagja

BLACKOUT. Ahad, 040819, tampaknya menjadi hari kelabu bagi Indonesia. Terutama, masrakayat Jakarta dan sebagian Pulau Jawa. Listrik di kawasan yang dihuni lebih 100 juta penduduk Nusantara ini padam. Tepatnya, sejak menjelang tengah hari. Suplai listrik mendadak saja berhenti serentak. Tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Beberapa saat kemudian baru ada kabar resmi dari PT PLN (Persero). Alasannya, faktor teknis. Hanya disebutkan gangguan Transmisi SUTET 500 kV di pembangkit Suralaya. Namun, tidak dijelaskan mengapa “blackout” itu bisa terjadi. Parahnya, pemulihan (recovery) transmisi membutuhkan waktu 1-6 jam. Realitanya, sebagian baru menyala kembali listriknya setelah 10 jam.

Satu dua jam pertaman dianggap hal wajar bagi masyarakat. Kepanikan mulai terjadi setelah berjam-jam listrik belum menyala. Mereka yang berada di rumah, sebagian terpaksa keluar rumah untuk mecari makan karena tidak bisa memasak. Mal-mal yang beraktivitas dengan genset pun penuh. Bukan hanya pemukiman yang listriknya padam. Gedung-gedung perkantoran dan sarana publik juga berhenti beraktivitas.

Transportasi publik, Kereta Api Listrik (KRL) dan Mass Rapit Transit (MRT) berhenti mendadak. Penumpangnya panik, turun dan berjalan di atas rel. Bahkan mereka menelurusi lorong jalur MRT hingga keluar di jalan umum, area terbuka.

Lampu-lampu merah juga padam sehingga terjadi kesemrawutan lalu lintas di sejumlah titik. Parahnya lagi, pesan ojek online pun tidak bisa dilakukan karena server dan jaringan telekomunikasi terganggu. Sedikit beruntung, busway Trans Jakarta tetap melayani penumpang dengan gratis.

Layanan perbankan, transaksi bisnis, mesin ATM, dan sejumlah pabrik, khususnya UMKM, yang berproduksi di hari Ahad itu berhenti. Tidak semua layanan ATM memiliki genset cadangan. Dan hanya sedikit UMKM yang memiliki generator pengganti aliran listrik PLN. Belum lagi kepanikan para ibu yang selama ini menyimpan cadangan ASI-nya di lemari pendingin, untuk balitanya.

Ketegangan masyarakat makin memuncak saat tidak bisa berkomunikasi. Bukan hanya sinyal telepon seluler terbatas, tapi sebagian kehabisan baterai sehingga menyulitkan komunikasi dengan keluarga, saudara, rekan, di tengah kegelapan.

Pihak PLN memang sudah meminta maaf. Perusahaan pelat merah ini juga mengumumkan kerugian sekitar Rp 90 miliar akibat padamnya aliran listrik tersebut.

Kerugian PLN sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan kerugian masyarakat, industri, dan sektor lainnya. Kerugian materil bisa mencapai puluhan triliun, bahkan mungkin ratusan triliun rupiah. Sudah pasti kerugian immateril tidak bisa dihitung dengan kalkulator.

photo
Pedagang menunggu pembeli di kawasan Pasar Baru yang mengalami pemadaman listrik, Jakarta, Senin (5/8/2019).

Pertanyaannya, mengapa butuh waktu sangat lama untuk memulihkan listrik yang mati tersebut? Kita, sebagai masyarakat awam tidak tahu. Tapi secara sudut pandang sederhana, PLN selaku perusahaan yang mensuplai listrik buat masyarakat dan industri, semestinya memiliki prosedur emergency yang bisa segera mengatasi kegagalan listrik atau terhentinya saluran listrik.

Apalagi ini bukan faktor karena dampak bencana. Memang sehari sebelumnya ada gempa besar di laut Banten, tapi tidak disebutkan bencana ini mengganggu infratruktur jaringan listrik. Dan Sabtu, saat gema terjadi, aliran listrik berlangsung normal.

Bila penyebabnya faktor teknis, semestinya bisa segera diatasi. Andai memiliki sistem pengamanan yang baik, kerusakan teknis, mungkin tidak mengakibatkan padam serentak pula. Distribusi arus pun seharusnya bisa langsung dikelola, dibagi-bagi segera, saat salah satu pembangkit ada gangguan.

Spekulasi pun terungkap. Ada yang menyebut sabotase. Mengapa ini terjadi saat PLN belakangan ini disorot publik karena kasus korupsi pembangkit yang melibatkan pejabat tinggi. Mengapa pula ini terjadi dua hari setelah penetapan pelaksana Direktur Utama PLN, yang kini dipimpin Sri Peni Inten Cahyani.

Ada juga yang menduga disengaja oleh pihak tertentu untuk tujuan tertentu. Tapi siapa yang melakukannya? Analisis macam-macam muncul dalam berbagai sosial media dan sarana komunikasi chatting yang tersebar di publik.

Perlu ketahui, saat ini Indonesia tidak dalam kondisi kekurangan listrik. Sejumlah proyek pembangunan pembangkit listrik dalam beberapa tahun terakhir sudah mampu mensuplai kebutuhan listrik nasional. Baik buat hunian masyarakat maupun industri. Bahkan saluran listrik sampai ke pedalaman sudah banyak yang teraliri listrik, meski belum 100 persen.

Total kapasitas pembangkit listrik terpasang pada 2017 sebanyak 60.789 MW. Pada 2018 kapasitas listrik terpasang Indonesia bertambah 1.600 MW, sehingga menjadi 62.600 MW ketersediaan suplai listrik nasional. Konsumsi listrik masyarakat Indonesia (2018) tercatat 1.064 kWh per kapita. Dengan kapisitas listrik yang ada, saat ini relatif cukup untuk kebutuhan masyarakat dan industri.

Dalam kondisi ketersediaan listrik yang dihasilkan pembangkit-pembangkit cukup, mengapa tiba-iba listrik padam secara mendadak? Pada medio tahun 2000an lalu pernah terjadi listrik padam agak lama, tapi penyebab utamanya diketahui karena jaringan listrik yang terganggu, benar-benar teknis. Dan saat itu suplai listrik Indonesia masih terbatas.

photo
Petugas PLN memperbaiki gardu listrik saat pemadaman listrik serentak se-Pangandaran di Cikidang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Ahad (21/7/2019).

Apa yang bisa terjadi saat listrik padam selama enam jam bahkan lebih? Apalagi matinya listrik juga bedampak pada terganggunya komunikasi, produksi, dan transportasi. Banyak kemungkinan bisa terjadi.

Yang paling sederhana sudah pasti berdampak ekonomi yang besar. Juga dapat menimbulkan meningkatnya kriminalitas saat kawasan gelap dan komunikasi terbatas. Lantas mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam beraktivitas. Dan, lebih dari itu berhentinya fungsi infrastruktur vital seperti listrik bisa memberikan ekses politik yang besar. Bila saja ada kepentingan politik tertentu yang ingin berkuasa, apapun bisa saja terjadi.

Listrik adalah infrastuktur strategis. Ini merupakan sarana vital bagi negara. Listrik merupakan sumber energi masyarakat untuk pemukiman dan industri. Ketika infrastruktur vital terganggu, bahkan terhenti, seperti yang terjadi padamnya listrik di hari Ahad kelabu itu, maka sesungguhnya bukan hanya kerugian ekonomi yang diresahkan. Tapi kejadian ini juga sangat mengancam ketahanan negara, ketahanan nasional. Ancaman bisa datang dari dalam atau dari luar negara.

Beruntung masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mencintai perdamaian, persatuan, dan kesatuan. Meski sempat terjadi ketegangan politik antar kelompok masyarakat pada masa Pemilu 2019, tetapi bangsa Indonesia adalah bangsa yang taat hukum dan demokratis.

Yang terjadi justru, walaupun hidup dalam kegelapan selama enam jam atau lebih, mereka hanya meresponnya dengan sejumlah meme dan joke lucu yang menyentil PLN. Setidaknya untuk menghibur diri dan melampiaskan kekesalan yang masih dalam koridor positif.

Masyarakat tampaknya masih sabar. Bahkan, hingga esok harinya tetap sabar walaupun pemadaman listrik masih terjadi secara bergilir. Pagi ini, saya membatalkan salah satu aktivitas saat memasuki salah satu kantor ternyata listriknya padam. Dengan senyum, memutuskan bergeser ke tempat lain yang masih memiliki listrik. Sampai kapan “byar pet” listrik bakal terjadi? Au ah gelap!

* Guntur Subagja, Ketua Umum Insan Tani & Nelayan Indonesia (INTANI), Wakil Ketua Umum ILUNI Universitas Indonesia (UI) - Sekolah Pascasrjana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement