Rabu 06 Feb 2019 10:16 WIB

Aristoteles, Ghazali, Ibnu Rusyd: Filsafat Peradaban Islam

Era zaman keemasan Islam ditutup dengan pembakaran buku di Baitul Hikmah.

Ibnu Rusyd atau Averroes, dari detail lukisan Triunfo de Santo Tomás, karya artis Florence abad ke-14 Andrea Bonaiuto.
Foto: Wikipedia
Ibnu Rusyd atau Averroes, dari detail lukisan Triunfo de Santo Tomás, karya artis Florence abad ke-14 Andrea Bonaiuto.

Oleh: Salam Enester, Dosen UIN Sumatra Utara

Pada awal abad pertengahan disebut sebagau puncak peradaban Islam (golden age atau zaman keemasan islam). Era ini dimulai dengan mengadaptasi pemikiran Aristoteles (lazim disebut pemikiran Aristotelian) yang berdasarkan logika dan ilmiah. Dalam hal ini pelopornya adalah Ibnu Al Farabi.

Uniknya awalnya Al Farabi belajar pemikiran filsafat ini dari seorang pendeta Kristen timur, (Kristen Ortodok) bernama Yuḥanna Ubnu Ḥaylan yang pemikirannya memang bermazhab Aristotelian juga. Lalu kemudian di teruskan oleh Ibnu Sina yang menyelamatkan dan mempelajari ulang filsafat Yunani kuno yg terisa dari perpustakaan Alexandria kuno yg saat itu sedang gencar-gencarnya di hancurkan oleh peradaban Kristen barat karena bagi Kekristenan yang ada jaman itu semua peradaban Yunani kuno dianggap sebagai ajaran kaum pagan (sesat).

Kemudian, pemikiran Islam pun mengalami kemunduran peradaban. Dalam berbagai litelatur, jejaknya  terlihat dimulai saat banyaknya 'fuqaha' (ahli-ahli fiqih Islam) menulis kitab-kitab fiqh yang menganggap Mu'tazilah atau kaum filosof atau mereka yang disebut kaum pemuja akal sebagai manusia sesat.

photo
Salam Eneste, Dosen UIN Sumatra Utara

Dan momentumnya adalah saat kebangkitan "kaum ulama" dimulai pada abad 10. Di mana Sultan Nizam Al Mulk (Kesultanan Saljuk) yang merupakan seorang penganut Asy'ariyah dan salah satu sultan terbesar di zaman itu membangun semacam madrasah dan mencetak ulama paling berpengaruh di zaman itu, yaitu Imam Al-Ghazali, yang disebut juga sebagai sang ‘hujjatul Islam’ (pemikir agung Islam).

Al-Ghazali memulai konfrontasi dengan menyerang pemikiran Mu'tazilah dan para filosof, terutama kpd penganut pandangan Ibnu Sina (Avicennaisme)...

Al-Ghazali kemudian menulis buku yg nantinya menjadi ‘magnum opus’-nya yaitu "Tahafut al Falasifah" (Inkoherensi Filsafat) yang merupakan antitesis dan kritik keras kepada filsafat Yunani dan logika di zaman ‘golden age’ Islam. Buku ini nantinya akan menghasilkan fatwa kafir bagi Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, dan sejumlah filsuf Muslim beraliran Yunani lainnya. Dan buku itu juga nantinya menjadi panduan ilmu manthiq islam, lawannya dari ilmu logika Yunani (logica scientia).

Kemudian, serangan Al-Ghazali ini dijawab oleh Ibnu Rusydi. Beliau menulis buku tandingan, "Tahafut at Tahafut" (Inkoherensi Inkoheren) yang intinya melawan pemikiran Al-Ghazali. Namun sayangnya buku ini tidak mendapat sambutan yang baik seperti buku Al-Ghazali, karena mayoritas masyarakat Muslim saat itu sudah terlanjur memberikan stigma negatif terlebih dahulu terhadap segala hal yang berbau filsafat dan sains.

Ibnu Rusydi sendiri pada akhirnya ditangkap oleh Amir Al-Ma'mun (Amir Cordoba) yang juga seorang Asy'ariah. Kemudian Ibnu Rusydi diasingkan ke sebuah ‘ghetto’ (tempat pembuangan) di Maroko. Akhir hidupnya begitu mengenaskan, Ibn Rusdy dikucilkan dalam peradaban islam jaman itu yang sudah didominasi pemikiran Al-Ghazali.

Akhir yang naas selanjutna bagi peradaban Islam adalah tatkala buku-buku Avicennaisme (pemikiran Ibnu Sina) dan Averroeisme (pemikiran Ibnu Rusyd) dan beserta semua karya tokoh-tokoh zaman Mu'tazilah dibuang dan dibakar dari Bait al Hikmah. Dan disaat itulah dimulainya zaman kegelapan sains dalam Islam, era kemunduran peradaban Islam, sekaligus menandai zaman kebangkitan "ulama" melalui gerakan ‘manhaj salaf’ sampai hari ini.

Sebuah kenyataan pahit?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement