Ahad 14 Apr 2019 13:29 WIB

Dulkamdi Majnun di Depan Ka'bah

Ketika pergi ke Makkah Dulkamdi malah menjadi orang bingung di sana.

Petugas haji dari unsur TNI-Polri mengantarkan jamaah haji tersesat.
Foto: Republika/Heri Ruslan
Petugas haji dari unsur TNI-Polri mengantarkan jamaah haji tersesat.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Sewaktu tinggal di Makkah beberapa tahun silam saya punya pengalaman dengan bapak Abdul Khamdi (lazim namanya di panggil Dul Khamdi). Saya temui dia di bilangan Misfalah. Saya tertawa-tawa mendengar ceritanya dengan bahasa 'medok' ciri khas Banyumas, Jawa Tengah. Kebetulan saya tahu sekali seluk beluk lokasi dan masyarakat di mana tempat tinggalnya. Kisahnya begini:

Dul Kamdi hanya bisa mendenguskan napas keras-keras. Keringatnya mengucur deras. Paru-parunya kini terasa somplak ketika harus menghela udara panas berdebu.Berulangkali dia terjatuh. Tubuh tuanya berkali-kali rebah seperti papan meteran yang tengah mengukur tanah.

Hidup sebagai warga baru sebuah kota oase di padang pasir berbatu seperti Makkah, memang tak terbayangkan akan dialami kakek asal Gandrung Mangu, Cilacap, ini. Udara begitu gerah. Terpaan angin terasa panas seperti duduk di dekat kompor  gas. Dan suasana ini semakin membuatnya payah karena dia tersesat jalan. Ingin bertanya mengenai arah jalan  ke pemondokan tak berani dilakukannya. Lagi pula saat itu  tengah hari bolong. Sangat jarang orang terlihat dijalanan.

Kebingungan kini semakin menjadi ketika langkah kakinya sampai  dipersimpangan jalan. Tak sadar sebuah truk tangki pengangkut air bersih melintas cepat di dekatnya. Celakanya sopirnya malah iseng. Dibunyikannya terompet klaksonnya  keras-kera. Dul Kamdi kaget. Melompat dan kembali jatuh. Kain ihram barunya pun berlumuran debu. Tapi truk tetap berlalu. Dul Kamdi kini benar-benar sendirian di tengah negeri asing.

Merasa tak tahan menjadi barang jemuran terik matahari, Dulkamdi  memutuskan untuk duduk ke pinggir jalan. Udara sedikit teduh karena ia berada di bawah bayangan gedung pertokoan. Beberapa saat kemudian terlihat seorang anak kecil perempuan keluar dari sebuah toko parfum. Anak ini berjalan ke arahnya. Dulkamdi kini merasa sedikit tentram hatinya. Pikirnya, kalau bertanya kepada anak ini dia pasti bisa menunjukan arah jalan pulang.

"Nak-nak mriki,  napa ngertos dalan dateng pondokan kula (Nak kemarilah, apakah tahu jalan ke arah pondokan saya)?’’ Dulkamdi bertanya dengan bahasa Jawa Banyumasan yang fasih.

Menyadari tiba-tiba ada seorang kakek berdiri menghadang jalan dan mengajak omong dengan bahasa asing, anak kecil Arab ini langsung berbalik dan menjerit memanggil ayahnya yang sedang berada di dalam toko.

Mendengar teriakan puterinya, sang ayah segera keluar. Setelah memberikan isyarat dengan menunjuk ke arah Dulkamdi, Ayah bocah itu menemuinya untuk mengajak bicara. Ditanyalah kakek ini dengan bahasa Arab.

’’Is is mak...? (kamu akan ke mana),’’ tanya ayah bocah itu. Dukamdi diam saja. Mulutnya seakan terkunci. Bingung menjawabnya.

‘’Inta fen rayeh..? (kamu akan ke mana),’’ tanyanya kembali dengan dialek bahasa Arab Amiyah. Dulkamdi juga tetap diam saja.

‘’Inta fen syakin...? (kamu tinggal di mana),’’ lanjut lelaki Arab. Kali ini nadanya meninggi.

Dukamdi makin kebingungan menjawabnya. Tapi tanpa sadar mulutnya tiba-tiba bicara. Selintas ia ingat sebuah kalimat Arab.’’La..la..la...syukran!// (tidak, tidak, tidak terima kasih),’’ jawabnya sembari berbalik.

Mendengar omongan dan cara Dulkamdi menjawab dengan pergi begitu saja,  lelaki Arab itu pun hanya bisa mengeleng-gelengkan kepala. Sesaat setelah pergi, Dulkamdi mendengar sebuah ungkapan yang akrab ditelinga. Kalimat ini sering dia dengar ketika dahulu semasa usia belasan tahun belajar tata bahasa Arab (ilmu 'alat) di pesantren kampungnya.’’Baghlul. Majenun,’’ kata lelaki Arab itu. Meskipun tahu artinya Dulkamdi tak peduli. Dia tetap saja ‘ngeloyor’ pergi menjauhinya.

Nah, sembari berjalan dia pun berpikir  mengenai apa maksud omongan lelaki Arab tadi. Meski bertahun-tahun dia belajar ‘nahwu’ dan ‘sharaf’ tetap tak paham artinya:

‘’Pakai bahasa apa si onta itu?,'' rungutnya.

Uniknya, Dulkami kini tersenyum geli sendiri. Dikenangnya kerja kerasnya selama tiga tahun menghapal seribu bait syair tata bahasa Arab kitab ‘Alfiyah Ibn Malik’. Tapi, kini semuanya sepertinya sia-sia saja. Namun, seakan ingin membalas ledekan si Arab tadi, tanpa sadar kemudian Dulkamdi menggerudel sendirian: ‘’Irunge bae sing Arab. Ngomonge tetep bae kaya onta, (Hidungnya saja yang Arab. Ngomongnya tetap saja seperti onta’’ ujarnya.

Entah mengapa setelah menggerutu panjang pendek pikirannya kembali terang untuk mengingat jalan pulang ke penginapan. Dulkamdi kini pun mempercepat langkahnya menuju agar bisa cepat sampai. Dia pun sudah merasa sangat capai karena dipanggang hawa panas dan terik matahari katak ikan asin di jemur.

Namun baru beberapa langkah dia berjalan pulang, terdengar suara lelaki yang memanggilnya. Lebih terkejut lagi panggilan itu memakai bahasa kampungnya: bahasa Banyumasan.

"Mbah mriki kula teraken. Ning ongkose rongatus real ya?// (Mbah mari kuantar. Tapi ongkosnya dua ratus real ya),’’ kata seorang lelaki berwajah Indonesia yang tiba-tiba saja sudah berdiri didekatnya.

Dulkamdi kini ganti yang tercengang. Dan entah mengapa dia sekarang bisa lancar berbahasa Arab: La.. Majnun anta!

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement