Rabu 20 Mar 2019 05:01 WIB

Menanti Pengawas Terorisme dari Senayan

Pengawasan penanggulangan terorisme dibutuhkan untuk menghindari pelanggaran hukum.

Anggota komisi III dari PKS, Nasir Djamil (berbicara)
Foto: Antara
Anggota komisi III dari PKS, Nasir Djamil (berbicara)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M. Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR RI

Pada 11 Maret lalu tepat tiga tahun Siyono, seorang imam Masjid Muniroh, Cawas, Klaten diculik dua orang tak dikenal. Belakangan publik mengetahui bahwa yang mengambil paksa Siyono adalah Densus 88. Dua hari kemudian Siyono tewas merenggang  nyawa. Cerita ini semakin menjadi ketika Suratmi, istri Siyono diberi uang duka Rp 100 juta agar keluarga tidak melanjutkan kasus ini ke pengadilan. Uang itu tidak dinikmati Suratmi dan kelima putra-putrinya yang ditinggalkan Siyono, malah diserahkan ke Komnas HAM. Sampai detik ini, kasus Siyono masih gelap dan belum ada tanda-tanda titik terang.

 

Kasus Siyono membuka tabir kepada kita, ada yang salah dalam perlawanan kita pada terorisme. Upaya penumpasan seakan belum  mematikan sel terorisme itu sendiri. Terakhir, seorang istri terduga teroris di Sibolga, Sumatera Utara, kembali mengulang tragedi Surabaya, meledakkan bom bersama diri dan anaknya setelah sang suami yang diduga teroris ditangkap polisi. Narasi-narasi ini menuntut upaya untuk mengontrol sejauhmana mereka yang dimandatkan menumpas teroris bekerja.

 

Sayangnya, hampir satu tahun sejak Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU 5/2018), belum satupun peraturan perundang-undangan turunan diterbitkan berdasarkan amanah undang-undang tersebut, termasuk peraturan DPR tentang pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme.

 

Tak semestinya kinerja DPR menurun akibat sibuk dengan agenda kontestasi Pemilu 2019. Pembahasan pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme harus segera dilakukan sebelum 21 Juni 2019. Hal ini mengingat UU 5/2018 hanya memberikan jangka waktu satu tahun sejak disahkan tahun lalu. Setidaknya ada tujuh peraturan turunan yang harus disusun pemerintah dan DPR setelah disahkannya UU 5/2018.

 

Ketujuh peraturan turunan tersebut berbentuk peraturan pemerintah, yakni pertama, tentang tata cara perlindungan kepada penyidik, penuntut umum, hakim dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya. Kedua, tentang tata cara permohonan, penentuan jumlah kerugian, pembayaran kompensasi dan restitusi. Ketiga, tentang tata cara dan pelaksanaan kesiapsiagaan nasional kontra radikalisasi dan redikalisasi. Keempat, tentang tata cara permohonan, penentuan jumlah kerugian, pembayaran kompensasi bagi korban masa lalu. Kelima, dalam bentuk Peraturan Presiden tentang susunan organisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan keenam Peraturan Presiden tentang tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme. Selain itu, ketujuh, peraturan DPR RI tentang pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme.

 

Sporadis

Urgensi peraturan turunan ini harus segera dilakukan karena penangkapan dan penindakan terhadap aksi teroris cenderung dilakukan secara sporadis. Hal ini terjadi terutama sejak teror bom mengguncang Kota Surabaya Mei 2018. Sejumlah media dan pengakuan keluarga pelaku menyatakan, tudingan sumir pada kepolisian (Densus 88) atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia sejak proses penangkapan sampai persidangan. Indikasi ini terlihat dari adanya penyalahgunaan prosedur penangkapan dan penahanan, bahkan teknik pemeriksaan yang mengarah pada penyiksaan terhadap terduga teroris. Kondisi ini jelas menyalahi maksud lahirnya UU 5/2018. Kasus Siyono menjadi pertanda kuat kecurigaan ini.

 

Patut disayangkan jika pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme terlambat dilakukan. Keterlambatan itu mengakibatkan upaya penanggulangan terorisme kian jauh dari maksud yang diinginkan pembentuk undang-undang.

Faktanya, aparat penegak hukum terlihat gagal paham saat melakukan penanganan di lapangan. Banyak aturan hukum acara dan teknis penanganan penanggulangan terorisme diduga belum sepenuhnya diterapkan  atas nama kejahatan luar biasa.

 

Langkah Densus 88 yang diduga rawan pelanggaran hak asasi manusia dalam penanggulangan terorisme dapat meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada kemampuan pemerintah menjaga keamanan negara. Apalagi teror yang terus berlanjut tak berujung ini memicu prasangka jika teroris sengaja dipelihara. Dugaan praktik gelap pemberantasan tindak pidana terorisme selama ini dinilai strategi untuk menutupi isu tertentu di tanah air. Akibatnya, publik enggan bekerja sama dan program deradikalisasi pun hanya terlihat sebagai proyek belaka. Faktanya, hampir kasus terorisme yang muncul akhir-akhir ini dilakukan oleh residivis yang diyakini tak pernah tersentuh program deradikalisasi.

 

Pengawasan DPR

Terlepas dari buruknya sorotan publik terhadap fungsi pengawasan DPR, namun fungsi ini tetap diperlukan. Fakta membaiknya fungsi pengawasan DPR terlihat dari hasil survei masyarakat yang menyatakan fungsi pengawasan DPR dianggap sudah dilakukan dengan baik. Setidaknya survei Charta Politika pada Agustus 2018 yang bekerja sama dengan Asumsi menunjukkan, sebanyak 44,8 persen responden menyatakan fungsi pengawasan DPR sudah baik. Tentu sikap publik ini menjadi modal sosial bagi DPR untuk segera membentuk tim pengawasan tersebut.

Setidaknya ada dua hal penting yang perlu diatur dalam pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme. Pertama, mekanisme pembentukan, pengangkatan dan pemberhentian anggota tim pengawas. Mekanisme ini penting untuk mengidentifikasi keterwakilan anggota fraksi dan pimpinan dalam tim pengawas. Tentunya hal ini didasarkan pada pengalaman, kredibilitas, dan kemampuan anggota DPR terkait isu penanggulangan terorisme.

Kedua, fungsi, tugas dan wewenang tim pengawas penanggulangan terorisme. Fungsi ini tak kalah pentingnya dengan kriteria dan kapasitas personal anggota tim. Setidaknya, Tim pengawas memiliki tugas dan wewenang memanggil penyelenggara penanggulangan terorisme untuk didengar keterangannya dalam pelaksanaan penanggulangan terorisme. Kemudian, melakukan investigasi ke lokasi tempat diperlukannya kepentingan pengawasan. Selanjutnya, menganalisis bahan-bahan, data, informasi dan/atau dokumen yang terkait dengan penyimpangan pelaksanaan penanggulangan terorisme, memberikan rekomendasi perbaikan bagi pelanggaran yang ditemukan dalam pelaksanaan penanggulangan terorisme dan menunjuk dan membentuk tim penilai independen untuk melakukan penilaian terkait penyelenggaraan setiap tindakan penanggulangan terorisme di Indonesia.

Akhirnya, di  tengah situasi yang masih simpang siur terhadap pelaksanaan penanggulangan terorisme selama ini, DPR sebaiknya segera membentuk tim pengawas untuk memastikan benar tidaknya syak wasangka tindakan berlebihan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Karena itu, sebelum rentetan penyelewengan penanggulangan teroris menjadi bola salju yang terus menggelinding liar, DPR harus bekerja cepat dan mengakhirinya dengan pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme. Setidaknya, tim ini bisa sedikit menjawab anak-anak Siyono dan Siyono-Siyono berikutnya kelak  mereka  dewasa dan  bertanya kenapa  ayahnya tewas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement