Kamis 14 Feb 2019 05:07 WIB

Efek Domino Mahalnya Tiket Pesawat

Pengusaha hotel mengeluhkan turunnya omzet usaha kepada Presiden Jokowi.

Tiket pesawat naik
Foto: republika
Tiket pesawat naik

REPUBLIKA.CO.ID,  Beberapa pekan belakangan, ramai diperbincangkan mengenai mahalnya harga tiket pesawat. Sejumlah kalangan mengeluhkan tingginya harga tiket pesawat untuk rute perjalanan di dalam negeri.

Ironinya, harga tiket rute negara tetangga lebih murah ketimbang perjalanan domestik. Walhasil, sejumlah warga memilih memutar tujuan dengan jarak yang lebih jauh dan waktu lebih lama, tapi dengan harga lebih murah.

Badan Pusat Statistik Aceh merekam, ada 12.142 penumpang pesawat dari provinsi tersebut yang transit di Malaysia sejak Desember 2018 hingga Selasa (12/2). Angka ini setara dengan 42,36 persen. Artinya, ada kenaikan jumlah penumpang pesawat yang memilih transit di negeri jiran ketimbang yang melakukan penerbangan langsung dari Aceh ke daerah lain di Indonesia.

BPS Aceh menyebut, kenaikan jumlah penumpang yang berasal dari negara tetangga itu akibat tingginya harga tiket pesawat untuk rute domestik. Data ini sekaligus membuktikan, tiket pesawat rute domestik di Aceh mulai mahal sejak Desember 2018.

Tak heran bila banyak warga Aceh yang mengurus paspor ke kantor Imigrasi setempat. Bukan karena mereka ingin pergi ke luar negeri, melainkan hanya menyiasati guna mendapatkan harga tiket lebih murah.

Selain dengan mengakali rute penerbangan, sebagian warga lainnya lebih memilih tidak menggunakan moda transportasi udara. Setidaknya ini ditunjukkan dengan menurunnya jumlah penumpang pesawat. Di sejumlah bandara juga terlihat relatif lebih sepi penumpang.

Sepanjang Januari 2019, sebanyak 730 penerbangan di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau, dibatalkan. Diprediksi, angka ini meningkat, mengingat pada 10 hari pertama Februari 2019 saja sudah 218 penerbangan yang dibatalkan pihak maskapai. Bila dipersentasekan, terjadi penurunan 28 persen penerbangan dan 22 persen jumlah penumpang pada periode yang sama 2018 lalu.

Data tersebut baru dari satu bandara. Hal serupa dialami bandara lainnya. Ketua Indonesia National Air Carrier Association (Inaca) Ari Askhara menyebut, faktor harga avtur sebagai penyebab mahalnya tiket pesawat. Harga avtur menyumbang bagian terbesar dalam komponen kenaikan harga tiket pesawat.

Mahalnya tiket pesawat untuk rute penerbangan domestik ini memang berefek domino. Di Bandara Juanda Sidoarjo, Jawa Timur, kursi tunggu yang biasa digunakan penumpang dan pengantar terlihat relatif sepi. Tak terlihat antrean penumpang di kios check in mandiri sebagaimana ketika bagasi berbayar dan formulasi harga tiket mahal belum diterapkan.

Selain berdampak pada turunnya jumlah pelancong di dalam negeri pengguna moda transportasi udara, juga berefek pada aktivitas bisnis di bandara. Sejumlah pedagang yang berjualan resmi di bandara mengaku, omzet dagangannya turun tipis. Berkurangnya jumlah penumpang juga berimbas pada turunnya tingkat laku produk jualan pedagang.

Bahkan, sejumlah porter pun mengeluh. Mereka mengklaim, jumlah penumpang di bandara berkurang. Pemandangan ramai sebagaimana hari libur atau Jumat tak terlihat lagi. Penurunan jumlah penumpang ini diakuinya menurunkan drastis pendapatannya.

Efek domino berikutnya berimbas pada dunia pariwisata domestik. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dampak kenaikan harga tiket dan bagasi berbayar sangat terasa. Sejumlah anggota Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata (Asita) mengeluhkan soal ini. Sebab, setelah gempa mengguncang, pariwisata Lombok belumlah pulih. Namun, kondisi ini diperparah masuk low season kunjungan wisatawan, harga tiket pesawat naik, bagasi berbayar pula.

Puncaknya, pada Ahad lalu, Presiden Joko Widodo 'dicurhati' para anggota Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia. Mereka mengeluhkan turunnya omzet pemesanan hotel. Ujung-ujungnya adalah dampak dari kenaikan harga tiket pesawat.

Menanggapi hal ini, Presiden Jokowi pun memerintahkan Pertamina untuk mengupas, mengapa harga avtur tidak bisa setara dengan harga internasional. Kementerian Keuangan juga dimintakan memeriksa kembali komponen harga yang mendasari avtur.

Pertamina sebagai satu-satunya penyalur avtur di dalam negeri bisa diajak bicara, mengapa harganya 20 persen lebih mahal ketimbang harga internasional? Demikian pula, dengan Kementerian Perhubungan yang berperan sebagai regulator maskapai penerbangan nasional.

Menguliti persoalan satu per satu, dari hulu hingga hilir, diharapkan bisa membuka kotak hitam penyebab harga avtur tinggi yang berdampak pada harga tiket pesawat. Sinergi yang baik dan tidak mengutamakan ego sektoral bisa menjadi pembuka solusi. Jangan sampai efek domino terus berlangsung, sementara jalan tengah belum juga menemukan solusi. Kalau negara tetangga bisa, mengapa di Indonesia tidak?

(Tajuk Koran Republika hari ini.)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement