Kamis 27 Jun 2019 04:00 WIB

Mendidik Anak Cara Rasul

Rasul menididik anak dengan memperkenalkan tauhid sedari dini.

Hasanul Rizqa
Foto: dok. Republika
Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Hasanul Rizqa*

Akhir-akhir ini, marak pemberitaan tentang keluh-kesah orang tua saat mengikuti pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur zonasi. Mereka pada dasarnya mengeluhkan kebijakan yang membuat buah hati tercinta terkendala masuk atau bahkan tak bisa terdaftar di sekolah tujuan.

Pada intinya, setiap orang tua ingin agar anak-anaknya memperoleh pendidikan yang lebih baik. Akan tetapi, pendidikan pada hakikatnya tidak hanya berlangsung di sekolah. Orang tua tetap berperan sentral dalam mendidik anak-anak. Hal inilah yang hendaknya tidak dilupakan.

Sebagai seorang Muslim, sudah sepantasnya untuk mengambil pelajaran dari kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. Segala segi kepribadian beliau dapat menjadi teladan. Termasuk dalam hal menjadi orang tua yang baik.

Merujuk buku 'Mendidik Buah Hati Ala Rasulullah' karya Azizah Hefni, Nabi Muhammad SAW memiliki tujuh orang anak. Enam di antara mereka lahir dari rahim Siti Khadijah. Putra pertama beliau bernama Qasim, yang meninggal dunia saat berusia dua tahun lantaran sakit. Tak lama setelah Qasim, lahirlah Abdullah. Namun, Abdullah juga wafat saat masih berusia balita.

Putri-putri Rasulullah SAW berjumlah empat orang. Mereka adalah Zainab, Rukayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Adapun dari istri beliau shalallahu ‘alaihi wasallam yakni Maria Qibtiyah, Nabi SAW memperoleh anak laki-laki bernama Ibrahim. Hanya saja, putranya itu wafat saat berusia belasan bulan.

Di antara cara Rasulullah SAW dalam mendidik setiap buah hatinya ialah memperkenalkan tauhid sedari dini. Dengan begitu, di dalam diri mereka akan tumbuh sifat tunduk dan pasrah terhadap Allah SWT. Nabi SAW bahkan mengajarkan tauhid kepada anak-anaknya sebelum risalah kenabian datang kepadanya.

Setelah beliau diangkat menjadi utusan Allah, anak-anaknya pun kian patuh dan berbakti. Mereka memahami betul bahwa perintah ayahnya berasal dari wahyu Rabb. Sebagai contoh, ketika diperintahkan untuk hijrah mengikuti suaminya, Utsman bin Affan, ke Habasyah, Rukayyah menjalani dengan setulus hati dan kesabaran. Anak-anak Nabi SAW juga tegar saat menyertai dakwah Islam yang penuh rintangan selama di Makkah pada masa pra-hijrah ke Yastrib (Madinah). Mental yang kuat itu ditunjang oleh keyakinan tauhid yang mengakar di dalam sanubari mereka.

Setelah menanamkan jiwa tauhid, hal berikutnya adalah melibatkan anak-anak dalam kajian keilmuan agama. Saat sudah hijrah ke Madinah, Rasul SAW menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas sosial kaum Muslimin. Di sanalah beliau menyelenggarakan shalat, majelis ilmu, dan perbagai kegiatan lainnya terkait maslahat umat. Majelis Rasulullah SAW terbuka bagi siapapun, termasuk kaum perempuan. Putri-putri Nabi SAW sering mengikuti kajian yang diselenggarakan di Masjid Nabawi.

Membiasakan anak-anak menghadiri kajian ilmu tentu mensyaratkan adanya kecintaan dari diri orang tua sendiri terhadap thalab al-‘ilm. Jangan sampai orang tua enggan meluangkan waktu untuk mengajak seluruh anggota keluarga menyimak kajian-kajian agama.

Salah satu bentuk pendidikan bagi anak-anak adalah teguran. Ketika mereka berbuat kesalahan, orang tua mesti mengingatkannya dengan cara-cara yang baik. Sebagai contoh, ketika Rasulullah SAW melihat putrinya, Fatimah, mengenakan kalung emas. Nabi SAW menyiratkan rasa tidak suka di wajahnya. Fatimah yang menyadari hal itu segera pamit, untuk kemudian menjual kalung emas itu. Uang hasil dari penjualan dibelikannya seorang budak, tetapi hanya untuk dimerdekakan. Begitu kembali kepada sang ayah, Fatimah menjelaskan keadaannya sekarang. Nabi SAW menunjukkan raut wajah gembira.

Tampak bahwa Rasulullah SAW mengoreksi perilaku anaknya tanpa perlu berkata kasar, marah-marah, apalagi sampai menggunakan kekerasan fisik. Di sisi lain, Fatimah sebagai anaknya juga memiliki kepekaan terhadap suasana hati orang tuanya. Mengapa bisa demikian? Menurut Azizah Hefni, Fatimah sejak kecil dididik oleh ayahnya untuk bersikap patut. Seorang anak hendaknya sejak dini dibimbing untuk memilah dan memilih perbuatan yang baik, bermanfaat, dan adil. Bila seorang anak sudah terbiasa memiliki rasa malu untuk berbuat salah, maka harapannya di tengah masyarakat nanti dia akan enggan melakukan segala hal yang bertentangan dengan norma-norma.

Pada akhirnya, kasih sayang dapat menjadi cara efektif untuk mendidik anak. Rasul SAW mencontohkannya. Beliau mengucapkan salam terlebih dulu saat lewat di hadapan anak-anak. Rasulullah SAW bahkan ikut bermain, berbagi makanan, mencium, dan menggendong anak-anak.

Dikisahkan oleh Ibnu Umar, sebagaimana riwayat Bukhari, Rasulullah SAW sedang bersama sekelompok orang dewasa. Di tempat yang sama, ada juga Ibnu Umar yang kala itu masih anak-anak. Nabi SAW lantas mengajak mereka, termasuk Ibnu Umar, untuk bermain tebak-tebakan.

Rasul tidak pernah membiarkan anak-anak terabaikan. Karena itu, beliau membolehkan jamaah untuk mengajak anak-anak hadir dalam majelis atau perayaan yang dibolehkan syariat.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement