Kamis 25 Apr 2019 09:51 WIB

Ketika Anies Tak Sudi Lihat Jan Pieterszoon Coen di Batavia

Anies berusaha membangun Jakarta lebih ramah dan tidak kapitalis ala era kolonial.

Orang kaya dan kulit putih berpakansi di Lapangan Banteng pada zaman kolonial.
Foto: wikipedia
Orang kaya dan kulit putih berpakansi di Lapangan Banteng pada zaman kolonial.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Sahabat saya seorang jurnalis senior yang  tinggal di kawasan Jakarta Barat, Teguh Setiawan, tersenyum cerah ketika mendengar keputusan Gubernur Anies Baswedan yang membebaskan pajak tanah bagi rumahnya yang mungil. Dia makin bahagia ketika tahu para pensiunan guru dan militer, mantan presiden dan wakil presiden, para penerima tanda kehormatan negara tak perlu membayar pajak rumahnya. Apa yang dahulu dilakukan oleh Basuki Tjahja Purnama kini cakupannya diperluas oleh Anies.

‘’Selamatlah rumah keluarga saya yang tanahnya tak luas dan dimiliki beramai-ramai. Lebih penting lagi kebijakan ini sangat penting sebagai upaya agar Jakarta (Batavia) tidak makin menjadi kota kapitalis kayak zaman VOC yang isinya hanya untuk orang kaya. Celakanya bila dibiarkan budaya Betawi sebagai kazahan penduduknya pun akan ikut lenyap. Rakyat biasa lainnya jadi seperti barang gebahan,’’ katanya.

Sebagai anak keturunan Kampung Kwitang, dia melihat akhir-akhir ini memang Jakarta yang menjadi tanah moyangnya orang Betawi makin terlihat layaknya zaman VOC. Kawasan elit tertentu terus tumbuh. Hunian mahal seperti Menteng, Pluit, Kebayoran, cenderung dimiliki oleh orang berduit dan homogen.

‘’Saya memang sempat membayangkan bila Jakarta sekarang lama kelamaan mirip kota Batavia yang dibangun gubenur Jendral Belanda, Jan Pieterszoon Coen, pada zaman kolonial beratus tahun lalu. Kala itu Batavia adalah kota di dalam tembok ’citadel’ (benteng) berbentuk persegi yang dibangun dari kawasan kota hingga bundaran Bank Indonesia. Nah,  setelah benteng tak ada, batas kotanya berupa tol lingkar luar. Kawasan di dalam tol saya sebut sebagai Jakarta, kawasan di luarnya adalah luar kota. Jadi gambaran tembok benteng, kalau terus dibiarkan nantinya kota ini isinya persis ala penduduk Batavia yang terdiri dari orang kaya dan para pengemis, gelandangan. dan tukang pulung rongsokan. Jadi persis sama zaman Belanda,’’ katanya.

photo
Lukisan benteng (citadel) di Batavia di zaman awal kolonial. (gahetna.nl).

Selebihnya bila melihat catatan arsip, kota Batavia dalam zaman kolonial kala itu sempat terdeteksi dihuni 25.000 orang. Komposisinya terdiri 15 ribu orang Cina, 5000 budak, dan 3000 Belanda. Sisanya orang Arab, Melayu, Moor. ’’Dan ingat lagi kota Batavia kala itu juga dipenuhi gundik (nyai) dan para blasteran. Lebih celaka lag Batavia kala itu juga punya pasar budak yang orangnya diambil dari berbagai daerah seperti Bali, Ambon, Cirebon, dan lainnya. Pasar Budak itu ada di depan Toko Merah yang ada kawasan kota sekarang,’’ kisahnya.

Pada catatan sejarah lainnya, sebelum masa Batavia dan sebelum benteng kota berdiri, ketika kawasan itu masih bernama Jayakarta, tanah Betawi masih sedikit didiami penduduk. Banyak tanah kosong dan hutan belantara terdapat di sana. Namun sejak diambil alih oleh VOC, pembangunan giat dilaksanakan, terutama di sekitar pesisir atau pelabuhan. Akibatnya pada abad ke-18 Batavia menjadi salah satu kota paling ramai dan sibuk di dunia. Banyak penduduk bekerja dan kemudian menetap di sini.

Memang tidak ada data resmi dan akurat mengenai jumlah penduduk Batavia pada abad ke-18 itu. Hanya diperkirakan 30.000 jiwa, bahkan hingga 100.000 jiwa sebagaimana laporan Valentijn. Mereka bertempat tinggal di dalam dan di luar benteng.

photo
Gubernur Jendral Hindia Belanda, Jaan Pieterszoon Coen, (1587-1629). Gubernul inilah yang mulai membangun kota Batavia yang dikelilingi benteng.

Mengutip catatan sejarah lainnya, misalnya yang ditulis pemerhati sejarah dan budaya, Djulianto Susantio, juga membenarkan situasi Batavia kala zaman kolonial itu. Ditinjau dari komposisi penduduk, mereka terdiri atas berbagai bangsa dan suku bangsa. Kajian sejarah ini mengatakan selama periode kolonial ini, ras dan agama merupakan dasar terpenting dalam pelapisan sosial, alokasi pekerjaan, dan berbagai kesempatan lainnya.

''Sejarawan Milone (1975) mengelompokkan penduduk dan masyarakat kota Batavia menjadi lima golongan. Pertama, orang-orang Eropa, termasuk para pejabat VOC. Kedua, warga kota merdeka, terdiri atas Vrijburger, Eurasian, Mardijker, Papanger, orang Jepang, orang Indonesia Kristen, dan beberapa orang Afrika. Ketiga, orang Cina, Arab, dan India. Keempat, orang Melayu. Kelima, orang Indonesia non-Kristen,'' tulisnya.

photo
Para nyai (gundik) di Batavia. (gahetna.nl

Dan yang dimaksudkan dengan orang Eropa adalah orang-orang Eropa yang dilahirkan di Eropa dan di luar Eropa yang menetap di Batavia. Umumnya, orang-orang Eropa yang dilahirkan di luar Eropa tidak menduduki posisi tinggi dalam struktur VOC dibandingkan orang-orang Eropa yang dilahirkan di Eropa. Termasuk ke dalam golongan ini adalah orang-orang Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan Portugis.

Istilah vrijburger (warga merdeka) mengacu pada sekelompok masyarakat Eropa yang tidak bekerja pada VOC, namun terikat oleh peraturan-peraturan tentang pertahanan militer. Eurasian sering disebut mestizo dan populer dengan istilah indo. Istilah ini dipergunakan untuk menyebut kelompok masyarakat yang dilahirkan oleh ibu Asia dan ayah Eropa. Namun dalam sejumlah kepustakaan, kedua istilah sering dibedakan. Mestizo untuk menyebut peranakan dari ayah Eropa, sementara eurasian atau indo adalah peranakan dari ayah Belanda.

Sedangkan, bila ditinjau dari kebangsaan, setelah Eropa yang menduduki status sosial di bawahnya adalah orang Timur Asing. Di antara orang-orang Timur Asing, orang Cina terbanyak jumlahnya. Di Batavia mereka merupakan golongan terpenting setelah bangsa Belanda karena memberikan kontribusi besar di bidang perekonomian. Pada 1766 jumlah orang Cina di Batavia mencapai 2.518 orang (di dalam benteng) dan 24.157 orang (di luar benteng).

Alhasil, apa yang dilakukan Gubernur Anies sekarang adalah mencoba mengembalikan Jakarta yang ramah, Jakarta yang tidak terlalu bermuka kapitalis. Apa yang dikatakannya bahwa Jakarta harus menjadi kota yang indah dan membuat warganya hidup bahagia menjadi benar adanya.

Dalam hal ini Anies pun berusaha menjawab parodi dalam lagu Lenong Betawi: 'Pepesan Kosong' yang dinyanyikan Nirin Kumpul. Nah, kini setidaknya orang Betawi dan Jakarta tak boleh tersia-sia dengan hidup terus menerus dirundung penggusuran karena mereka rata-rata adalah orang dengan kemampuan ekonomi biasa.

Satire bernada cempreng Nirin dengan melagukan frase tentang negeri orang Betawi yang hilang diambil orangi: Di kota digusur, di Senayan digusur, di Kuningan digusur, Kebayoran digusur, encang digusus, encing digusur, dan seterusnya, memang harus dihentikan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement