Senin 01 Jul 2019 15:40 WIB

Konspirasi yang Terang-terangan!

Konspirasi, menurut KBBI, bermakna komplotan atau persekongkolan.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:  Ikhwanul Kiram Mashuri

Konspirasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bermakna komplotan atau persekongkolan. Dalam teori konspirasi, persekongkolan biasanya dilakukan secara rahasia, direncanakan diam-diam oleh sekelompok orang atau organisasi yang sangat berkuasa dan berpengaruh terhadap dunia.

Misalnya, perjanjian rahasia antara Pemerintah Britania Raya dan Pemerintahan Prancis, yang disetujui Kekaisaran Rusia pada 1916. Perjanjian rahasia itu, yang kemudian dikenal dengan Sykes–Picot Agreement—diberi nama sesuai penandatangannya, Sir Marks Sykes (diplomat Inggris) dan Francois Georges-Picot (diplomat Prancis)—telah membagi wilayah-wilayah bekas kekhalifahan Utsmaniyah di Timur Tengah. Pembagian wilayah yang hingga kini menyebabkan rawan konflik. Pemberian wilayah kepada Israel di tanah Palestina pun tidak lepas dari yang namanya konspirasi.

Perjanjian rahasia, Sykes–Picot Agreement, ini baru diketahui oleh publik secara luas setahun kemudian, ketika kaum Bolsheviks yang mengambil alih kekuasaan dari Kaisar Rusia (Revolusi Rusia) memublikasikannya. Rakyat Arab pun marah, termasuk bangsa Kurdi yang hingga kini tidak mempunyai negara.

Padahal, bangsa ini telah melahirkan seorang pahlawan besar Islam dalam Perang Salib bernama Shalahiddin al-Ayyubi.

Lalu, apa namanya ketika Selasa dan Rabu pekan lalu diselenggarakan lokakarya di Manama, ibu kota Bahrain, yang membicarakan pembangunan ekonomi di wilayah Palestina tanpa kehadiran para wakil dari bangsa yang hingga kini dijajah oleh zionis Israel itu?

Lokakarya itu merupakan inisiatif Amerika Serikat (AS) dalam rangka untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Tema lokakarya sangat keren, "Perdamaian untuk Kemakmuran". Entah kemakmuran untuk siapa.

Yang jelas, dari lokakarya ini diharapkan bisa terkumpul 50 miliar dolar untuk investasi selama periode 10 tahun. Dana ini, menurut Gedung Putih, akan bisa menyediakan sejuta pekerjaan untuk warga Palestina dan membiayai pembangunan koridor transportasi antara Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Lokakarya yang membahas ekonomi ini merupakan bagian dari rancangan AS untuk perdamaian Timur Tengah, yang beberapa kali disebut oleh Presiden Donald Trump sebagai "The Big Deal of the Century" atau Shafqah al-Qorn (Kesepakatan Abad Ini). Sedangkan aspek politik, seperti disebutkan media aljazeera.net, tidak akan diungkap sebelum November nanti dan kemungkinan tidak akan menyebut pembentukan negara Palestina Merdeka.

Peserta lokakarya di Manama ini antara lain negara-negara Teluk plus Mesir, Yordania, dan Maroko. Negara-negara itu selama ini merupakan sekutu utama AS di Timur Tengah.

Rancangan Trump untuk perdamaian di Timur Tengah alias The Big Deal of the Century, termasuk lokakarya ini, diarsiteki oleh Jared Kushner, menantu sekaligus penasihat utama Presiden Donald Trump. Kushner pada 30 Mei lalu merupakan salah seorang tokoh dunia yang menghadiri pertemuan rahasia yang diselenggarakan oleh Bilderberg Group di sebuah resor mewah di Montreux, Swiss.

Bilderberg Group merupakan sebuah organisasi yang dibentuk setelah Perang Dunia II. Metode kerjanya selalu rahasia. Tujuannya untuk memperkuat peran Barat/AS di kancah global. Para penganut teori konspirasi menuduh Bilderberg Group telah melakukan berbagai kejahatan, mulai dari menciptakan krisis keuangan hingga menyusun rencana untuk mengurangi populasi dunia (baca: menciptakan konflik).

Para pemimpin Palestina, baik yang nasionalis seperti Faksi Fatah maupun yang Islamis yang diwakili Faksi Hamas, sepakat bulat memboikot lokakarya dua hari itu. Sebuah kesepakatan yang jarang terjadi. Mereka menyebut, The Big Deal of the Century, termasuk lokakarya yang diselenggarakan di Manama, merupakan konspirasi secara terang-terangan untuk menghapus negara Palestina dari peta Timur Tengah. Presiden Palestina Mahmud Abbas menyebutkan, lokakarya itu telah mengubah konflik Palestina-Israel yang merupakan masalah politik ke persoalan ekonomi.

Sedangkan Perdana Menteri (PM) Palestina Mohammad Shtayyeh menyatakan, dengan tidak adanya perwakilan dari bangsa Palestina, lokakarya itu sudah kehilangan legalitasnya. Semua pertemuan untuk menentukan nasib bangsa Palestina tanpa perwakilan dari mereka adalah konspirasi jahat.

Perdana Menteri Palestina menegaskan, mertua dan menantu—Donald Trump Jared Kushner—harus paham bahwa bangsa Palestina tidak membutuhkan sedekah. Yang mereka butuhkan hanyalah hak untuk merdeka dan diakhirinya hegemoni Israel atas kehidupan dan ekonomi bangsa Palestina.

Trump dan Kushner tampaknya gagal paham atau sengaja tidak mau paham bahwa masalah ekonomi Palestina yang memburuk merupakan hasil dari kebijakan penajajah Israel yang sengaja dirancang untuk memperlemah ekonomi Palestina. Antara lain dengan pembatasan pergerakan barang-barang dan warga Palestina, sulit mendapatkan izin bangunan, dan blokade yang mereka kenakan atas wilayah Gaza.

Sebelum The Big Deal of the Century diluncurkan, bangsa dan pemimpin Palestina sebenarnya sudah kehilangan kepercayaan kepada Presiden Trump sebagai wasit perdamaian di Timur Tengah. Trump dinilai lebih condong pada kepentingan zionis Israel.

Bahkan, PM Palestina Mohammad Shtayyeh menggambarkan berbagai langkah Trump selama bersinggasana di Gedung Putih sebagai perang terhadap Palestina. Misalnya, pengakuan Trump bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel, yang diikuti dengan pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Kota Suci tiga agama itu. Lalu, penutupan kantor otoritas Palestina di Washington dan penghentian bantuan AS, termasuk bantuan kepada badan PBB yang bertanggung jawab atas pengungsi Palestina (UNRWA).

Trump tidak pernah mau mendengarkan, apalagi mempertimbangkan, Inisiatif Arab (al-Mubadarah al-‘Arabiyah) yang menjadi keputusan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Liga Arab di Beirut pada 2002. Inisiatif Arab yang kemudian diadopsi oleh PBB dan juga Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) itu menegaskan tentang perlunya pembentukan negara Palestina merdeka dan berdaulat di wilayah Palestina yang diduduki Zionis Israel sejak 4 Juni 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Israel menolak keras Inisiatif Arab tersebut. Padahal, inisiatif yang sudah diadopsi oleh PBB dan OKI itu bila diterapkan akan berarti normalisasi penuh hubungan dengan Israel setelah pembentukan Negara Palestina Merdeka. Dan, celakanya, Presiden Trump justru mendukung penolakan pihak Israel tersebut.

Itulah tampaknya yang disebut oleh para pemimpin Palestina sebagai konspirasi terhadap bangsa dan negara Palestina. Konspirasi untuk melenyapkan negara Palestina merdeka dan berdaulat dari peta Timur Tengah. Bahkan, konspirasi itu tidak dilakukan dengan rahasia. Konspirasi itu berlangsung secara terang-terangan.

Yang menyedihkan, masyarakat internasional—PBB, Liga Arab, OKI, dan Gerakan Nonblok—seperti biasanya tidak bisa berbuat apa-apa. Sama seperti sebelumnya, mereka juga tidak melakukan tindakan apa pun yang bisa menghentikan pengakuan Presiden Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan Dataran Tinggi Golan (milik Suriah) sebagai bagian dari wilayah Israel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement