Kamis 16 May 2019 01:41 WIB

Ketika Klub-Klub Inggris Begitu Mendominasi Kompetisi Eropa

Dominasi klub Liga Inggris di kompetisi Eropa agaknya masih berlanjut musim depan.

endro yuwanto
endro yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)

Industri sepak bola Inggris kian lama kian membesar saja, bahkan beberapa tahun terakhir disebut-sebut sebagai liga sepak bola profesional terbaik dan terbesar di dunia. Penyebutan itu kian sahih jika melihat sepak terjang klub-klub Liga Primer Inggris di kompetisi Eropa.

Musim ini, empat klub Inggris, Liverpool, Manchester City, Arsenal, dan Chelsea mendominasi kompetisi Benua Biru. Duel final Liga Champions mempertemukan Tottenham Hotspur kontra Liverpool di Wanda Metropolitano, Madrid, Spanyol pada Ahad, 2 Juni 2019. Sementara, dua klub London, Chelsea dan Arsenal, akan saling bentrok di final Liga Europa di Olympic Stadium, Baku, Azerbaijan, pada Kamis, 29 Mei 2019.

Dominasi klub Liga Primer Inggris di Liga Champions agaknya masih akan berlanjut musim depan lewat Manchester City, Liverpool, Tottenham Hotspur, dan Chelsea. Arsenal juga berpeluang mewakili Inggris di Liga Champions jika menjadi juara di Liga Europa. Jika Arsenal gagal juara di Liga Europa musim ini, maka the Gunners akan mendampingi Manchester United di Liga Europa musim depan. Watford dan Wolves juga masih berpeluang lolos ke Liga Europa dengan syarat-syarat tertentu.

Kepastian empat klub Liga Inggris melaju ke final musim ini juga membuat dominasi klub-klub Spanyol di Eropa terhenti. Sebab, sejak sejak tahun 2014, tim-tim Negeri Matador selalu menjadi juara di Liga Champions, Liga Europa, Piala Super Eropa, dan juga Piala Dunia Antarklub, lewat Real Madrid, Barcelona, Atletico Madrid, dan Sevilla.

Pengecualian di Liga Europa 2017 saat Manchester United menjadi juara. Kali terakhir klub Spanyol gagal ke final Liga Champions atau Liga Europa di musim 2012/2013. Saat itu, klub Jerman Bayern Muenchen juara Liga Champions dan Chelsea juara Liga Europa.

photo
Logo Liga Primer Inggris

Industri sepak bola di Inggris memang sudah sejak 20 tahun terakhir begitu mengemuka. Salah satu indikatornya, para pemain dan pelatih terbaik di dunia dari mancanegara yang terus berdatangan ke Liga Inggris. Begitu pula investornya, dari Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, sampai Rusia.

Untuk mempertegas peran asing di Liga Primer Inggris saat ini adalah kehadiran Pep Guardiola dari Spanyol sebagai pelatih di Manchester City. Guardiola sudah dua musim terakhir mengantar City juara Liga Primer.

Lima klub teratas di Liga Primer saat ini ditangani pelatih asing; Guardiola, Juergen Klopp dari Jerman yang menangani Liverpool, Maurizio Sarri dari Italia yang memoles Chelsea, Mauricio Pochettino dari Argentina yang melatih Spurs, dan Unai Emery dari Spanyol yang mengasuh Arsenal. Belum lagi pelatih level dunia dengan reputasi hebat yang pernah hilir-mudik di Liga Inggris belakangan ini, seperti Jose Mourinho, Antonio Conte, Claudio Ranieri, Roberto Mancini, Louis van Gaal, dan yang lainnya.

Salah satu teori yang diajukan tentang kesuksesan Liga Inggris tentu saja adalah uang yang berlimpah. Kombinasi penghasilan dari hak siar televisi, penonton yang memadat, serta pemasaran merchandise global membuat Liga Primer Inggris berlimpah uang. Dengan uang itu, Liga Inggris bisa menyewa pemain bagus dan pelatih hebat sehingga pada akhirnya bisa mendominasi Liga Champions dan Liga Europa.

Juru taktik Manchester City Pep Guardiola mengakui Liga Inggris terlihat lebih baik karena mampu dikemas sedemikian rupa dan punya cara menjual liga yang sangat menarik, serta penjadwalan tayangan televisi jauh lebih baik dibandingkan yang lain.

Adapun menumpuknya pemain dan pelatih asing hebat ini juga mempunyai dua efek yang menguntungkan, setidaknya dalam logika. Satu, meningkatkan mutu kompetisi lokal dan yang kedua karena mutu di tingkat lokal meningkat, maka bersaing dengan klub dari negara lain juga menjadi hal lumrah dan mungkin mudah. Walau pengritik mengatakan terlalu banyak pemain asing menghambat munculnya pemain lokal yang bagus.

Namun demikian, pelatih timnas Inggris, Gareth Southgate, menganggap dominasi klub Liga Inggris di ajang Liga Champions dan Liga Eropa musim ini justru menjadi kondisi bagus bagi para pemain muda Inggris. Southgate yakin tekanan besar di kompetisi elite Eropa yang dirasakan para talenta muda Inggris, secara tidak langsung akan berdampak positif di level timnas nanti. Southgate tak sedang mengada-ngada, para pemain muda Inggris sudah terbukti mampu menembus semifinal Piala Dunia 2018 Rusia.

Indonesia pun sepertinya meyakini kiblat sepak bola telah kembali ke Inggris. Lihat saja Garuda Select, program hasil kerja sama PSSI dengan SuperSoccer TV sejak tahun ini yang menimba ilmu di daratan Inggris. Garuda Select berisikan mayoritas pemain timnas U-16 Indonesia tahun lalu besutan Fakhri Husaini. Beberapa lainnya berasal dari kompetisi Elite Pro Academy Liga 1 U-16 2018.

Inggris memang bisa dikatakan telah mendominasi Eropa menggesar La Liga Spanyol dan Serie A Liga Italia yang sejak tahun 1990-an mendominasi babak akhir kompetisi Eropa selama sepuluh tahun dari 1988-1999. Saat Serie A mendominasi, Indonesia pun sempat berkiblat di sana lewat program paling terkenal hingga sekarang, yakni PSSI Primavera dan Baretti di tahun 1993 sampai 1996 dengan mengirim bakat-bakat muda ke Italia.

Apapun itu, dominasi sebuah negara di sepak bola sepertinya bisa berpindah tangan dan kadang berpola. Era ini mungkin Liga Inggris berjaya, tapi beberapa dekade ke depan bisa saja dominasi itu pindah ke negeri lain, bisa kembali ke Italia, Spanyol, atau mungkin Jerman dan Prancis.

Namun demikian, semua itu tentu lahir lewat proses yang tak sederhana. Industri sepak bola di Inggris pun sudah lama tersusun rapi dalam sebuah struktur piramida kompetisi, yaitu dari Liga amatir, Liga Dua, Liga Satu, Championship, sampai ke puncak, Liga Primer.

Sepak bola Inggris berkibar berkat kompetisi yang rapi, ketat, dan sehat. Bukan sekadar mengirim bakat-bakat muda ke kiblat sepak bola atau pun menaturalisasi pemain asing. Dan kini, Inggris pun telah memetik hasilnya.

*) Jurnalis Republika Online

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement