Sabtu 15 Jun 2019 00:05 WIB

Demam Uniqlo Kaws dan Gila Belanja ala Kaum Muda

Fenomena gila belanja ala kaum muda sebenarnya adalah endemik global.

Ichsan Emrald Alamsyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh  Ichsan Emrald Alamsyah*

"Medsos adalah Kunci," kata-kata itu terngiang dalam alam pikiran penulis sepekan lalu.

Kegilaan bagaikan menonton konser terjadi di depan gerai pakaian asal Jepang, Uniqlo. Ketika itu penulis datang ke mal sebagai pengunjung bukan jurnalis. Begitu sampai di depan gerai milik Tadashi Yanai, penulis melihat sekumpulan orang mengantri masuk. Mereka, sebagian besar kaum muda entah generasi Z atau milenial, mengantri untuk masuk dan kemudian kegilaan dimulai ketika gerai tersebut dibuka.

Mereka berhamburan masuk untuk mengambil salah satu karya di toko tersebut. Penulis memang layak menyebutnya karya karena produk yang sedang digilai pengunjung adalah kolaborasi Uniqlo dengan seniman grafis Brian Donnely yang memiliki nama panggung Kaws. Apalagi berdasarkan celotehan para pengunjung yang saling tarik menarik kaus itu, rilisan terbaru ini adalah kolaborasi terakhir Kaws dengan Uniqlo. Bahkan, kejadian lebih mirip penjarahan Mei 1998 daripada proses jual beli terjadi di gerai Uniqlo Summarecon Mall Bekasi.

Ada dua tipe pengantri Uniqlo siang itu. Pertama adalah mereka yang mengetahui dan siap mengoleksi karya Kaws yang umumnya tak terjangkau. Penulis menyebut tak terjangkau karena memang saat ini karya-karya Brian Donnely bisa dihargai hingga miliaran. Sebagai seniman, ia amat disambut luar biasa dengan Companion (parodi dari ikon Disney Mickey Mouse) raksasa di Art Basel Hongkong. Terakhir, jenama Dior menggandeng Kaws kala melahirkan koleksi pakaian pria. Sehingga angka Rp 200 ribu sebenarnya amat murah bagi karya Kaws.

Kedua adalah mereka yang tak peduli dengan Kaws, tapi lebih kepada pundi-pundi uang yang didapat. Saat ini salah satu pekerjaan paling mudah namun menghasilkan uang adalah menjadi reseller.

Mereka meyakini produk Uniqlo x Kaws akan memiliki harga berlipat. Kaum muda akan menjadi kaus-kaus ini sebagai cinderamata apalagi amat cocok di tampilkan di media sosial mereka.

Ternyata emang benar, harga kaus tersebut langsung melonjak hampir dua kali hingga tiga kali lipat ketika para reseller ini menjualnya lewat ecommerce atau medsos mereka. Bahkan ketika disebut produk ini takkan diproduksi lagi harganya menjadi berkali lipat.

Kedua hal tersebut ditambah demam Kaws sebelumnya di Cina yang tersebar lewat media sosial mendorong belanja gila ala remaja itu. Belum lagi promosi gila-gilaan si pemilik merek melalui media sosial dengan menggandeng para influencer.

Fenomena global

Fenomena belanja gila ala kaum muda ini sebenarnya adalah endemik global. Endemik ini lahir ketika streetwear, sebuah gerakan fesyen, yang berasal dari gaya skater, hiphop, seniman jalanan dan pecinta selancar air, muncul di permukaan.

Seperti Agustus tahun lalu, ketika orang tak lagi melirik koran, New York Post habis dalam waktu  tak sampai satu jam di pagi hari. Alasannya ternyata karena di hari itu New York Post melakukan kolaborasi dengan jenama Supreme.

Hanya karena tertempel tulisan Supreme di depan koran New York Post seorang anak muda, di kutip dari Newyorkpost membeli 50 eksemplar dari sebuah kios. Sang penjaga mengatakan bahkan sang anak muda tak membaca isinya dan meminta lebih dari 50 eksemplar.

Tak hanya itu, budaya reseller dan streetwear menghasilkan lipatan angka uang yang tak masuk akal. Supreme menjual batu bata senilai 30 dolar AS, dan kemudian di jual kembali dengan angka 150 dolar AS alias lima kali lipat.

Bagaimana dengan Indonesia, penulis menilai sama saja. Karena balik lagi, Medsos adalah kunci. Apalagi Indonesia akan menerima ledakan angka demografi kaum muda yang saat ini telah berjalan hingga 2035.

Artinya Indonesia akan dipenuhi oleh generasi milenial, generasi Z dan generasi selanjutnya. Ini adalah sebuah kesempatan besar sebenarnya bagi negeri ini untuk berkembang.

Alasannya, berdasarkan paparan Brand Manager Christian Dior Couture, dalam 'Luxury Business: How Heritage Brand Facing The Truth of Millenials', disebutkan sejumlah survei, 45 persen pasar global untuk barang bermerek akan didominasi oleh generasi millenial pada tahun 2025. Bahkan di 2016 generasi Z dan milenial telah berbelanja produk high-end hingga nilai 280 miliar dolar AS. Atau, saya katakan sekali lagi atau, negeri dengan triliunan per putaran uang tiap harinya dibelanjakan generasi muda hanya akan tetap jadi pasar seperti pada umumnya.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement