Senin 28 Jan 2019 13:42 WIB

Ketika Simatupang Berdebat Soal Baju Kebesaran Bung Karno

Bung Karno pernah disarankan tak usah pakai seragam tentara karena bukan militer.

Bung Karno melantik TB Simatupang dalam sebuah acara kenegaraan
Foto: Imran Hasibuan
Bung Karno melantik TB Simatupang dalam sebuah acara kenegaraan

photo
Sri Sultan HB IX (kiri), Amir Syarifudin (perdana menteri), dan TB Simatupang mengenakan seragam dan berpeci.

Oleh: Imran Hasibuan, Jurnalis Senior

Tepat 99 tahun lalu, 28 Januari 1920, Tahi Bonar Simatupang lahir di Sidikalang, Sumatra Utara. Tokoh bangsa ini kemudian pernah menduduki posisi puncak di TNI sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) di awal 1950-an. Tulisan di bawah ini mengisahkan suatu episode dalam perjalanan hidup Pak Sim yang dirangkum dari beberapa referensi dan kesaksian lisan Sabam Sirait.

Yang menarik adalah soal nasib dan karier Pak Sim ketika bedebat dengan Bung Karno. Sebab, dari sekian banyak tokoh yang berani beredebat dengan Sukarno, salah satunya memang dia. Apalagi, Pak Sim adalah salah satu tokoh pemikir TNI, sama dengan AH Nasution. Salah satu bukunya yang sangat terkenal adalah 'Laporan dari Banaran' yang mengisahkan liku-liku mempertahankan kemerdekaan.

Suasana adu argumen dengan Presiden Sukarno memang menarik. Apalagi, Bung Karno karena bukanlah orang yang antikritik. Meski, ia juga pernah kesal karena kritikan orang. Misalnya, saat ia dikritik secara terbuka oleh Jenderal T.B. Simatupang.

Ceritanya, suatu kali, saat mereka bertemu, Simatupang yang masih menjabat KSAP mengkritik gaya berpakaian Bung Karno yang layaknya seragam militer. Bung Karno memang dikenal senang memakai uniform jas putih bergaya militer dengan empat saku plus seabrek bintang jasa di dada.

“Bung, sebaiknya tak usah memakai seragam seperti militer. Apalagi, Bung kan tidak pernah sekolah di kemiliteran,” begitu kira-kira ucapan Simatupang kepada Bung Karno.

Mendengar kritik itu, Presiden Sukarno sempat marah. Ia mengaku mengenakan uniform karena ingin membuat rakyat Indonesia bangga. "Aku memakai uniform karena aku panglima tertinggi. Rakyatku sudah lama dijajah Belanda. Mereka telah dijadikan koloni selama ratusan tahun, mereka sudah lama diperbudak. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, aku harus bisa memberikan mereka sebuah citra. Suatu kebanggaan. Karena itu, aku memakai uniform," kata Bung Karno, seperti dikutip dari biografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis Cindy Adams.

Sebaliknya, Simatupang menganggap jika presiden menggunakan uniform atau seragam militer itu menunjukkan suatu mentalitas bahwa hanya orang yang berseragam yang patut dihormati. Dia mengambil contoh para kaisar di dunia yang selalu berfoto dengan pakaian kebesaran dan tak mau menemui rakyat kalau tak mengenakan uniform.

Rupanya, Bung Karno tidak bisa menerima penjelasan Simatupang. Bung Karno bercerita kepada orang-orang bahwa Simatupang melarangnya memakai uniform kebanggaannya. Untuk menjernihkan soal ini, Jenderal Simatupang pun pernah menjelaskan masalah itu.

"Yang benar saya katakan adalah: Bung Karno, saya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang yang mengenakan uniform, memberi hormat kepada Bung Karno yang tidak memakai uniform. Sehingga, dengan demikian masyarakat melihat bukan yang memakai uniform itu yang tinggi, tetapi yang tidak memakai uniform," tuturnya dalam buku Percakapan Dengan DR TB Simatupang terbitan BPK Gunung Mulia.

Di lain waktu, Simatupang marah besar kepada Bung Karno. Peristiwa itu terjadi pada pertengahan Oktober 1952 di Istana Negara. Dalam memoar TB Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, kejadiannya berawal dari berita tentang upaya penggantian Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Kolonel A.H. Nasution, yang digagas oleh perwira TNI lainnya, Kolonel Bambang Supeno. Kabar yang beredar waktu itu, Kolonel Bambang Supeno dengan menggalang tanda-tangan para panglima di daerah-daerah, sudah menghadap Presiden Sukarno untuk mengajukan usul tersebut dan presiden telah menyetujui hal tersebut.

Jenderal Simatupang, selaku KSAP, tentu saja terkejut dengan berita tersebut. Ia menyebut, berita itu laksana petir di siang bolong. “… sekonyong-konyong ada berita bahwa presiden sendiri terlibat dalam upaya untuk menghambat proses (modernisasi TNI) yang telah berjalan secara sistematis. …. Di samping terkejut, kami sebetulnya sangat marah kepada presiden …” tulisnya.

Jenderal Simatupang, Kolonel Nasution, dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubowono IX kemudian meminta bertemu dengan Presiden Sukarno. Permintaan itu segera dipenuhi. Maka, terjadilah percakapan yang kemudian berjalan sangat dramatis. Perdebatan terutama terjadi antara Presiden Sukarno dan Simatupang.

Puncaknya, setelah mendengarkan uraian Simatupang yang panjang lebar tentang ketidaksetujuan mengganti Kolonel Nasution sebagai KSAD, Presiden Sukarno menjawab dengan nada marah, “Saya sudah bilang, kamu mempunyai kemampuan untuk memojokkan seseorang.”

Masih menurut Simatupang, “…. Pembicaraan yang dramatis antara Presiden, Menteri Pertahanan, KSAP, dan KSAD itu berakhir dengan suasana yang panas dan tidak bersahabat. Saya sendiri meninggalkan presiden tanpa berjabat tangan, saya hanya memberikan hormat (secara) militer belaka. Menurut cerita-cerita yang sebagian barangkali tambahan, maka pintu telah saya tutup dengan keras--hal mana sebetulnya tidak begitu saya ingat. Presiden rupanya merasa sangat tersinggung, bahkan terhina, oleh saya dengan percakapan yang dramatis itu….”

Bahkan, menurut cerita, saking kerasnya bantingan pintu tersebut, pintu ruangan di Istana Merdeka itu hampir lepas engselnya. Soal insiden membanting pintu tersebut, Simatupang pernah bilang, “Sebenarnya saya tak terlalu keras membanting pintunya. Hanya mungkin pintunya saja yang sudah rusak.”

Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, Mayor Jenderal T.B. Simatupang semacam dinonaktifkan karena jabatan KSAP kemudian dihilangkan. Hilangnya jabatan KSAP berarti menutup karier Simatupang di militer. Sebagai tentara dengan pangkat tertinggi, tak ada lagi posisi untuknya. Akhirnya, Simatupang memilih pensiun dini dari dinas militer pada 1959. Jabatan terakhirnya adalah Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI.

Saat itu, dia berpangkat letnan jenderal dan berusia 39 tahun. Alasan pengunduran dirinya: Simatupang merasa tidak dapat lagi bekerja sama dengan Presiden Sukarno.

Akibat Peristiwa 17 Oktober 1952 itu pula, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubowo IX dan KSAD Kolonel Nasution mengundurkan diri dari jabatannya.

Beberapa tahun kemudian, Presiden Sukarno meminta kembali Simatupang dan Kolonel AH Nasution untuk aktif lagi di TNI. Tapi, Simatupang menolak bertemu Bung Karno meski sang presiden berkali-kali mengirim orang untuk menyampaikan pesan undangan bertemu. Adapun Kolonel Nasution, bersedia aktif lagi dan kemudian diangkat kembali menjadi KSAD, Oktober 1955.

Namun, ketika Bung Karno wafat pada 1970, kepada Sabam Sirait, Simatupang sempat menyatakan penyesalannya karena tidak mau memenuhi undangan bertemu Bung Karno tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement