Selasa 12 Feb 2019 21:31 WIB

Pancasila Sudah Islami Jadi Perekat Bangsa

Pemerintah perlu menggandeng NU dan Muhammadiyah.

Mural lambang Garuda Pancasila.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Mural lambang Garuda Pancasila.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Erik Purnama Putra*

Ideologi Pancasila yang dianut bangsa Indonesia sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, tidak tergoyahkan hingga kini. Ujian demi ujian dari sekelompok orang yang ingin mengganti ideologi dasar negara ini, dapat dengan mudah dipatahkan oleh kekuatan elemen masyarakat itu sendiri.

Kalau pada awal kemerdekaan hingga masa Orde Lama, ancaman paling nyata terhadap Pancasila datang karena adanya gerakan radikal kanan (raka) dan radikal kiri (raki). Hal itu ditandai munculnya gerakan DI/TII pemberontakan PKI, namun gerakan yang berusaha mengubah Pancasila dengan mendirikan negara Islam dan menyebarkan paham komunis itu pun lenyap dengan sendirinya. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila pun tetap tegak berdiri.

Saat Orde Baru (1966-1998) berkuasa, berbagai kekuatan dan suara minor terhadap pemerintah dibungkam. Pancasila dijadikan alat kekuasaan untuk memukul kelompok masyarakat yang kritis terhadap pemerintah. Pada masa itu, ada pula gangguan dari kelompok atau kekuatan tertentu yang mencoba merongrong Pancasila. Memasuki Orde Reformasi (1998-kini), masyarakat yang sebelumnya terbelenggu seolah bisa menikmati kebebasan. Mereka bebas bersuara dan berorganisasi tanpa perlu lagi waswas gerakannya dipantau oleh pemerintah.

Kebebasan yang benar-benar dinikmati hingga di satu sisi ternyata menyimpan bara api yang sewaktu-waktu bisa meledak dan muncul ke permukaan. Mengapa kondisi itu bisa terjadi? Ini tidak lain tidak bukan, lantaran arus Reformasi yang menumbangkan Presiden Soeharto juga diikuti berkembang biaknya gerakan yang ingin menggoyang Pancasila.

Hal itu ditandai dengan menurunnya rasa nasionalisme dan mulai merebaknya paham yang menganggap ideologi Pancasila tidak relevan lagi, karena sebaiknya diganti dengan khilafah maupun NKRI bersyariah.

Hal itu tidak lain, lantaran muncul arus baru di masyarakat yang jumlahnya semakin bertambah untuk mengganti Pancasila. Memang sekarang mereka masih minoritas, namun secara persentase meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir.

Merujuk hasil sigi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 17 Juli 2018, menunjukkan publik yang pro-Pancasila menurun 10 persen dalam rentang 10 tahun. Survei dengan sampel 1.200 responden dari 34 provinsi, dan responden terpilih diwawancarai menggunakan kuesioner pada 28 Juni-5 Juli 2018.

Hasilnya mengejutkan! Karena pada 2005, masyarakat yang pro-Pancasila masih di angka 85,2 persen, lima tahun kemudian (2010) angkanya menjadi 81,7 persen. Pada 2015 angkanya turun lagi menjadi 79,4 persen, dan pada 2018 mencapai 75,3 persen.

Adapun masyarakat yang pro-NKRI bersyariah mengalami kenaikan sembilan persen selama 13 tahun. Pada 2005, angkanya hanya sebesar 4,6 persen, lima tahun berselang menjadi 7,3 persen, dan pada 2015 menjadi 9,8 persen. Pada 2018, angkanya mencapai double digit, yaitu 13,2 persen.

Di sinilah pentingnya intervensi pemerintah dalam mengedukasi rakyatnya agar bisa semakin mencintai Pancasila, sebagai ideologi bangsa yang tak dapat diganggu gugat. Dengan kekuasaan dan alat yang dimiliki, pemerintah wajib mengajarkan tentang Pancasila, terutama kepada siswa dan pegawai negeri sipil (PNS), untuk tidak lagi punya pikiran ingin mengganti ideologi negara.

Karena tanpa adanya edukasi, khususnya kepada generasi milenial maka dalam waktu beberapa tahun ke depan, sangat mungkin masyarakat yang cinta Pancasila jumlahnya terus menurun. Coba saja bayangkan, kalau Pancasila diganti ideologi tertentu, pasti ada daerah yang tidak puas dan muncul gerakan memerdekakan diri dari Indonesia. Kita tentu tidak ingin hal itu terjadi.

Merujuk tulisan Denny JA tentang 'NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi', kalau dipikir-pikir, ide itu sebenarnya sudah terwadahi, khususnya dalam sila pertama Pancasila. Karena dalam Pancasila itu sendiri, sudah memberi ruang dan mengakomodasi aspirasi umat Islam. Pancasila pula sudah terbukti sebagai perekat anak bangsa yang tumbuh dari suku, agama, ras, antargolongan (SARA) yang berbeda-beda.

Dari Sabang sampai Merauke, masyarakat dengan beragam latar belakang bisa menerima Pancasila sebagai pemersatu Indonesia. Mereka bisa hidup bahagia di tengah keragaman budaya.

Untuk itu, tidak ada salahnya lagi, mulai tingkat sekolah dasar (SD), siswa digalakkan lagi pendidikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Di kampus juga pendidikan tentang Pancasila tak boleh diabaikan. Karena generasi milineal akan menjadi generasi pemimpin pada masa akan datang. Pun program pendidikan dan latihan (diklat) bagi PNS juga digencarkan materi pengamalan Pancasila selama menjadi abdi negara.

Dengan cara itu, pemerintah tidak lagi memberi kesempatan dan ruang bagi mereka yang ingin menyebarkan pemahaman keliru, yang mencoba mengoyak ideologi bangsa ini. Karena sudah terbukti, tegaknya NKRI tidak lepas dari Pancasila yang mengandung ajaran islami, yaitu mayoritas umat Muslim merangkul dan melindungi minoritas.

Pemerintah wajib menggandeng dua ormas besar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang sama-sama tidak diragukan lagi kecintaannya terhadap negeri ini. Kalau NU siap selalu di garda terdepan dalam menghadapi gerakan transnasional yang mempersoalkan Pancasila, Muhammadiyah juga menegaskan Indonesia dengan Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah yang merupakan hasil konsensus nasional yang tak bisa diganti.

Berkat kerelaan hati beberapa tokoh bangsa, terutama Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), serta Wahid Hasyim (NU), umat Islam saat itu bisa lapang dada menerima ideologi negara. Mengacu hal itu, sudah jelas Pancasila dan NKRI sudah disepakati tokoh-tokoh Islam yang terlibat dalam kemerdekaan.

Karena bagaimana pun, ketika lima sila yang terkandung dalam Pancasila disahkan, semua unsur perwakilan daerah dengan latar belakang berbeda kompak menyetujuinya. Sehingga, sudah saatnya kita menghentikan wacana tentang NKRI bersyariah maupun ide lain yang membuka perdebatan tidak produktif.

Yang diperlukan sekarang adalah impelementasi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila agar tujuan bernegara ini dapat tercapai, yaitu keadilan, kemakmuran, dan menghormati hak asasi manusia (HAM) setiap warga negara.

Karena kekuatan utama bangsa ini masih tegak berdiri tidak bisa lepas dari terciptanya kehidupan rukun di masyarakat, dan ruang publik yang dipenuhi dengan gagasan-gagasan yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan berdaulat.

*)Penulis adalah wartawan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement