Senin 29 Jul 2019 05:13 WIB

Invisible Hands

Untuk pertama kalinya emiten bank syariah masuk daftar LQ45 di Bursa Efek Indonesia.

Adiwarman Karim
Foto: Republika/Da'an Yahya
Adiwarman Karim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Adiwarman A Karim

Di balik keriuhan pilpres lalu, ternyata ada tangan-tangan yang tidak terlihat yang bekerja dalam senyap memberikan harapan besar akan bangkitnya ekonomi Islam di Indonesia. Untuk pertama kalinya, saham lembaga keuangan syariah masuk dalam daftar LQ45, yaitu 45 saham yang paling likuid.

Hanya ada enam bank yang masuk daftar ini—lima bank konvensional, semuanya bank-bank besar, empat di antaranya bank BUMN. Hanya satu bank syariah, yaitu bank BTPN Syariah.

Untuk pertama kalinya pula, diperkirakan pada 2020, pangsa pasar perbankan syariah di Aceh akan mencapai 100 persen. Langkah yang diambil bank BRI dan bank-bank lain pada tahun ini untuk mengonversi portofolio mereka di Aceh menjadi syariah diduga akan menginspirasi daerah lain. NTB, sejumlah daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, diperkirakan akan menuju arah yang sama.

Untuk pertama kalinya, beberapa unicorn Indonesia melakukan inisiasi menggarap pasar bernuansa religi dengan serius. Tak tanggung-tanggung, inisiasi penyelenggaraan umrah berbasis aplikasi digital itu dipayungi kerja sama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi. Lazimnya kompetisi para unicorn, mudah diduga unicorn lain juga akan melengkapi ekosistem bisnisnya untuk menggarap lebih serius pasar bernuansa religi.

Lima belas bank BPD yang memiliki unit usaha syariah akan dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, menutup unit usaha syariah mereka karena skala bisnis yang belum cukup untuk mandiri setelah di-spin-off. Kedua, mengonversi keseluruhan bank menjadi bank syariah seperti yang telah terjadi di Aceh dan NTB. Pilihan pertama secara sosial-politik lebih sulit dilakukan. Pilihan kedua yang lebih mudah, diduga akan menjadi pilihan akhir. Pada saat itulah gelombang perubahan besar semakin terasa.

Energi besar umat Islam yang sangat terasa dalam pilpres lalu tampaknya bukan sekadar energi semusim yang mencari kanalisasi di dunia politik. Energi besar ini mendorong ke segala arah sendi kehidupan masyarakat. Kebangkitan kesadaran ekonomi syariah hanyalah salah satu kanalisasi energi ini.

Gerard Brady, ekonom pemenang Miriam O’Hederman O’Brien Prize, menemukan hubungan timbal balik antara kesuksesan ekonomi dan kesuksesan bermasyarakat. Tidak layak dan tidak diinginkan dalam menyusun kebijakan ekonomi suatu negara, memisahkan sistem ekonomi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Dalam dunia yang semakin hyper-connected, teknologi mempercepat pertemuan nilai-nilai berbagai budaya dan membuat tingkat ketergantungan semakin besar. Menolak atau mengesampingkan aspirasi umat Islam pada tataran taktis di lapangan tidak akan pernah dapat memadamkan energi besar umat Islam.

Skenario lima tahunan tidak akan pernah menghentikan tren jangka panjang. Ibarat garis tren yang semakin naik, skenario lima tahunan adalah fluktuasi musiman, turun-naik dalam tren yang konsisten semakin naik. Menurut Brady, bisnis yang bagus memerlukan perekonomian yang bagus, dan perekonomian yang bagus memerlukan masyarakat yang bagus pula.

Rumah besar Indonesia tidak akan pernah menjadi rumah bersama bila hampir separuh penghuni yang berbeda orientasi politik harus tinggal di beranda rumah saja. Bahkan, tidak dapat dikatakan sebagai rumah besar Indonesia bila 85 persen penghuninya merasa tidak didengar, tidak dipahami, tidak dilibatkan dalam menentukan arah masa depan bangsa.

Jeffrey Miron dalam artikelnya, “Why Is the U.S. Economy Successful?”, mengutip jawaban Martin Feldstein, profesor Universitas Harvard, yang menemukan 10 faktor kekuatan ekonomi negara. Pertama, budaya berbisnis. Kedua, sistem keuangan yang mendukung budaya berbisnis. Ini kebalikan dari budaya birokrasi dan sistem yang mendukung makelarisme dalam birokrasi.

Rainer Zitelmann, pakar leadership strategy, dalam artikelnya, ”China's Economic Success Proves the Power of Capitalism”, mengutip percakapan antara Deng Xiao Ping dan Lee Kuan Yew dalam suatu jamuan makan malam. "Kami adalah keturunan Cina para petani miskin buta huruf yang tidak memiliki tanah di Guandong dan Fujian di Cina Selatan. Tidak ada satu pun yang telah dilakukan Singapura yang tidak dapat dilakukan bahkan dapat dilakukan lebih baik oleh Cina. Ketika itu Deng diam saja. Empat belas tahun kemudian, saya menyadari Deng benar-benar membuktikan ucapan saya."

Faktor ketiga, menurut Feldstein, universitas riset kelas dunia. Keempat, pasar tenaga kerja yang efisien. Kelima, populasi yang bertumbuh. Keenam, budaya dan sistem perpajakan yang mendorong kerja keras. Ketujuh, kemandirian energi. Kedelapan, kebijakan lingkungan yang mendukung. Kesembilan, birokrasi pemerintahan yang relatif kecil dan efisien. Kesepuluh, sistem politik desentralisasi yang menumbuhkan inisiasi perlombaan kebaikan antara pusat dan daerah.

Islam masuk dan besar di Indonesia melalui jalur ekonomi. Keterbukaan Indonesia dan kemampuan Indonesia dalam menyerap berbagai budaya luar merupakan kekuatan bangsa ini. Pedagang Muslim dari Arab, India, dan Cina memainkan peranan besar dalam membangun koneksi bisnis dengan negeri asal. Berbagai budaya dan agama hidup damai berdampingan di Indonesia. Hebatnya lagi, mereka semua merasa sebagai satu bangsa besar, bangsa Indonesia.

Sampai kemudian datang pedagang-pedagang serakah yang menguras habis kekayaan Indonesia. Menjadikan tuan rumah sebagai budak di rumahnya sendiri. Betapa pun hebatnya penindasan, kekejaman, kejahatan para penjajah, tetapi api perjuangan dan energi bangsa ini tidak pernah padam. Tangan-tangan tidak terlihat terus bergerak mendobrak ke segala arah sampai pada saat yang dijanjikan Allah bangsa ini meraih kemerdekaannya.

Sejarah akan terus berulang. Tangan-tangan tidak terlihat sedang dan akan terus bergerak masuk jauh ke relung-relung hati bangsa Indonesia. Menggugah perasaan, menggetarkan jiwa raga, menggumpalkan tekad besar, menebalkan kesabaran. Beringsut senti demi senti, mencari celah demi celah sampai waktu yang dijanjikan Allah bangsa ini menjadi pemimpin dunia. Inilah tanah air bangkitnya Islam di dunia.

Inilah bangsa yang paling banyak membaca Alquran walaupun tidak sepenuhnya memahami bahasa Arab. Mengulang-ulang bacaannya sampai masuk ke relung hati meski sering kali tidak memahami maknanya. Itu sebabnya banyak yang menangis mendengarkan Alquran karena air mata berasal dari hati, bukan dari pikiran. "It’s not how much you reach Quran, it’s how much Quran reach you."

Rasulullah SAW pernah menyampaikan firman Allah, "Tidak dapat memuat dzat-Ku seluruh bumi dan langit-Ku, kecuali hati hamba-Ku yang mukmin yang lunak dan tenang." (HR Abu Dawud). Jalaluddin Rumi mengingatkan, "Your heart knows the way, run in that direction." Allah didn’t bring you this far to leave you.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement