Kamis 31 Jan 2019 09:14 WIB

Tangkal Hoaks dengan Literasi Internet

Minat baca yang rendah membuat remaja usia sekolah rentan terpapar hoaks

Berita Hoaks
Foto: Kemenko PMK
Berita Hoaks

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erita Riski Putri, S.Sos, M.Si* dan Astuty Pohan, S.Sos, M.M*

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai sekitar 132,7 juta. Sebagai media baru menghadirkan berbagai kemudahan bagi masyarakat, internet membuat masyarakat menjadi lebih mudah berkomunikasi karena kehadiran aplikasi-aplikasi media sosial percakapan seperti Whatsapp, Line, dan Telegram.

Namun, percakapan melalui akun-akun media sosial ini juga membuka peluang kehadiran berita yang tidak bisa diverifikasi, berita yang tidak jelas kebenarannya, kabar palsu, dan hoaks (berita bohong). Berita-berita ini pada gilirannya akan membuat masyarakat menjadi resah.

Data Kemenkominfo menyebutkan ada sekitar 800 ribu situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Tahun lalu, misalnya, hoaks atau berita palsu yang beredar di media sosial ini seperti penganiayaan Ratna Sarumpaet oleh sekelompok orang di Bandung Jawa Barat.

Hoaks lain yang beredar tahun lalu, yakni pesan berantai konten melalui Whatsapp mengenai gempa susulan di Palu, penculikan anak beredar di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan WhatsApp. Ada juga hoaks konspirasi imunisasi dan vaksin, rekaman kotak hitam (black box) Lion Air, kartu nikah dengan foto empat istri, dan makanan mudah terbakar karena mengandung plastik.

Tahun lalu, Dailysocial.id bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform melakukan survei kepada 2.032 pengguna ponsel pintar di Indonesia mengenai sebaran hoaks. Pertanyaan juga mengenai apa yang mereka lakukan saat menerima hoaks.

Berdasarkan survei itu, hasil riset menyebutkan saluran terbanyak penyebar berita bohong atau hoaks dijumpai di media sosial. Persentasenya, yakni 82,25 persen di Facebook, 56,55 persen (WhatsApp), dan 29,48 persen (Instagram).

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan 49,52 persen pengguna internet merupakan anak muda. Hasil survei APJII 2017 yang dipublikasikan Februari tahun lalu menyebutkan pengguna internet berdasarkan usia yakni, usia 19-34 tahun (49,52 persen), usia 35-54 tahun (29,55 persen), dan 13-18 tahun (16,68 persen), dan di atas 54 tahun (4,24 persen).

Artinya, anak muda atau remaja pada usia sekolah, yakni 13-18 tahun, rentan terpapar hoaks (berita bohong). Kondisi ini diperburuk dengan minat baca orang Indonesia.

Remaja di Indonesia malas membaca dengan data yang menunjukkan minat baca orang Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara.

Fenomena ini menunjukan pentingnya literasi media baru, yakni internet, bagi remaja atau anak muda usia sekolah. Karena itu, penulis, yakni Erita Riski Putri, S.Sos, M.Si dan Astuty Pohan, S.Sos, M.M, melakukan pengabdian masyarakat mengenai literasi media di kalangan siswa sekolah.

Pengabdian masyarakat merupakan gerakan memberdayakan diri untuk kepentingan masyarakat yang dilakukan dosen. Pengabdian masyarakat yang dilakukan dalam bentuk seminar bertema “Literasi Media Internet: Sisi Lain Informasi dalam Menghadapi Berita Hoax” di SMK Segara Wiyata, Babelan Kota, Bekasi”, Rabu, 30 Januari 2019.

photo
Ketua Pengabdian Masyarakat Dosen Fikom Ubhara Jaya Erita Riski Putri, S.Sos, M.Si (keenam dari kanan) dan rekan sejawatnya, Astuty Pohan, S.Sos, M.M (kelima dari kiri) bersama guru dan siswa ketika melakukan pengabdian masyarakat dengan tema “Literasi Media Internet: Sisi Lain Informasi dalam Menghadapi Berita Hoax” di SMK Segara Wiyata, Babelan Kota, Bekasi”, Rabu, 30 Januari 2019. (Dok. Pribadi)

Pengadian masyarakat ini untuk mengedukasi siswa tentang media, khususnya hoaks, yang sedang tren saat ini. Sekarang ini hoaks tersebar di mana-mana. Karena itu, penulis berpendapat siswa membutuhkan pengetahuan literasi karena mereka sehari-hari menggunakan gawai. Kondisi ini membuat siswa menjadi sasaran empuk penerima berita hoaks.

Dari tinjauan psikologi komunikasi, hoaks atau kabar lain yang tidak bisa diverifikasi bisa memberikan efek berupa perubahan perilaku. Tiga efek yang mungkin muncul, yakni efek kognitif, efek afektif, dan efek behavioral.

Pada efek kognitif, perubahan perilaku yang muncul dari penerimaan terhadap satu berita terlihat dari pola pikir atau analisa peserta. Pada efek afektif, yakni melihat sisi penerimaan sikap peserta. Ini terkait dengan rasa suka tertarik atau tidak terhadap satu berita atau penerimaan positif atau negatif. Sedangkan efek behavioral terkait dengan menerima atau menolak berita hoaks.

Karena hoaks menimbulkan efek yang tidak baik maka penting bagi siswa untuk turut berpartisipasi melawan hoaks. Untuk mengecek kebenaran informasi di internet, siswa bisa melakukan sejumlah langkah.

Misalnya, ketika memeriksa foto yang beredar di internet, pengguna bisa membuka laman Google Images dan melakukan tahap sebagai berikut: (1) klik ikon kamera di bagian kotak search boks, (2) ketikkan tautan (url) dari suatu gambar yang akan dicek keasliannya atau mengunggah foto yang akan dicek, (3) akan muncul hasil pencarian di mana situs pertama yang menggunggah foto tersebut berada di posisi teratas, (4) akan terlihat naskah foto yang menerangkan kebenaran gambar tersebut, (5) kroscek hasil pencarian dengan situs berita yang kredibel menggunakan kata kunci yang sesuai.

Menurut Kepala SMK Segara Wiyata Dra Erni Thaher mengatakan siswa yang menjadi peserta pengabdian masyarakat ini mengutarakan kepadanya bahwa materi yang disampaikan sangat bermanfaat. Erni berharap pengetahuan yang diterima siswa akan diteruskan kepada siswa lain yang tidak menjadi peserta acara ini. Menurut Erni, siswa sangat berharap kegiatan bisa berkesinambungan.

*) Dosen Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement