Selasa 09 Apr 2019 08:04 WIB

Antara Barcelona-MU-Juventus dan Pilpres di Indonesia

Besar atau kecil pasti ada kemungkinan golput non-ideologis.

Abdullah Sammy.
Abdullah Sammy.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Abdullah Sammy

Redaktur Republika

Banyak pengamat yang kini mulai sibuk mengutak-atik soal elektabilitas calon presiden menjelang hari pencoblosan pada 17 April 2019. Beragam teori dan analisis diberikan untuk mengintip hasil akhir.

Dari beragam sisi ulasan, ada satu hal yang bakal sangat menentukan hasil pilpres di detik terakhir. Hal itu bukan terkait soal preferensi melainkan militansi.

Militansi pemilih inilah yang bakal sangat vital dan berpotensi menentukan siapa pemenang pilpres pada 17 April di detik terakhir.

Militansi akan sangat menentukan. Sebab butuh militansi untuk menggerakkan pemilih untuk hadir ke TPS. Di beberapa daerah, utamanya di desa, akses mereka menuju TPS sangat sulit. Butuh hitungan kilometer untuk mencapai TPS dari rumah warga.

Tak seperti di Jakarta yang mana akses ke TPS relatif mudah. Di beberapa desa, warga mesti melintasi wilayah berbukit atau perairan untuk mencapai lokasi pemilihan.

Di Jakarta sendiri banyak pemilih yang terdaftar di TPS yang lokasinya jauh dari tempat tinggalnya saat ini. Ini karena alamat yang tertera di KTP, belum tentu sama dengan tempat tinggal saat ini.

Sebagai contoh kasus seorang yang ber-KTP Cengkareng dan terdaftar di TPS Cengkareng, bisa jadi kini tinggalnya sudah pindah ke wilayah Klender. Contoh kasus seperti ini bisa terjadi di banyak wilayah di Indonesia.

Walhasil butuh pengorbanan fisik, biaya, dan tenaga bagi mereka untuk sekadar menunaikan hak politiknya. Dengan militansilah mereka ini akan sukarela berkorban fisik dan tenaga demi datang ke TPS.

Tak hanya soal faktor akses, ada pula kenyataan bahwa pemilih sudah punya agenda pribadi maupun keluarga pada hari H. Dengan kenyataan waktu pemilu bertepatan dengan hari libur, maka militansi akan sangat penting untuk menggerakkan masyarakat untuk datang ke TPS terlebih dahulu. Mereka yang tak punya militansi akan berpikiran pemilu tidaklah sepenting agenda berlibur.

Sekalipun mereka secara pribadi sudah punya pilihan siapa yang akan dipilih, tapi dengan militansi yang rendah mereka tak merasa punya keharusan untuk mengorbankan waktu liburnya demi datang ke TPS. Mereka ini yang akan berpikiran satu satu suara mereka tak akan berarti banyak pada hasil akhir pemilihan.

BEGADANG JELANG PILPRES

Hal yang cukup unik dan belum diulas banyak pihak adalah kenyataan bahwa pada malam menjelang pilpres ada laga leg kedua perempat final Liga Champions. Laga pada 17 April dini hari akan melibatkan tiga klub yang memiliki jumlah pendukung yang sangat besar di Indonesia, yakni Barcelona, Manchester United, dan Juventus.

Laga pada pukul 02.00 dini hari WIB itu akan mempertemukan Barcelona versus Manchester United dan Juventus kontra Ajax. Dapat dipastikan banyak pemilih dalam pilpres 17 April yang akan begadang di malam buta demi menyaksikan tim kesayangannya berlaga.

Sebagai gambaran, rating tayangan sepak bola yang menampilkan Manchester United di Indonesia bisa menyedot 2,4 persen dari total seluruh penonton televisi di Indonesia (lebih dari 1,2 juta penonton). Pun halnya laga Barca yang bila mengacu pada rating perempat final Liga Champions musim lalu mencapai 1,8 persen atau sekitar 1 juta penonton.

Sedangkan rating Juventus sejak diperkuat Ronaldo mencapai 1,7 persen. Catatan ini hanya berdasarkan hitungan dari stasiun televisi nasional di Indonesia. Jika ditambah penonton dari televisi berbayar plus via streaming di dunia maya, maka jumlahnya akan berlipat jauh lebih besar. Dan jika diambil rata-rata maksimal, maka dua laga leg kedua perempat final Liga Champions itu berpotensi ditonton sekitar enam hingga 10 juta penonton di Indonesia.

Karena laga ini merupakan leg kedua, maka terbuka kemungkinan laga tak hanya berlangsung 90 menit tapi bisa berlangsung selama 120 menit. Ini berarti laga tersebut paling maksimal selesai di waktu subuh. Di sisi lain, waktu pemilihan hanya akan berlangsung hingga pukul 13.00 WIB.

Kondisi ini jelas mesti dicermati. Tanpa militansi yang tinggi, boleh jadi beberapa di antara penonton sepak bola itu lebih memilih tidur di hari libur.

Karena itu, penting bagi tiap tim sukses untuk terus menyosialisasikan kepada pendukungnya untuk memilih pada 17 April 2019. Militansi akan sangat penting dalam memastikan tidak adanya penyusutan suara akibat golput non-ideologis itu.

GOLPUT NON-IDEOLOGIS

Besar atau kecil pasti ada kemungkinan golput non-ideologis. Golput non ideologis berbeda dengan golput ideologis yang memang didasari ketiadaan pilihan atau bentuk protes voters. Namun golput non-ideologis ini adalah mereka memilih berlibur ketimbang ke TPS, memilih tidur daripada mencoblos, atau memilih diam di rumah ketimbang jalan ke bilik suara.

Kita bisa melihat data hasil pemilu terdahulu untuk mengintip bagaimana tingginya potensi suara hilang. Saat pilpres pertama kali diselenggarakan tahun 2004, ada 21,8 persen masyarakat yang tidak hadir ke TPS. Di putaran kedua pilpres di tahun yang sama, angka pemilih yang tak menggunakan hak pilihnya mencapai 23,4 persen.

Di Pilpres 2009, angka pemilih yang tak hadir ke TPS semakin meningkat menjadi 24,89 persen. Sedangkan pada Pilpres 2014 lalu, angkanya melonjak sangat tajam menjadi 30,42 persen.

Angka 30,42 persen yang tidak memilih pada pilpres 2014 lalu itu masih ditambah suara tidak sah di kotak suara yang mencapai 1,02 persen atau 1.379.690. Jika dibedah secara lebih mendalam, angka 30,42 persen pemilih yang tak hadir ke TPS pada 2014 itu terdiri dari pemilih yang golput karena dasar ideologis, kesalahan data serta pemilih yang berhalangan tetap di hari H (sakit dan meninggal), dan pemilih yang golput karena tidak ada militansi untuk datang ke TPS.

Dari angka 30-an persen ini, mari kita ambil angka rata-rata. Maka setidaknya ada sekitar 10 persen suara yang tak digunakan pada Pilpres 2014 akibat pemilihnya tidak memiliki militansi untuk hadir ke TPS. Padahal, mereka ini sudah memiliki pilihan capres.

Angka inilah yang sulit dipotret atau diprediksi lembaga survei dan berpotensi mengubah hasil Pilpres 2019. Semua potensi itu mesti dicegah karena berpotensi akan memengaruhi suara calon dalam pilpres. Inilah salah satu potential lost yang mesti dihitung secara cermat oleh tiap kandidat.

Karena alasan itu, kampanye terbuka yang akan berlangsung hingga 13 April 2019 akan sangat penting. Kampanye terbuka akan menjadi media untuk memompa militansi pemilih. Kampanye terbuka juga jadi sarana untuk mengukur sejauh mana militansi para pendukung mereka.

Pada akhirnya, semilitan-militannya pendukung capres dalam pemilu, masih lebih militan seorang pendukung tim sepak bola. Ini seperti yang diungkapkan seorang legenda hidup sepak bola Prancis dan Manchester United, Eric Cantona. "You can change your wife, your politics, but never, never can you change your favourite football team."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement