Selasa 23 Apr 2019 07:32 WIB

Ini Darah Muda, Darahnya Para Kandidat Juara

Sebagian skuat Ajax yang ke semifinal Liga Champions bahkan belum berusia 22 tahun.

endro yuwanto
endro yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)

Kala hasil undian babak 16 besar Liga Champions 2018/2019 di markas Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA) di Nyon, Swiss, diumumkan pada, Senin 17 Desember 2018, Real Madrid dan sebagian kalangan menilai sang juara bertahan itu akan menghadapi calon lawan relatif mudah, wakil Belanda, Ajax Amsterdam. Apalagi berdasarkan catatan statistik, klub raksasa Spanyol itu sangat dominan setiap kali berjumpa Ajax di Liga Champions.

Pun ketika undian perempat final Liga Champions 2018/2019 di Nyon, Swiss, Jumat 15 Maret 2019. Meski sudah membuat kejutan besar dengan menyingkirkan Real Madrid di babak 16 besar, Ajax tetap bukan tim yang diunggulkan saat hasil undian menempatkannya untuk berjumpa klub raksasa Italia, Juventus.

Tapi, Ajax justru membalikkan semua prediksi dan tampil sebagai pembunuh tim raksasa dalam Liga Champions 2018/2019 setelah mengalahkan Real Madrid dan Juventus pada fase gugur tersebut. Padahal Madrid, mantan klub Cristiano Ronaldo peraih lima kali gelar pemain terbaik dunia (Ballon d'Or), masih diperkuat sejumlah pemain bintang. Demikian pula dengan Juve yang kini dibela Ronaldo yang bermaterikan para pemain bintang.

Hebatnya, Ajax tampil di Liga Champions musim ini dengan jatah peringkat kedua Eredivisie Belanda musim lalu sehingga harus menjalani fase kualifikasi lebih dulu. Setelah lolos kualifikasi, potensi Ajax sebagai penghancur raksasa sudah terlihat sejak fase grup. Skuat asuhan Eric ten Hag menyulitkan klub raksasa Jerman, Bayern Muenchen, yang menjadi favorit juara grup. Dalam dua pertemuan, skor imbang selalu terjadi baik dalam laga kandang dan tandang.

Pada musim ini, skuat Ajax memiliki rata-rata usia 24 tahun. Andalan-andalan muda, seperti Matthijs De Ligt, Frenkie de Jong, Donny van de Beek, David Neres, dan Kasper Dolberg bahkan belum mencapai 22 tahun untuk berkolaborasi dengan pemain-pemain usia lebih matang, semacam Hakim Ziyech, Andre Onana, Lasse Schone, Dusan Tadic, Joel Veltman, dan Daley Blind. Kerja sama pemain-pemain tersebut di bawah polesan Ten Hag terbukti manjur membawa Ajax ke semifinal untuk kali pertama setelah 22 tahun.

Pada laga semifinal, Ajax akan menghadapi klub Inggris yang juga membuat kejutan, Tottenham Hotspur. Jika mampu mempertahankan performa, kemungkinan Ajax melaju ke final Liga Champions seperti pada musim 1994/1995 dan 1995/1996 bisa saja terulang.

Di kancah Eropa khususnya di Liga Champions, Ajax sebenarnya bukan tim sembarangan. Skuat De Joden pernah menggenggam trofi Si Kulit Bundar pada 1971, 1972, 1973, dan 1995.

photo
Ajax Amsterdam berhasil membekuk Real Madrid dengan skor 4-1 dalam laga babak 16 besar Liga Champions di Stadion Santiago Bernabeu, Rabu (6/3) dini hari WIB.

Reputasi Ajax di Eropa mencuat sejak 1965 silam atau kala Rinus Michels ditunjuk sebagai juru taktik Ajax. Pada tahun tersebut pula, tonggak awal munculnya filosofi Total Football di dunia sepak bola.

Bersama pesepak bola talenta luar biasa, Johan Cruyff, yang sudah bermain untuk Ajax setahun sebelumnya, Rinus Michels kemudian membuat Ajax tak hanya merajai kompetisi domestik, bahkan superioritas Ajax menjalar hingga ke Benua Eropa.

Setelah era Cruyff, Ajax terus menerbitkan pemain-pemain bintang level dunia. Mulai dari duo Denmark, Soren Lerby dan Frank Arnesen, pada tahun 1970-an, kemudian Danny Blind, Frank Rijkaard, Marco van Basten, dan Ronald Koeman pada 1980-an. Lalu, muncul nama-nama seperti Clarence Seedorf, Edgar Davids, dan Edwin van der Sar, di era akhir 1990-an. Hingga tahun 2000-an, saat Wesley Sneijder dan Rafael van der Vaart menjadi bintang lain yang diproduksi Ajax.

Keberhasilan untuk menelurkan pemain bintang tidak terlepas dari keberadaan De Toekomst atau akademi sepak bola milik Ajax. Seperti La Masia milik klub Barcelona, akademi Ajax hingga saat ini terus-menerus menghasilkan para pesepak bola berkualitas wahid.

Kemenangan di final Liga Champions 1995, semakin membuat nama De Toekomst melambung. Pasalnya, skuat yang kala itu ditangani Louis van Gaal berhasil keluar sebagai juara padahal hampir 90 persen berisikan pemain muda yang rata-rata berusia 23 tahun.

Frank dan Ronald De Boer, Clarence Seedorf, Edgar Davids, Edwin Van der Sar, Patrick Kluivert, Michael Reiziger, dan Winston Bogarde adalah para pemain akademi yang kemudian dipromosikan Van Gaal ke tim senior dan menjadi kekuatan inti. Ditambah talenta berbakat asing seperti Jari Litmanen, Finidi George, dan Nwanko Kanu. Pemain senior di tim tersebut kala itu hanyalah kapten tim Danny Blind, Frank Rijkaard, kemudian Peter van Vossen, dan kiper cadangan, Fred Grim. Para pemain inilah yang lantas menafsirkan filosofi taktik Van Gaal yang berakar pada gaya Total Football temuan Rinus Michels.

Van Gaal kala itu berpatokan, pesepak bola berusia muda, sekalipun minim pengalaman, punya sesuatu yang dibutuhkannya, yakni determinasi, rasa lapar, antusiasme, dan, paling penting, kepatuhan. Ia memoles anak-anak muda ini dengan nilai-nilai kolektivitas dan kedisiplinan. Baginya, sepak bola adalah olahraga yang dilakukan oleh 11 orang, bukan hanya satu atau dua pemain bintang. Tak ada yang mustahil bila masing-masing pemain saling memahami peran satu sama lain.

Pada rentang 1994-1995, Ajax kian tak dapat dibendung, menggondol trofi Si Kuping Besar untuk kali keempat, serta mendominasi liga tanpa tersentuh kekalahan dan mencetak 106 gol.

Seperti para pemain Ajax era sebelumnya, penampilan anak-anak muda ini seketika menarik perhatian klub besar di daratan Eropa. Para pilar inti Ajax kala itu, dari Davids, Reiziger, Finidi, Seedorf, Overmars, Van der Sar, sampai Kluivert, satu per satu meninggalkan Ajax untuk bergabung dengan klub lain di Eropa.

Bertahun-tahun kemudian, Ajax seperti mengulang pencapaian masa silam setelah berhasil menapaki babak semifinal Liga Champions. Pencapaian tersebut terasa istimewa karena sekali lagi Ajax mengandalkan para pemain muda. Satu per satu pemain Ajax kini juga diincar klub-klub besar Eropa. Sejauh ini Matthijs de Ligt menjadi yang paling diisukan didekati klub besar Eropa, sementara rekan setimnya, Frenkie de Jong, sudah pasti bergabung dengan Barcelona musim depan.

Pelatih Ajax Erik Ten Heg merasa wajar pihak klub menjual aset terbaiknya. Pasalnya, Ajax tidak seperti klub raksasa Eropa lain yang sanggup mempertahankan pemain yang tengah bersinar. Ten Heg pun tak ambil pusing karena Ajax sudah lama rajin mengembangkan bakat-bakat baru yang kemudian dijual demi meraih keuntungan finansial. Filosofi seperti ini tetap akan diterapkan Ajax pada musim-musim selanjutnya.

Ajax saat ini berpotensi merengkuh juara Liga Champions 2018/2019. Selain performa para talenta muda yang menjanjikan, Ajax musim ini juga telah menyingkirkan sang juara bertahan, Real Madrid, yang sebelumnya tiga musim berturut-turut menjadi jawara. Ini hampir mirip momen 24 tahun silam atau saat terakhir kali Ajax menyingkirkan juara bertahan kemudian mengangkat trofi Si Kuping Besar di akhir musim. Hal ini terjadi pada Liga Champions musim 1994/1995.

Kala itu, Ajax harus berhadapan dengan AC Milan yang berstatus juara bertahan pada partai puncak. Laga tersebut merupakan final ketiga AC Milan secara berurutan, prestasi yang sangat jarang bahkan hingga saat ini. Namun Ajax tampil mengejutkan bagi para bintang Milan dan unggul lewat gol Patrick Kluivert. Ajax mengakhiri laga dengan kemenangan 1-0 sekaligus meraih juara.

Jikapun nanti Ajax gagal melewati adangan Tottenham atau lolos ke final namun gagal juara, para pemain muda Ajax ini mungkin tak akan terlalu kecewa. Paling tidak, De Ligt dan rekan-rekannya sudah mampu memberikan bukti punya daya saing tinggi. Klub-klub besar Eropa yang kelak merekrut para pemain muda ini tentu berpotensi tetap bisa memenuhi ambisi para darah muda untuk menggenggam trofi juara.

*) Jurnalis Republika Online (www.republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement