Senin 13 May 2019 13:06 WIB

Guru Impor atau Mengundang Instruktur Luar Negeri?

Pemerintah diminta menyejahterakan guru honor terlebih dulu.

Ilustrasi guru honorer
Ilustrasi guru honorer

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani belum lama ini mengungkapkan gagasan untuk mengundang guru dari luar negeri untuk mengajar di Indonesia. Pernyataan tersebut berkembang menjadi gagasan `guru impor' dan menuai kontroversi karena guru asing dianggap akan menggantikan guru lokal mengajar di kelas. Namun, gagasan tersebut dibantah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Menteri Pendidikan dan Kebu dayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, guru yang didatangkan dari luar negeri bertujuan untuk melatih guru-guru maupun instruktur yang ada di Tanah Air. "Salah satu pertimbangan Menko PMK Puan Maharani dengan mendatangkan instruktur atau guru dari luar negeri untuk meningkatkan kemahiran instruktur atau guru Indonesia, juga bisa lebih efisien daripada mengirim instruktur atau guru Indonesia ke luar negeri," ujar Muhadjir, Ahad (12/5).

Muhadjir menjelaskan, yang dimaksud Menko Puan bukan `mengimpor', melainkan mengundang guru atau instruktur luar negeri untuk program Training of Trainers atau ToT. Instruktur luar negeri itu tidak hanya untuk sekolah, tetapi juga untuk lembaga pelatihan yang berada di kementerian lain, misalnya, Balai Latihan Kerja atau BLK.

"Sasaran utamanya adalah untuk peningkatan kapasitas pembelajaran vokasi di SMK juga pembelajaran science, technology, engineering, and mathematics(STEM)," lanjut Muhadjir.

Namun demikian, kata Muhadjir, pengiriman guru ke luar negeri untuk kursus jangka pendek juga tetap dilakukan. Mendikbud berharap, program tersebut tetap berlanjut setelah dikirim sebanyak 1.200 guru ke luar negeri. "Sehingga, target pengiriman guru kursus ke luar negeri sebanyak 7.000 guru tahun ini bisa tercapai," kata Muhadjir.

Rencana mengundang guru atau pengajar dari luar negeri mendapat protes dari Ikatan Guru Indonesia (IGI). Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim mengatakan bahwa pihaknya bingung dengan rencana yang diungkapkan Menko PMK Puan Maharani tersebut.

Menurut Ramli, `impor guru' atau mengundang pengajar dari luar negeri tidak tepat di tengah banyaknya guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun, tapi tidak mendapat upah memadai. "Pemerintah lebih baik menyejah terakan guru honorer jika memang memiliki banyak dana," ungkap Ramli, Ahad.

Tidak hanya itu, Ramli juga mengungkapkan bahwa guru Indonesia memiliki potensi cukup baik dalam hal mengajar. Akan tetapi, banyak guru memang dibebani kurikulum dan administrasi yang berat, sehingga sibuk dengan banyak hal yang sejatinya tak perlu dilakukan.

Kemudian, lanjut Ramli, guru impor tidak akan bisa bekerja maksimal dengan ikatan kurikulum yang saat ini diterapkan. Pasalnya, mereka akan mengalami kendala bahasa, sehingga hal tersebut menjadi permasalahan besar. "Persoalan lainnya adalah maukah mereka para guru luar negeri ini mengajar di daerah terluar atau terpencil di Indonesia," kata Ramli.

Ramli juga mengaitkan guru impor dengan kondisi pendidikan di dalam negeri. Ramli memaparkan, berdasarkan data yang termuat di majalah Diktivolume 3 tahun 2013, ternyata jumlah Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) saat itu ada 429 lembaga, terdiri atas 46 LPTK Negeri dan 383 LPTK Swasta. Jumlah mahasiswa keseluruhannya mencapai 1,44 juta orang.

Hal ini, menurut Ramli, menjadi kenaikan yang sangat mengejutkan karena pada 2010 jumlah LPTK hanyalah sekitar 300 institusi. Artinya, ada kenaikan lebih dari 100 LPTK dalam jangka waktu hanya tiga tahun atau ada penambahan sekitar 30 LPTK setiap tahun atau tiga lembaga setiap bulan. "Jadi, setiap 10 hari muncul sebuah LPTK baru, tentu saja statistik ini langsung mematahkan asumsi bahwa minat menjadi guru itu rendah," kata Ramli.

Tak hanya itu, dengan jumlah mahasiswa 1,44 juta, diperkirakan lulusan sarjana kependidikan adalah sekitar 300 ribu orang per tahun. Padahal, kebutuhan akan guru baru hanya sekitar 40 ribu orang per tahun. Dengan demikian, akan terjadi kelebihan pasokan yang sangat besar.

Kemudian, 429 LPTK penghasil guru ini juga mendapat suntikan anggaran negara yang tidak kecil. Kemendikbud juga memiliki 34 LPMP yang merupakan mantan Balai Pelatihan Guru (BPG), tapi malah berpikir untuk melakukan impor guru.

"Jadi, daripada melakukan impor guru, lebih baik dosen-dosen LPTK itu diganti semuanya sama dosen luar negeri biar mampu menghasilkan guru-guru terbaik jika asumsinya orang luar negeri lebih baik dari kita," ujar Ramli. (rizkyan adiyudha/antara ed:nora azizah)

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement