Selasa 04 Jun 2019 16:48 WIB

Kala Sepak Bola Kian Kikis Islamofobia di Inggris

Berkat prestasi para pesepak bola Muslim, fan di Inggris lebih akrab dengan Islam.

endro yuwanto
endro yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)

"Tak ada masalah soal puasa para pemain Liverpool. Saya menghormati agama mereka. Mereka selalu menakjubkan dan memberikan yang terbaik, baik berpuasa atau tidak. Ada hari-hari ketika Sadio Mane atau Mohamed Salah masuk ke ruang ganti karena mereka harus beribadah. Dalam hidup ini, ada hal yang lebih penting daripada sepak bola."

Pernyataan juru taktik Liverpool, Juergen Klopp, menjelang final Liga Champions 2018/2019 yang mempertemukan dua klub sesama Inggris, Liverpool kontra Tottenham Hotspur, di Stadion Wanda Metropolitano, Madrid, Ahad (2/6) dini hari WIB, itu mencerminkan bahwa penghormatan dan toleransi terhadap pesepak bola Muslim kian menjadi lumrah di sepak bola Inggris.

Kedatangan Mohamed Salah, pesepak bola Muslim asal Mesir, ke Liverpool pada awal musim 2017/2018 langsung mencuri perhatian para suporter di Anfield. Bahkan, nama Salah menggaung terus di kawasan Merseyside.

Fenomena Mohamed Salah bersama Liverpool menggiring para fan menyerukan nyanyian lagu khusus untuk Salah. Bahkan, nyanyian ingin menjadi seorang Muslim ada dalam senandung tersebut. Meski bisa dikatakan bukan hal sesuatu yang serius, menjadi menarik dalam konteks pandangan warga Inggris terhadap kaum Muslim.

Tak hanya Liverpool, Federasi Sepak Bola Inggris (FA) juga tak main-main dalam menghormati para pemain Muslim. Belum lama ini, FA mengambil langkah berani demi menghormati beberapa pemain Muslim, seperti Mohamed Salah, Riyad Mahrez, Sadio Mane, dan Paul Pogba.

FA memutuskan mematahkan tradisi lama yang telah berlangsung bertahun-tahun dalam hal perayaan kemenangan demi kenyamanan para pemain Muslim. FA memilih untuk mematahkan tradisi perayaan kemenangan menggunakan sampanye beralkohol yang dilarang dalam Islam.

Meski jumlahnya belum terlalu banyak, pemain Muslim kini sudah hampir merata di setiap klub. Ada sekitar 50 pemain Muslim yang tampil di klub-klub Liga Primer Inggris. Total, sudah ada 666 pemain yang didaftarkan 20 klub peserta di semua ajang domestik di Liga Inggris.

Untuk kali pertama dalam sejarah, acara buka puasa bersama bertajuk 'Open Iftar 2019' juga dihelat di salah satu tempat ikonik dalam dunia sepak bola dunia, yakni Stadion Wembley, London, Inggris, pekan ini. Tak hanya itu, untuk kali pertama suara azan terdengar di depan stadion berkapasitas 90 ribu bangku penonton.

Tujuan Open Iftar 2019 adalah untuk memperkenalkan kepada publik tentang bulan Ramadhan dan segala hal mengenai agama Islam. Acara Open Iftar pun diadakan di tempat-tempat berbeda selama bulan Ramadhan. Khusus untuk acara buka puasa bersama yang berlangsung di Stadion Wembley, pihak penyelenggara telah bekerja sama dengan FA.

Pada final Liga Champions 2018/2019 yang dimenangkan Liverpool dengan skor 2-0, terdapat enam pemain beragama Islam yang ternyata masih menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan pada saat kick-off pukul 21.00 waktu Madrid. Waktu shalat di Madrid menunjukkan saat berbuka puasa atau azan Maghrib jatuh pukul 21.44 waktu setempat.

Pemain Muslim dari kubu Tottenham adalah Moussa Sissoko dan Serge Aurier. Di kubu Liverpool, ada Mohamed Salah, Sadio Mane, Xherdan Shaqiri, dan Naby Keita yang tak tampil karena cedera.

Ulama Inggris Ajmal Masroor sebelumnya memberikan saran kepada para pemain Muslim agar tetap menjalankan ibadah puasa di final Liga Champions 2018/2019. Masroor menyatakan, puasa Ramadhan tidak akan menghancurkan karier pemain sepak bola. Doa-doa orang berpuasa pun bakal didengar lebih cepat oleh Allah SWT.

Anggota Dewan Muslim Inggris itu menegaskan bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban. Masroor pun meyakinkan bahwa menjalani puasa tidak akan membahayakan penampilan para pemain di lapangan. Tak heran, bila Mohamed Salah dan Mane dikabarkan masih berpuasa dan kemudian berbuka saat laga final yang dimenangkan klubnya tersebut.

Tak dimungkiri, Islamofobia di belahan dunia Barat memang sempat menjadi gejala umum, termasuk di Inggris. Korbannya pun bukan hanya umat Muslim, tetapi juga orang yang memiliki ciri-ciri fisik atau pun pakaian yang sering diasosiasikan dengan kaum Muslim.

Sikap Islamofobia ini merupakan reaksi atas sejumlah serangan teroris yang menimpa Inggris dalam beberapa waktu lalu, yaitu di London pada Juni 2017 dan pengeboman saat konser musik di Manchester pada Mei 2017. Bahkan, media ternama Aljazirah melaporkan, akibat insiden tersebut, kebencian dan anti-Muslim di Inggris semakin menjamur dan mengakar begitu kuat.

Muslim di Inggris berusaha terus-menerus melakukan perlawanan terhadap Islamofobia. Meski begitu, kaum Muslim di sana sadar memerangi Islamofobia atau pun rasialisme membutuhkan semangat dan tekad yang besar.

photo
Mohamed Salah

Adapun yang dilakukan Mohamed Salah bersama Liverpool tanpa sadar menjadikan contoh bagaimana menampilkan wajah lain Islam yang selama ini sering dianggap radikal oleh warga Inggris. Penyerang sayap berusia 26 tahun tak segan melakukan selebrasi sujud syukur di depan banyak orang di negara non-Muslim yang sedang diterpa Islamofobia demi mengucapkan rasa terima kasih kepada Allah atas pencapaiannya.

Sejak bergabung dengan Liverpool pada jendela transfer 2017, Mohamed Salah memberikan peran besar dalam pencapaian the Reds. Ia berhasil menjadi top skorer secara beruntun di Liga Premier Inggris dan berhasil mengantarkan Liverpool menjuarai Liga Champions 2018/2019.

Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan Lab Kebijakan Imigrasi di Inggris mengungkapkan, Mohamed Salah berhasil mencuri hati para pendukung di seluruh dunia. Penelitian itu juga menyatakan, Salah juga berperan dalam membantu mengurai dan menurunkan angka Islamofobia yang tinggi di Eropa, khususnya suporter di Merseyside.

Berdasarkan temuan, visibilitas Mohamed Salah sebagai pemain Muslim telah membantu mengurangi prasangka terhadap Muslim (jahat, kejam, dan teroris). Berkat Mohamed Salah dan para pemain Muslim lainnya, penggemar menjadi lebih akrab dengan Islam. Peneliti juga menyimpulkan pancaran positif itu dapat membantu menekan kelompok yang tersetigma agar lebih humanis.

Direktur Organisasi Perlindungan Muslim di Inggris, Tell Mama, Imam Atta mengatakan, Mohamed Salah menjadi salah satu representasi pesepak bola Muslim yang pantas untuk dikagumi. Model peran seperti Mohamed Salah adalah kunci dalam perjuangan melawan kebencian dan rasisme.

Kekaguman para fan klub sepak bola terhadap pemain-pemain andalannya yang beragama Islam mungkin terkesan sepele. Namun demikian, sulit pula untuk membantah bahwa kebanggaan tersebut memiliki efek mendalam pada persepsi media massa terhadap kaum Muslim secara umum.

Kesan yang lebih positif terhadap umat Islam di Inggris tentu tidak lepas dari pengaruh besar para pesepak bola Muslim di atas lapangan hijau yang mampu menggetarkan hati serta menginspirasi para penikmat maupun stakeholder dari industri sepak bola yang bernilai miliaran poundsterling.

Di media sosial, para pesepak bola Muslim itu tidak jarang mem-posting foto diri yang sedang membaca Alquran di dalam bus ketika menuju lapangan pertandingan, atau berpose di tanah suci Makkah ketika menjalankan ibadah umrah, atau pun mengucapkan selamat saat Hari Raya Idul Fitri. Di sini bisa disaksikan bagaimana sepak bola berperan besar dalam menghilangkan sikap prejudice, negative thinking, dan Islamofobia di daratan Inggris.

*) Jurnalis Republika Online

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement