Selasa 29 Jan 2019 13:58 WIB

'Grusa Grusu' adalah Kita

Tindakan "grusa grusu" biasanya akan berakhir dengan rasa malu.

Muhammad E Fuady, dosen Fikom Unisba
Foto: dokumen pribadi
Muhammad E Fuady, dosen Fikom Unisba

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad E Fuady, Pengajar Komunikasi Politik/Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unisba

Nama Ipang Wahid kini sedang menjadi perbincangan di jagat media sosial. Saya sendiri tak tahu secara personal. Yang saya tahu, Ipang itu membantu Partai Keadilan Sejahtera beberapa kali pemilu sebagai konsultan komunikasi. Adang Darajatun, Cagub DKI Jakarta dari PKS, saat itu popularitasnya meroket setelah dipoles Ipang Wahid sebagai konsultan.

Ipang Wahid putra dari  KH Salahudin Wahid alias Gus Sholah. Putra putri pendiri NU memang sudah menyatakan dukungan pada paslon 02. Namun Ipang sebagai keturunan hadratus syaikh Hasyim Asy'ari adalah pendukung paslon 01. Ipang membentuk relawan Gus Sholah untuk memenangkan Jokowi. Gus Sholah sendiri tak ikut dukung-mendukung capres 01 atau 02. Malah beliau menghimbau NU agar tak berpolitik.

Mengenai Indonesia Barokah, sebuah tabloid yang berkampanye hitam soal Paslon 02, Ipang sendiri telah membantah keterlibatannya. Meski ada jejak digital yang menunjukkan keterkaitan dirinya dengan akun Indonesia Barokah. Ipang menyatakan bahwa ia hanya pernah membuat beberapa konten untuk Indonesia Barokah. Kehebohan netizen soal keterlibatan Ipang Wahid sudah dibantah.

Dalam politik, semua serba mungkin. Boleh jadi terlibat, bisa juga sebaliknya. Ada baiknya netizen belajar menahan diri dari komentar atau penilaian yang terlalu dini. Khawatir syak wasangka itu saat dilontarkan ke tengah publik melalui media sosial, malah menjadi fitnah.

Seperti isu drama tangisan seorang emak muda saat Sandiaga Uno kampanye di Bandung. Ada bukti foto lama emak muda itu selfie dari kejauhan saat Sandi kampanye. Itu tak menunjukkan atau membuktikan bahwa mereka saling mengenal dan membuat drama yang sangat ciamik untuk menggugah perasaan publik.

Siapapun yang pernah berfoto bersama Jokowi saja tak membuktikan bahwa mereka saling mengenal. Saya pernah berfoto semasa beliau menjadi Gubernur DKI. Kalau saya, ya kenal beliau. Pak Jokowi sudah jelas tak kenal saya. "Siapa ya? Brad Pitt?", mungkin tanya beliau kalau kami bertemu. "Bukan pak, saya sandal jepit", seloroh saya mungkin.

Siapapun sangat mungkin histeris melihat pesona Sandiaga Uno yang santun dan tampan, cawapres pula. Apalagi emak-emak muda itu posisinya di pinggir mobil yang ditumpangi Sandiaga Uno. Sangat normal orang akan histeris tatkala berdekatan dengan orang yang diidolakannya.

Menyandingkan foto dan video Sandi dan emak muda itu, lalu netizen menilai bahwa tangisan itu sebuah drama dan kebohongan. Kita belum tahu realitas yang sebenarnya, tapi penilaian sudah dijatuhkan.

Sebelum segala sesuatunya jelas, ada baiknya berhati-hati dalam berkomentar. Menahan diri dari komentar yang buruk itu jauh kebih baik. Jangan "grusa-grusu". Tindakan "grusa grusu" biasanya akan berakhir dengan rasa malu.

Mungkin hal itu juga dirasakan oleh tokoh politik tanah air. Dalam debat presiden, petahana menyindir kompetitor dengan pernyataan "grusa grusu" soal penganiayaan. Padahal kompetitornya itu dibohongi oleh sumber pertama. Tokoh yang disebut sebagai korban penganiayaan orang tak dikenal ternyata operasi plastik.

Tak dinyana, beberapa hari kemudian dalam polemik pembebasan Ust. Abu Bakar Ba'asyir, petahana malah dibilang "Presiden tidak usah grasa grusu" oleh menterinya sendiri. Tak sopan rasanya anak buah berkomentar seperti itu. Dalam konteks rangkaian peristiwa itu, citarasanya kemudian menjadi seperti menepuk air terpercik muka sendiri.

Grusa grusu itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Prabowo, Jokowi, saya, anda, kita, mereka, dan netizen. Siapa pun mungkin melakukan kesalahan kecil atau besar, gara-gara grusa-grusu, tak hati-hati, gegabah, tak sabaran, tak teliti, dan tergesa-gesa. Berbuat salah itu manusiawi, yang penting adalah berusaha agar tak jatuh dalam lubang yang sama.

Siapa saja yang berkomentar sebelum semuanya jelas, membuat malu seseorang secara personal, berpotensi dipermalukan bila faktanya ternyata tak sesuai dengan tuduhan.

Cek dan ricek, hati-hati, menjaga kata-kata, tak menyerang sisi personal, itu penting. Soal mengkritisi kebijakan, itu lain soal. Yang penting "Ojo grusa grusu’’, jangan gegabah, ’’Ojo kesusu’’, jangan terburu-buru.

Leluhur kita di tanah Jawa ini sering mengajarkan filosofi hidup yang luhur. Kata mereka, ’Dipikir sing tenang sak durunge mutusno, ojo grusa-grusu, mengko keliru". Artinya, "pikirkan dengan tenang sebelum memutuskan sesuatu, jangan gegabah, nanti keputusannya keliru".

Kita bisa meneladani mantan presiden Susilo Bambang Yuhoyono. Di satu sisi beliau dipandang sebagai seorang peragu, namun sesungguhnya beliau sangat cermat, berhati-hati, tidak grusa grusu. Ia berusaha menghasilkan sebuah keputusan yang berkualitas.

Bila tak grusa grusu, mungkin saja Amerika dan sekutunya bisa memahami bahwa “mokusatsu” yang artinya tidak mau berkomentar, sebagai jawaban Jepang atas ultimatum menyerah, bukan berarti "penolakan". Perdana Menteri Kantaro Suzuki menjawab begitu untuk berpikir sebelum mengambil keputusan.

Bagi pihak sekutu Mokusatsu dimaknai sebagai “kami menolak ultimatum tersebut”. Akhirnya bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki.

Tragis memang. Tak lagi rasa malu, grusa grusu ternyata membuat sebuah tragedi dan nestapa tiba.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement