Senin 29 Jul 2019 15:48 WIB

Wakaf untuk Kualitas Perguruan Tinggi

Pemerintah harus menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas

Ilustrasi Wakaf / Wakaf Produktif
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Wakaf / Wakaf Produktif

REPUBLIKA.CO.ID

Oleh Hendri Tanjung, Anggota Badan Wakaf Indonesia dan Wakil Direktur Pascasarjana UIKA Bogor dan,

Raditya Sukmana, Guru Besar Ekonomi Syariah Universitas Airlangga

Menarik sekali tulisan Profesor Nanat Fatah Natsir, rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2003-2011), berjudul “Menimbang Rektor Asing” dalam harian ini, Kamis, 25 Juli 2019. Tulisan itu menimbang gagasan Presiden Jokowi untuk mendatangkan rektor asing guna meningkatkan kualitas pendidikan perguruan tinggi (PT) di Indonesia.

Menurut Prof Nanat, rendahnya kualitas PT disebabkan anggaran pendidikan yang rendah untuk pengembangan PT. Anggaran yang rendah ini akan berimbas pada rendahnya gaji dosen, tenaga kependidikan, kualitas perpustakaan, gaji rektor, termasuk rendahnya kualitas penelitian secara kualitatif maupun kuantitatif.

Di akhir tulisan, beliau mengusulkan agar pemerintah menyiapkan anggaran yang optimal. Menurut penulis, kualitas pendidikan sangat dipengaruhi software dan hardwarenya. Di PT, software yang dimaksud adalah pendidik dan tenaga kependidikan--dalam hal ini adalah dosen dan tata usaha.

Sementara itu, hardware yang dimaksud adalah fasilitas, sarana, dan prasarana yang lengkap. Untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas software dan hardware tersebut, PT memerlukan biaya yang sangat besar.

Fakultas kedokteran harus memiliki alat untuk mendeteksi detak jantung pasien agar dapat menentukan langkah pengobatan lebih lanjut dengan cepat dan akurat. Fakultas penerbangan membutuhkan laboratorium untuk menghasilkan berapa kekuatan sayap pesawat ketika terbang dengan kecepatan tertentu. Fakultas teknik harus mempunyai laboratorium untuk melihat kekuatan beton untuk dilintasi kendaraan dengan berat tertentu.

Sudah merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas mulai dari Aceh sampai dengan Papua. Masalahnya adalah apakah cukup total dana pendidikan tersebut diambil dari APBN? Jawaban singkatnya adalah tidak. Kalaupun cukup, akan ada pengorbanan dari sektor lain dan itu sulit dilakukan.

Tulisan ini mencoba untuk memperbesar makna "tanggung jawab pemerintah" dari yang awalnya adalah pendanaan pendidikan dari dana APBN menjadi lebih besar lagi, yaitu tanggung jawab pemerintah mengaktifkan kembali wakaf untuk pendidikan.

Pemerintah harus mempunyai komitmen tinggi untuk menggerakkan wakaf. Kita harus bisa belajar dari pengalaman yang ada, baik masa lampau maupun sekarang.

Sejarah menunjukkan, pemerintah besar dahulu kala mengalami defisit yang pada akhirnya pemerintah meminjam dari Universitas al-Azhar. Al-Azhar telah lama menjalankan konsep wakaf produktif melalui kebun-kebun kurma yang sangat luas.

Hasil wakaf produktif ini digunakan untuk membiayai operasional universitas tersebut. Akibatnya, mahasiswa tidak hanya tidak membayar uang sekolah tetapi setiap bulan mereka mendapatkan beasiswa.

Selain itu, dosen-dosen juga dibayar dari wakaf produktif tersebut. Karena banyaknya hasil wakaf, Universitas al-Azhar dapat membantu pemerintah yang mengalami defisit saat itu.

Kadang-kadang kita merasa silau dengan fasilitas kampus di luar negeri dengan laboratorium yang lengkap dan fasilitas perpustakaan dengan jutaan buku. Namun, kadang kita lupa bahwa kampus di luar negeri bisa seperti itu karena wakaf.

Namun, mereka menamakannya sebagai endowment funds. Universitas Harvard telah lama menerapkan endowment funds-nya dan pada akhir 2016. Kekayaan endowment funds yang dimiliki sebesar 35,6 miliar dolar AS.

Harvard menempati posisi teratas, diikuti Universitas Yale sebesar 20,7 miliar dolar AS, Universitas Princeton 18,8 miliar dolar, Universitas Stanford 18,7 miliar dolar, dan Institut Teknologi Massachusetts 10,8 miliar dolar.

Itulah lima universitas yang memiliki dana abadi terbesar di Amerika. Dana-dana tersebut digunakan untuk memberi beasiswa kepada mahasiswa, yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya kuliah.

Penggunaan yang lain adalah menggaji profesor dengan gaji yang tinggi dan menarik sehingga profesor terbaik dari seluruh dunia akan datang untuk mengajar di situ. Dana itu juga digunakan untuk memperbaiki ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, dan lainnya.

Adapun tujuan dari endowment funds ini untuk diinvestasikan sehingga nilai total asetnya tidak tergerus inflasi. Hasil investasinya sebagian diinvestasikan lagi. Sebagian digunakan untuk biaya pendidikan.

Kalau dilihat dari tujuannya, sejatinya endowment funds ini adalah wakaf. Dalam Islam, wakaf mendapat penekanan lebih, yaitu tidak hanya unsur duniawi untuk penyediaan fasilitas penunjuang pendidikan tetapi juga unsur akhirat yang mana pahala tiada terputus sampai dengan hari kiamat.

Prinsip umum dalam wakaf adalah tidak berkurangnya nilai wakaf itu sendiri dan sifatnya yang abadi. Karena itulah, yang paling sering digunakan orang sebagai waqaf adalah tanah dan bangunan.

Pengadilan Ottoman telah menyetujui praktik wakaf uang pada abad ke-15. Hal tersebut menjadi sangat populer pada abad ke-16 di seluruh Anatolia dan daratan Eropa dari Kerajaan Ottoman, Turki. Pada zaman Ottoman, wakaf uang ini dipraktikkan hampir 300 tahun, dimulai dari tahun 1555-1823 M.

Lebih dari 20 persen wakaf uang di Kota Bursa, selatan Istanbul, telah bertahan lebih dari seratus tahun. Dalam pengelolaannya, hanya 19 persen wakaf uang yang tidak bertambah, sementara 81 persen mengalami pertambahan (akumulasi) modal.

Dalam penelitiannya, Pofessor Murat Cikazca (1998) menyimpulkan bahwa wakaf uang berhasil mengorganisasikan dan membiayai pendidikan, kesehatan, dan kegiatan lainnya, yang hari ini ditanggung oleh negara atau pemerintah daerah setempat.

Dengan demikian, wakaf uang memainkan peranan vital pada era Ottoman tanpa biaya dari negara. Wakaf uang yang terkumpul sebagian digunakan untuk membangun pendidikan dan sebagiannya lagi diinvestasikan dengan akad murabahah.

Keuntungannya digunakan untuk membayar gaji ustaz/guru, asisten, qari, dan nazir wakaf tersebut. Hal ini pernah terjadi pada bulan Safar 1513 M. Ketika itu Elhac Sulaymen mewakafkan 70 ribu dirham perak. Sebanyak 40 ribu dirham digunakan untuk membangun sekolah, sedangkan 30 ribu dirham lainnya digunakan untuk pembiayaan murabahah.

Hasil investasi murabahah tersebut digunakan untuk membayar gaji guru sebesar 3 dirham per hari, asisten 1 dirham, qari pembaca Alquran 1 dirham, dan nazir 2 dirham setiap harinya.

Melihat praktik wakaf yang sudah sangat maju 454 tahun yang lalu, rasanya tidak berlebihan kalau ke depannya kita bangkitkan lagi wakaf untuk pendidikan yang dhulu pernah ada. Orang Minang menyebutnya, “Mambangkik batang tarandam,” yang artinya adalah 'membangkitkan kembali muruah/kehormatan yang telah lama terpendam/terabaikan karena suatu keadaan'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement